Pages

Wednesday 16 November 2016

Tak Ada Balok, Kardus pun Jadi

‘Nda, aku ingin bermain seperti Baby Bop’, kata Si Bocah pagi ini sambil mengulurkan buku yang dipegangnya (Baby Bop adalah salah satu tokoh favoritnya di serial Barney).

‘Bermain apa itu ?’

‘Ini menyusun balok. Kapan-kapan kita beli yuk Nda, balok yang banyak’.

Mendengar permintaannya, alih-alih mengiyakan, saya memintanya untuk memperhatikan balok yang disusun Baby Bop. Menanyakan apa bentuknya. Apakah bisa baloknya diganti dengan kardus. Ketika Si Bocah mengatakan bisa, maka kami pun bersepakat memakai kardus. Ada cukup banyak kardus tidak terpakai berbagai ukuran.


Saya memang sengaja tidak langsung menyetorkan kardus-kardus itu ke bank sampah karena berasumsi masih bisa dimanfaatkan untuk kegiatan bermain Si Bocah. Entah bagaimana nanti modelnya.

Saya membantunya mengumpulkan kardus yang ada. Memperhatikan apa yang akan dilakukannya dengan kardus-kardus itu. Ternyata disusun. Disusun à la anak usia 3 tahun. Ditumpuk berdasarkan kardus yang dipegangnya duluan. Tidak memakai kaidah apapun. Hanya disusun.

Sebenarnya sudah ingin sekali memberitahu bagaimana cara menyusun yang benar itu. Kata-kata sudah di ujung lidah. Namun untunglah masih bisa ditahan. Membiarkannya melakukan sesuatu sesuai dengan keyakinannya itu susah ternyata. Namun, lebih susah memutuskan menjadi ortu yang tidak sok tahu karena perlu latihan berkali-kali menurut pengalaman saya (itupun kadang masih sering gagal hehehehe).

Yang dilakukan Si Bocah adalah proses dia belajar. Toh tidak berbahaya. Saya memilih membiarkannya menyusun sesuai dengan kemauannya. Beride bebas sesukanya. Ada saat susunan kardus itu roboh, karena tidak seimbang. Kardus di bawahnya terlalu kecil. Saya menunggu reaksinya. Dia tidak bicara apa-apa ternyata. Hanya kembali menyusun kardus-kardusnya. Setelah roboh tiga kali dan agak goyah, kardus-kardus itu berhasil disusunnya. Hore!


‘Ini adalah birthday cake!’ jelasnya tanpa ditanya sambil meletakkan dua botol air kemasan seolah-olah sebagai lilinnya. Saya hanya mengangguk meski dalam hati mengira itu tadi menara. Kok bisa birthday cake ? Bukannya yang tinggi biasanya kue pengantin ?

Lamunan saya ambyar mendengar teriak Si Bocah karena kardus-kardusnya roboh. Raut kecewa muncul. ‘Bagaimana ini, Nda?’ Si Bocah mulai prembik-prembik.

‘Ya, ayo disusun lagi. Pantang menyerah’, jawab saya santai mencoba tak terpengaruh oleh wajah melasnya. Saya sengaja memang. Sebab kalau fokus ke prembik-prembiknya, Si Bocah akan mogok ujung-ujungnya meminta saya yang melakukan. Saya tidak mau itu.  ‘Tetapi bagaimana kalau diurutkan dulu dari kardus paling besar sampai paling kecil ?’

Aktivitas pun berganti. Mencari kardus paling besar sampai yang paling kecil. Dideret seperti tentara baru kemudian disusun. Memutuskan apakah kardus itu lebih besar atau lebih kecil dilakukan Si Bocah. Hanya bila merasa bingung dan bertanya, saya memberi saran.

Kue ulang tahun pun menjulang. Lebih kokoh dan tidak mudah roboh. Segera Si Bocah meletakkan botol air kemasan dan mengambil peluit yang dianggapnya sebagai korek api.

‘Ditiup ya Nda, lilinnya. Make a wish!’ Saya pun harus mau pura-pura meniup lilin-lilin itu.



1 comment: