‘Nda, duri dan kepala
ikannya nanti buat kucing ya?’ tanya Si Bocah sambil menyisihkan duri-duri ke
pinggir piringnya. ‘Nanti aku saja yang memberikan karena Bunda takut kucing’. Obrolan
sederhana pagi itu ketika sarapan.
Usai makan, Si Bocah
membawa duri dan kepala ikan ke belakang. Kebetulan ada kucing yang baru
melahirkan di belakang. Saya hanya memperhatikan dari jauh. Benar memang saya
tidak suka dan nyaris bisa dibilang takut kucing. Selalu menghindar kalau ada
binatang ini.
Hal itu ternyata
tertangkap di pemahaman Si Bocah. Pernah ketika ada kucing, Si Bocah sampai mengambil
sapu dan berniat memukul si kucing. Ketika ditanya mengapa, jawabannya adalah
agar kucingnya pergi dan bunda tidak takut lagi.
‘Tapi, mengapa harus
dipukul pakai sapu ?’ Si Bocah diam. ‘Kasihan kucingnya pasti sakit kalau kena
pukul’. Si Bocah bercerita kalau pernah melihat seorang tetangga yang mengusir
kucing menggunakan sapu. Dia meniru.
Saya pun kemudian
memangkunya. Berterima kasih sudah menolong mengeluarkan kucing dari dalam
rumah. Menjelaskan pula tidak perlu pakai sapu, apalagi dipukul. ‘Pasti sakit.
Dikejar saja, nanti kucingnya keluar. Kucingnya hanya minta makan kok’.
‘Nanti kucingnya jadi
sedih?’ saya mengangguk. (Si Bocah memaknai apapun yang membuat hati tidak
nyaman dengan kata sedih saat ini). ‘Kucing ciptaan Tuhan juga yang harus kita
sayangi.’
Ada perubahan meski
pelan-pelan. Awalnya, masih mengambil sapu. Perlu diingatkan lagi. Lama
kelamaan, sapu ditinggalkan dan hanya berteriak-teriak sambil mengejar
kucingnya. Sampai sebulan kemudian, Si Bocah berhenti berteriak dan mau berbagi
juga cukup sayang dengan kucing. Setiap makan ikan, yang diingat adalah duri
dan kepalanya untuk kucing. Cara mengusirnya pun berubah menjadi wuzwuzwuz
(meskipun saya tetap memilih menjauh dari binatang satu ini).
Mengajarkan kebiasaan
baik ternyata tidak cukup hanya dicontohkan apalagi sebatas teori saja. Perlu dilakukan,
dilatih, dan dibiasakan (habit training).
Mulai yang ringan sampai berat. Memang bukan sesuatu yang mudah bila
dibayangkan untuk melatih dan membiasakan kebiasaan baik setiap hari. Dilakukan
saja seperti pendulum yang menjalani ketukannya satu demi satu tanpa
memusingkan berapa ketukan yang telah dihasilkan.
Di buku Cinta Yang
Berpikir karya Ibu Ellen Kristi dijelaskan manfaat habit training menurut
Charlotte Mason ini. “Ibu yang mau bersusah payah memberkati anaknya dengan
kebiasaan-kebiasaan baik akan menjamin bagi dirinya sendiri hari-hari yang
mulus dan menyenangkan; sementara ibu yang membiarkan kebiasaan-kebiasaan
tumbuh liar akan memperoleh hari-hari melelahkan berisi perselisihan tanpa
akhir dengan anak-anaknya. Sepanjang hari ia berteriak-teriak, ‘Lakukan ini’
dan mereka tidak melakukannya; ‘Lakukan itu’ dan mereka melakukan sebaliknya”
(hlm 53-54).
Apa yang kita
tanamkan ke anak sekarang ini, akan terlihat hasilnya sepuluh atau lima belas
tahun ke depan. Bukan saat ini. Menjadi ortu adalah kebahagiaan sekaligus pula
mau menerima tugas mendidik anak. Mendampingi dan memberi kesempatan mereka
menumbuhkan segala potensi baik dalam diri mereka.
Anak-anak adalah
manusia. Yang terdiri dari darah dan daging, sama seperti kita. Mereka pun
membawa banyak potensi tidak hanya yang baik, namun yang buruk pula. Kita, para
ortu ini bertugas mengarahkan mereka untuk selalu di jalur yang benar dalam
menumbuhkan potensi baik. Untuk kehidupan yang lebih baik ke depannya. Jangan sampai
karena kelalaian kita, potensi buruk mereka lebih menonjol dan merugikan
masyarakat. Mudah mencaci, mudah berprasangka, mudah menyalahkan orang yang
tidak sepaham, tidak berani bertanggung jawab dan sederet hal buruk yang lain.
If we change the beginning
of the story
We change the whole story
-
The beginning of the life movie -
Saya pun sama, tidak suka pada kucing. Pingin mukul saja kalo lihat kucing, apalagi beraknya sembarangan.
ReplyDelete