Pages

Monday 27 June 2011

Anak di Kereta Api

Keadaan memungkinkan saya untuk mengakrabi transportasi kereta api. Perjalanan ke luar kota selama berjam-jam memberi saya kesempakatan membaca beberapa buku juga mengamati perilaku para penumpang kereta. Beragam dan menarik.
wisata.kompasiana.com

Gaya para penumpang pun menyesuaikan dengan jenis keretanya. Bila kebetulan saya ada di kereta eksekutif, kecenderungannya seperti ini. Bila saya ada di kereta bisnis, kecenderungannya seperti itu. Kalau saya berada di kereta ekonomi, kecenderungannya begitu.

Namun ada kemiripan juga diantara penumpang kereta. Saya sering mendapati para dewasa yang kebetulan membawa anak-anak.

Ah, anak-anak. Para pengemban rasa ingin tahu, tiada habis cerita tentang mereka.


Berada satu gerbong dengan kelompok ini akan memberi pengalaman dan pelajaran pada kita, penumpang yang lain. Tingkah laku mereka yang selalu ingin bergerak dan berceloteh, membuat kita harus mampu memahami dunia mereka. Belajar sabar, belajar mengerti, belajar ramah, dan belajar tidak menakutkan.

Sayangnya, kerap saya mendengar hal-hal yang kurang pas terlontar dari para dewasa pembawa anak-anak. Para dewasa itu, kerap mengatakan sesuatu yang mungkin dianggap lucu oleh mereka sendiri namun sebenarnya menyesatkan untuk anak-anak.

Kemarin, baru saja saya naik kereta. Ketika itu kereta cukup lama berhenti di Stasiun Balapan. Seorang anak yang duduk di depan saya bertanya mengapa keretanya tidak berjalan lagi. Jawaban sang ibu membuat saya mendongak. ”Karena sopirnya sedang makan dan mandi dulu. Juga perlu isi bensin.”  Lha ? Ini penumpang kereta api kelas bisnis.

Masih di kereta yang sama, ada anak yang mengambil dan menyembunyikan sepatu kakaknya. Alih-alih mengingatkan, ayahnya mengatakan untuk sepatu itu jangan disembunyikan, namun dilempar saja keluar. Apa yang terjadi ? Si anak berusaha melempar sepatu itu keluar melalui jendela dan akibatnya dia diomeli habis-habisan oleh si ayah juga. Lha? Siapa yang keliru ? Si anak kan hanya menuruti kata-kata ayahnya.

Di penumpang kelas eksekutif, anak-anak yang bertanya kerap dijawab dengan ”Tenanglah, jangan berisik, bermain NDS-mu saja!”

Di gerbong ekonomi lebih parah lagi, ”Ayo duduk ! Jangan jalan-jalan terus. Nanti dimarahi Bapak A. Tuh, ada penjahat!” sambil menunjuk sembarang orang yang lewat dan kerap pengamatan saya, yang ditunjuk itu berbadan besar, berkulit gelap, dan berkumis.

Kita, yang dewasa saja kerap percaya dengan kata-kata menyesatkan dari ilklan di televisi karena didengar dan diperlihatkan setiap saat. Lalu bagaimana dengan anak-anak?

Mari kita membayangkan diri sebagai anak-anak yang bertanya atau bergerak. Setiap bertanya atau bergerak dalam kereta, stimulus yang kita terima seperti  kalimat-kalimat di atas. Berulang-ulang. Mau tidak mau kita akan percaya gambaran yang dilukiskan para dewasa itu kepada kita bukan ?

Tidak boleh bertanya, percaya bahwa kereta berbahan bakar bensin (padahal solar), kalau kereta berhenti mungkin sopir (padahal yang mengendalikan kereta masinis) sedang makan dan mandi atau bannya bocor, lalu orang jahat itu berkumis, berbadan besar, dan berkulit gelap.

Siapakah yang akan disalahkan kalau ada anak-anak kita suatu saat bercerita kalau tadi naik kereta api dan bannya kempes (bocor), bensinnya habis, dan banyak orang jahat dimana-mana karena itu mereka diwajibkan duduk diam selama berjam-jam. Atau anak-anak itu menjadi manusia-manusia pasif yang enggan bertanya sebab pengalaman di masa kecil yang selalu melarang mereka untuk bertanya.

Mengapa tidak mencoba lebih bijak dengan mencoba menjawab sebenarnya namun dalam bahasa anak-anak itu ? Janganlah dilupakan bahwa mereka adalah para pengemban ingin tahu. Ketika mereka bertanya mengapa kereta berhenti, kita bisa menjawab sebab ada penumpang yang naik atau turun dan memberi kesempatan kereta lain untuk lewat. Diminta tidak berlarian di lorong gerbong sebab nanti orang lain tidak bisa lewat dan berbahaya sebab bisa jatuh atau sejenisnya.

Memang kadang melelahkan menanggapi jutaan pertanyaan dari anak-anak. Namun begitulah fitrah mereka. Belajar dan ingin tahu sesuatu di luar lingkungannya. Tugas kita, para dewasa adalah memberikan suasana menyenangkan dalam proses pemenuhan keingintahuan mereka. Bukan menyesatkannya apalagi hanya karena alasan lucu.






3 comments:

  1. terkadang para dewasa juga tidak sadar sudah memberi contoh yang keliru. Misal : ketika anak menangis karena terjatuh, entah kenapa ada saja kebiasaan para dewasa yang berkata "siapa yang nakal?" "lantai yang nakal ya?" kemudian dipukul itu lantai. hehe..mungkin maksudnya menghibur anak agar tidak menangis lagi. Tapi mungkin secara tidak langsung mengajarkan balas dendam. Siapa yang membuat menangis, kecewa,dll akan mendapatkan balasan juga dari si anak. Bukan kah begitu? entah lah, ini hanya sebuah komentar... kalau keliru atau keluar dari topik, ya maaf & mohon diperbaiki.hehe... :)

    ReplyDelete
  2. Banyak hal yang mempengaruhi perilaku. Dan mencoba sabar menghadapi anak-anak sangatlah melelahkan.

    ReplyDelete
  3. Anonim : Ya, benar kok yang anda tulis. Ini tempat berbagi uneg-uneg membangun, jangan khawatir menulis komen anda. Tengs ya :-)

    SM : Bayangkan tidak punya pembantu, bekerja dengan anak lima :-)

    ReplyDelete