Pages

Thursday 28 April 2011

The Mysterious Taste of Rujak Cingur

sebelum dengan bumbu
 Sepulang dari sekolah, entah mengapa saya tergoda untuk pergi ke supermarket. Padahal tanggal sudah di klimaks tuanya. Ah, saya kan tidak berboros-boros, toh yang saya beli pastilah barang-barang kebutuhan sebulan, hibur saya sendiri. Selain itu, belanja pada saat-saat ini sangatlah melegakan. Pengunjung sedikit artinya tidak perlu berdesakan atau mengantri panjang di kasir.

Sedang asyik memilih pengharum cucian, hidung saya mencium aroma yang membuat saya menoleh. Bukan aroma wangi dari deret pengharum cucian. Aromanya lebih kuat. Sekitar seratus meter dari tempat saya berdiri, tepat pada pukul enam, terlihat seorang ibu dibalut celemek merah sedang asyik dengan ulegnya. Hm... makanan itu.

Selesai urusan di kasir, saya beranjak menuju sumber aroma tadi. Rujak cingur. Ada juga lotis, bubur madura, kolak, rujak gobet. Saya memesan rujak cingur. Pedas tanpa menyebut jumlah penyebab pedasnya. Ketika saya intip, waw...sepuluh cabai merah tergilas oleh uleg si ibu.
setelah dengan bumbu

Berbicara soal pedas, ternyata sangat relatif. Lima hari yang lalu, di Jogja saya bersorak senang melihat ada warung suroboyo dekat perempatan Kentungan. Tertulis ada rujak cingur selain soto koya dan rawon. Sekedar ingin memuaskan rasa ingin tahu seseorang, saya mencobainya. Pesan rujak cingur pedas. Pedas di saya berbeda dengan pedas di teman saya. Dia sudah berkeringat dengan bibir pencong ke kanan kiri dan nafas menderu, padahal saya masih tenang saja. Belum menemukan inti pedasnya. Teman saya mengatakan walau penampilan kurang menyakinkan ternyata rasanya lumayan. Cocok dengan plang warung “Uenuak, Cuk!” Hahaha.

Melihat tampilan rujak ini, awalnya teman saya agak mengeryitkan dahi. Ekspresi yang biasa muncul di teman-teman saya (orang jawa tengah dan jogja) yang baru pertama kali melihat penampilan sang rujak cingur. Hitam lumpur menutupi irisan makanan yang ada sehingga kerap yang baru pertama kali melihat sangsi untuk memakannya. Kebetulan rujak cingur di Jogja langsung dicampur antara bumbu dan irisan bahan-bahannya sehingga bentuk asli makanannya tersamarkan. Di Surabaya, bumbu biasa dipisah dengan bahannya. Makanan ini banyak digemari ketika cuaca terik.

Warna hitam lumpur pada rujak cingur ini disebabkan oleh petis. Empat tahun hidup di Surabaya, saya mendapati bagaimana teman-teman saya di sini terutama, sangat menggilai yang namanya petis ini. Banyak makanan kota matahari ini yang dicampuri petis seperti semanggi surabaya, tahu tek, lontong balap dan kupang, tahu campur, atau telur petis. Beberapa teman, saya dapati suka sekali makan gorengan (ote-ote) dengan petis dan cabai sekaligus. Saya hanya melihat dan geleng-geleng kepala. Saya sendiri tidak berani makan makanan ini karena selain namanya yang entahlah membawa efek berbeda di saya (ote-ote = orang tidak pakai baju ?) , tidak bisa membayangkan cita rasa yang muncul dari perpaduan ini.

Kembali kepada rujak cingur saya yang dasyat dengan sepuluh buah penyebab rasa pedas, saya cukup puas dengan petualangan memakannya. Ada rasa asam menyengat dari tiga irisan mangga muda, ada segar dari mentimun dan krai juga bengkuang. Ada pula rasa keras menantang dari kedondong dan segar asam dari nenas. Belum rasa gurih tahu tempe, sayur mayurnya, serta cingurnya. Hm… c’est très delicious madame. Bon appetit.



4 comments:

  1. standar pedas orang-orang Surabaya emang gak ketulungan :-D

    ReplyDelete
  2. wah...enaknya....
    coba juga sensasi cumi hitam....wuih...gak kebayang gimana...

    ReplyDelete
  3. Kaki, hahahaha...semua takluk pada hukum relativitas hahahahaha

    ReplyDelete
  4. Angie, dimana itu masakannya. Bagaimana kalau kamu ulas agar lebih kebayang ? Memang hitam itu misterius dan enak hehehehehe

    ReplyDelete