Pages

Saturday 10 December 2011

Learning to Be Good (#1)

“Siap, grak! Lencang depan, grak! Ayo, tolong diluruskan!” itulah aba-aba yang diberikan salah seorang murid yang sedang bertugas memimpin barisan. Bila ada temannya yang masih cuek dan sibuk sendiri, maka dia akan menghampiri dan mengingatkan.

Kebanyakan teman-temannya menurut. Kecuali untuk satu anak. Ada saja perilaku yang dilakukannya. Maksudnya mungkin sekedar melucu, namun membuat kacau barisan sebab semua anak akan tertawa dan barisan pun bubar.
semua menarik bagi kami 

Hampir semua anak yang sedang bertugas memimpin barisan tak berdaya. Sudah mengingatkan berkali-kali tanpa hasil. Membuat mereka kesal. Ujung-ujungnya meminta tolong saya untuk mengingatkan. Gurunya. Baru ketika  saya mengngatkan, dia akan diam menurut. Hm... merepotkan bukan ? Namun begitu, di sinilah menariknya hehehehehe. Menunjukkan bahwa setiap anak berbeda.

Diam-diam, saya menunggu giliran murid saya yang kerap membuat teman-temannya repot itu bertugas sebagai ketua kelas.


Cukup terkejut melihat ternyata ‘si pelucu perusak barisan’ itu sangat bersemangat dalam menjalankan tugasnya. Bersungguh-sungguh. Lebih galak malah dari teman-temannya ketika mengingatkan. Hm...bisa menjadi bahan diskusi yang menarik.

Bahan diskusi menarik ? Ah, pikiran yang mungkin didengar oleh Tuhan. Langsung dikabulkan berikut hadiahnya hehehehe.

Ketika saya baru saja masuk kelas saat anak-anak sedang belajar dengan seorang teman guru, seorang murid menghampiri saya sambil menangis tersedu-sedu. Bercerita kalau baru saja dimarahi oleh ‘sang ketua kelas yang galak’. Sang ketua kelas galak ? Saya kaget ada istilah ini muncul di anak-anak.

Jadilah diskusi benar-benar terjadi. Duduk melingkar di karpet semua anak menceritakan kejadian yang membuat seorang temannya menangis. Murid saya yang menangis adalah tipe anak kinestetik yang memang tak bisa duduk berlama-lama di kursinya. Berjalan kesana kemari namun tak menganggu teman. Hanya sibuk sendirian dengan aktivitasnya.

Sang ketua kelas mengingatkan. Namun sambil membentak dan memaksanya duduk. Merasa tak nyaman dan tersakiti, maka menangislah dia. Sebagian lain murid saya mengiyakan. Mereka sudah mengingatkan sang ketua kelas namun tak diindahkan juga. Sampai ada yang nyeletuk ketua kelas galak yang langsung diamini oleh yang lain. Hm...

Saya pun kembali mengingatkan akan alasan mengapa ada ketua kelas. “Melatih kita bertanggung jawab dan jadi pemimpin yang baik”, beberapa anak menjawab bersamaan.

Saya mengangguk membenarkan. Menjelaskan pula bahwa pemimpin/ketua kelas yang baik itu adalah yang bisa mengingatkan temannya dengan baik, tanpa membentak-bentak. Tidak karena menjadi ketua kelas lalu boleh menyuruh-nyuruh temannya melakukan apa saja seperti mengambilkan botol minum, berlaku seenaknya tanpa aturan. Ketua kelas harus bisa menjadi contoh teman-teman yang lain. Bila aturan di kelas semua anak harus berjalan, maka ketua kelas pun berjalan. Jadi bila ada yang berlarian, sang ketua kelas bisa mengingatkan.

Kan menjadi ketua kelas bergiliran. Semua akan merasakan. Tidak selamanya kita menjadi ketua kelas. Ada saat kita menjadi teman yang diingatkan pula. Teman yang diberi contoh.

Di tataran ini, mari kita – para dewasa – memberi teladan kepada anak-anak kita. Bersikap manusiawi dan rendah hati kepada yang lain. Mencontohkan ketika kita menjadi pemimpin, menjadi pemimpin yang baik, tidak adigang, adigung, dan adiguna. Tidak mentang-mentang pemimpin kemudian semena-mena dengan yang dipimpin. Yang dipimpin pun belajar menghormati pemimpinnya. Sepanjang yang diputuskan pimpinan benar, mengapa tidak. Bukan begitu ?

2 comments:

  1. Lupa dan sok berkuasa ternyata .... insting dasar tiap manusia..ha3x. Entah bagaimana cara menjelaskan pada anak akan hal ini. Ribet.

    ReplyDelete
  2. Dicontohkan saja, anak-anak lebih sederhana kok daripada para dewasa :-)

    ReplyDelete