Pages

Friday 11 November 2016

Belajar Dari Tumbuhan


Minggu ini saya bersama Si Bocah membuat proyek menanam biji kacang hijau. Proyek sains sederhana yang dulu kerap saya lakukan dengan anak-anak kelas satu sekolah dasar ketika masih di sekolah. Untuk menunjukkan tentang salah satu cara Tuhan menghijaukan alam ini, juga melatih sebuah kesabaran dan kasih sayang kepada sesama makhluk di bumi.

Ternyata melakukan proyek menanam bersama anak usia 3 tahun sedikit berbeda. Lebih banyak pertanyaan yang terlontar. Harus menyentuh semua peralatannya sekaligus menyebutkan namanya satu per satu. Yang pastinya juga, perlu waktu yang lebih lama dalam proses pelaksanaannya.


Namun, di situlah serunya. Bahan-bahan sederhana dari mulai biji kacang hijau yang berbentuk bulat kecil menjadi bahan obrolan. Banyak pertanyaan dasar muncul. Mengapa bentuknya bulat ? Mengapa ukurannya kecil ? Mengapa warnanya hijau ? Belum pertanyaan mengenai kapas yang dijadikan media tanamnya, juga gelas minum air mineral.

Pada prosesnya, saya mencotohkan bagaimana caranya. Si Bocah mempraktikkan. Memasukkan kapas ke dalam gelas dengan penuh kehati-hatian. Ketika saya tanya mengapa, dia menjawab agar kapasnya tidak rusak. Kasihan nanti biji kacang hijaunya kalau kapasnya rusak, jadi sedih. Saya mengeryitkan dahi mendengar penjelasannya namun memilih diam saja. Pada saat menjumput biji kacang hijau ternyata Si Bocah agak kesulitan. Ukuran biji yang kecil membuatnya sering lepas dari tangannya. Akhirnya, dia pun mengambil segenggam dan memasukkannya ke gelas (tidak lima biji seperti contoh). Ini lebih mudah dan banyak, selorohnya. Saya menghela nafas. Ah, baiklah. Kadang memang anak-anak memilih jalannya sendiri untuk belajar.

Di sela-sela berkegiatan, saya membuka obrolan tentang cerita yang kami baca bersama-sama sebelumnya. Paman Panda yang sangat sayang dengan tanaman bambu yang ditanamnya. Diberi minum setiap hari, dihibur dengan nyanyiannya agar tumbuh dengan baik, juga diberi kesempatan mendapatkan sinar matahari. Si Bocah tiba-tiba berdiri. ‘Berarti aku juga harus bernyanyi agar bijinya tumbuh’, ucapnya kemudian bernyanyi sambil lari kesana kemari. Setelah lelah, dia melihat gelas berisi biji yang baru ditanamnya. ‘Kok belum muncul tunasnya ? Aku sudah bernyanyi’, tanyanya mau menangis.

‘Tidak bisa seketika. Perlu waktu. Mungkin besok tunasnya muncul. Kita harus sabar. Kita letakkan dekat jendela yuk agar kena matahari’, jelas saya. Si Bocah menurut. Setelah itu kami beraktifitas yang lain.

Esoknya selepas bangun tidur, Si Bocah berteriak kegirangan. Tunasnya muncul. ‘Wah...tumbuh, Nda!’ serunya sambil memperlihatkan ke saya.

Selama 3 hari kemudian, aktivitas paginya diisi dengan melihat perkembangan tanamannya. Memberinya minum dan membawanya ke tempat yang kena cahaya matahari. Sesekali terdengar Si Bocah bernyanyi.

Ada saat dia sedih. Bertanya mengapa ada biji-biji yang tidak muncul tunasnya ? Dia juga mempertanyakan satu gelas yang berisi kapas dan biji namun sengaja saya tidak beri air. Mengapa, Nda ?

Saya memintanya memperhatikan. Adakah tunas yang tumbuh di kapas yang tidak ada airnya. Si Bocah menggeleng. Jadi ? Jadi tanpa air, tumbuhan tidak bisa tumbuh. Begitu pun manusia dan binatang. Makanya, mengapa kita perlu minum air setiap hari.

‘Kasihan berarti bijinya, pasti haus sekali’, kata Si Bocah dan segera dituangkannya air ke kapas yang kering. Hahahahaha.

Saya pun belajar banyak dengan kegiatan sederhana ini. Memilih banyak bertanya dan melihat reaksi Si Bocah membawa ke pemahaman baru. Bahwa kadang respon yang diterima berbeda dengan perkiraan kita, ortunya. Anak-anak memiliki jalan pemikiran sendiri yang harus kita hargai.


Melihat bagaimana sebuah biji kecil bertunas kemudian menjadi pohon muda, menyadarkan saya bahwa alam memberi banyak tanda bahwa tidak ada sesuatu yang instan. Semua berproses dan membutuhkan waktu. Demikian pula dalam mendidik anak. Tidak ada hukum paten langsung jadi. Ada proses panjang yang harus dilalui. Kadang kita pun melakukan kekeliruan dalam perjalanannya, namun tetap tidak boleh berhenti. Kita harus siap belajar dan memperbaiki diri. Sekali lagi, memang tidak ada yang instan dan ujug-ujug jadi. 

2 comments:

  1. Percobaan itu saya ingat saat setidaknya SMP saya lakukan. Kemudian SMA untuk mengetahui tentang growth hormon pd tumbuhan. Dimana hormon ini lagi belajar cepat bereaksi pd tempatnya yg gelap. Itulah jgn yg jd salah satu sebab suka tidur dg lampu dimatikan. ��

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hehehehehe, dan ternyata percobaan itu bisa dilakukan anak balita meski dalam tataran yang berbeda :-) Terima kasih

      Delete