‘Nda, aku ingin
bermain seperti Baby Bop’, kata Si Bocah pagi ini sambil mengulurkan buku yang
dipegangnya (Baby Bop adalah salah satu tokoh favoritnya di serial Barney).
‘Bermain apa itu ?’
‘Ini menyusun balok.
Kapan-kapan kita beli yuk Nda, balok
yang banyak’.
Mendengar
permintaannya, alih-alih mengiyakan, saya memintanya untuk memperhatikan balok
yang disusun Baby Bop. Menanyakan apa bentuknya. Apakah bisa baloknya diganti
dengan kardus. Ketika Si Bocah mengatakan bisa, maka kami pun bersepakat
memakai kardus. Ada cukup banyak kardus tidak terpakai berbagai ukuran.
Saya memang sengaja
tidak langsung menyetorkan kardus-kardus itu ke bank sampah karena berasumsi
masih bisa dimanfaatkan untuk kegiatan bermain Si Bocah. Entah bagaimana nanti
modelnya.
Saya membantunya
mengumpulkan kardus yang ada. Memperhatikan apa yang akan dilakukannya dengan
kardus-kardus itu. Ternyata disusun. Disusun à la anak usia 3 tahun. Ditumpuk
berdasarkan kardus yang dipegangnya duluan. Tidak memakai kaidah apapun. Hanya
disusun.
Sebenarnya sudah
ingin sekali memberitahu bagaimana cara menyusun yang benar itu. Kata-kata
sudah di ujung lidah. Namun untunglah masih bisa ditahan. Membiarkannya
melakukan sesuatu sesuai dengan keyakinannya itu susah ternyata. Namun, lebih
susah memutuskan menjadi ortu yang tidak sok
tahu karena perlu latihan berkali-kali menurut pengalaman saya (itupun
kadang masih sering gagal hehehehe).
Yang dilakukan Si
Bocah adalah proses dia belajar. Toh tidak
berbahaya. Saya memilih membiarkannya menyusun sesuai dengan kemauannya. Beride
bebas sesukanya. Ada saat susunan kardus itu roboh, karena tidak seimbang.
Kardus di bawahnya terlalu kecil. Saya menunggu reaksinya. Dia tidak bicara
apa-apa ternyata. Hanya kembali menyusun kardus-kardusnya. Setelah roboh tiga
kali dan agak goyah, kardus-kardus itu berhasil disusunnya. Hore!
‘Ini adalah birthday cake!’ jelasnya tanpa ditanya sambil
meletakkan dua botol air kemasan seolah-olah sebagai lilinnya. Saya hanya
mengangguk meski dalam hati mengira itu tadi menara. Kok bisa birthday cake ? Bukannya yang tinggi
biasanya kue pengantin ?
Lamunan saya ambyar mendengar teriak Si Bocah karena
kardus-kardusnya roboh. Raut kecewa muncul. ‘Bagaimana ini, Nda?’ Si Bocah
mulai prembik-prembik.
‘Ya, ayo disusun
lagi. Pantang menyerah’, jawab saya santai mencoba tak terpengaruh oleh wajah
melasnya. Saya sengaja memang. Sebab kalau fokus ke prembik-prembiknya, Si Bocah akan mogok ujung-ujungnya meminta saya
yang melakukan. Saya tidak mau itu. ‘Tetapi
bagaimana kalau diurutkan dulu dari kardus paling besar sampai paling kecil ?’
Aktivitas pun
berganti. Mencari kardus paling besar sampai yang paling kecil. Dideret seperti
tentara baru kemudian disusun. Memutuskan apakah kardus itu lebih besar atau
lebih kecil dilakukan Si Bocah. Hanya bila merasa bingung dan bertanya, saya
memberi saran.
Kue ulang tahun pun
menjulang. Lebih kokoh dan tidak mudah roboh. Segera Si Bocah meletakkan botol
air kemasan dan mengambil peluit yang dianggapnya sebagai korek api.
‘Ditiup ya Nda,
lilinnya. Make a wish!’ Saya pun
harus mau pura-pura meniup lilin-lilin itu.
Membayangkan ...
ReplyDelete