Pages

Monday 27 June 2011

Receh-receh Dianggap Remeh

Layar pada mesin penghitung menunjukkan akumulasi jumlah uang yang harus dibayar atas barang belanjaan saya. Enam puluh delapan ribu enam ratus rupiah. Saya angsurkan uang seratus ribu. Mesin penghitung memperlihatkan kembalian yang akan saya terima adalah tiga puluh satu ribu empat ratus rupiah.
uang receh indonesia

Namun apa yang terjadi ? Saya hanya mendapatkan tiga puluh satu ribu rupiah dan empat buah permen. Kening saya berkerut. ”Maaf mas, saya tidak suka permen.” Si mas yang menghitung belanjaan saya dengan ringan menjawab tidak ada kembalian. Saya menghela nafas lalu pergi. Tidak puas. Namun juga malas membahas dan berdebat sebab ada yang mengantri di belakang ditambah capai fisik.

Namun ternyata masih ada yang mengganjal di hati. Mengapa ya banyak toko, dan kerap itu cukup besar dengan semena-mena memperlakukan pelanggannya dengan ’memaksa membeli’ barang dagangannya dengan uang receh kembalian ?


Mungkinkah anggapan, ah hanya seratus perak, ah hanya dua ratus perak apalah artinya dari beberapa pelanggan, membuat manajemen toko itu menangkap peluang untuk menjual produk seharga (mungkin) di bawah seratus perak ? seperti permen misalnya.

Sebagai pembeli, saya kerap menghitung kasar seratus rupiah dikali seratus orang saja sudah sepuluh ribu. Kalau empat ratus rupiah seperti yang saya alami tadi, pasti lebih banyak lagi. Siapa yang beruntung ? Siapa yang buntung ?

Kerap saya menolak permen yang disodorkan dengan memberikan koin/ receh yang saya miliki.  Persoalan dapat cemberutan dari pegawainya itu urusan berbeda. Di sini ada semacam pembelajaran pula bahwa pembeli itu bukan individu pasif yang menurut saja dengan apa maksud penjual.

Saya sangat menghargai toko atau tempat makan yang selalu menyediakan uang kembalian recehnya. Pernah saya temui, tempat makan yang memang menyediakan khusus uang receh sampai berbotol-botol untuk digunakan sebagai uang kembalian.

Repot memang. Namun memberi satu kesan berbeda tentang bagaimana menghargai pembeli dan memperlakukan benda negara. Di sisi lain, menyadarkan diri kita sendiri bahwa meskipun receh dan (mungkin) remeh, bila dengan tekun kita mengumpulkannya, maka jumlah yang terbentuk pun bisa besar.

Tengok saja bagaimana aksi solidaritas dengan uang receh mampu memberikan sumbangan cukup besar bagi seseorang. Beberapa toko pun ada yang dengan jujur menanyakan receh kembalian itu apakah bisa disumbangkan untuk program sosial kepada pelanggannya. Mereka tidak menanyakan uang yang berdigit tiga, namun hanya dua. Ratusan. Para penggalang dana pun yakin, meskipun hanya dari recehan ratusan itu, akan mampu menjelma menjadi jumlah yang menakjubkan.

Bila banyak di kita sebagai pembeli merelakan uang recehnya ditukar dengan permen, maka bisa dibayangkan dan hitung kasar berapa bungkus permen habis terjual berkat receh-receh kita. 














2 comments:

  1. Ingat betul dengan omelan Bapak untuk selalu bayar dengan uang pas dan sll bawa receh. Hal remeh yg dulu bagiku tll cerewet khas mulut Bapak. Tyt banyak benarx pdhl dulu a sangat menderita krn sikap perfectx.

    ReplyDelete
  2. Ternyata yang menyakitkan di masa lalu sangat berharga di masa sekarang. Aku pun mengalami hal yang sama.Kenyataan atau cara pandang kita kah yang menjadi penyebabnya ?

    ReplyDelete