Pages

Tuesday 22 March 2011

Asumsi Kita

Seorang teman bercerita alasan keterlambatannya datang ke sekolah pagi itu karena ingin menuntaskan melihat berita tentang Angelina Sondakh yang memperingati 40 hari kematian suaminya. Teman itu bercerita bagaimana rasa sedihnya muncul kembali sama seperti ketika ia melihat berita kematian suami Angelia tersebut. Ia mengatakan sangat berempati dan tak sanggup bila mengalami hal yang serupa karena itulah ia kembali menangis tersedu saat melihat suaminya. Banyak teman yang sepakat dengannya karena merasa sama-sama ’wanita bersuami’.

Di lain hari, teman yang sama bercerita kembali dengan tema yang berbeda. Pengiriman bom buku kepada seorang musisi sangatlah ia sayangkan. Bukan tentang niat jelek si pengirim bom, namun karena musisi itu ternyata selamat. Ia berharap musisi itu terkena bom saja karena ia sangat membenci si musisi dengan alasan ia sendiri yang tahu. Banyak teman yang mengamini karena kesamaan perasaan tidak suka kepada si musisi.

Di waktu yang lampau, teman yang masih juga sama sempat menggugat dan mengkritisi kebijakan pimpinan kepada teman yang lain karena dianggap ’menganiaya’. Teman yang ’teraniaya’ menceritakan kesusahan yang dialaminya dan meluncurlah ragam simpati kepadanya. Di ujung klimaks simpati itu, terungkap kebijakan terhadapnya terjadi karena hasil dari sikap keliru yang dilakukannya sendiri. Teman saya agak kelimpungan dan kehilangan arah dukungan. Meski begitu tetap tidak mengakui kebenaran kebijakan itu.

Tiga peristiwa di atas bukanlah sesuatu yang bermaksud membuka kejelekan orang. Hanya sekedar contoh kasus. Bagaimana mudahnya orang melakukan sesuatu hanya berdasarkan rasa suka dan tidak suka. Hanya berdasarkan emosional semata.

Di satu hari, kita bisa menangisi tentang kepergian seseorang namun di lain hari kita bisa menyepakati pembunuhan terhadap seseorang. Apakah semudah itukah nyawa manusia ditentukan ? Kondisional. Padahal kita semua tahu (terutama ibu-ibu yang telah melahirkan buah hatinya) bagaimana sakitnya melahirkan sebuah kehidupan baru, merawat dan membesarkannya. Lalu mengapa kita hanya karena ’tidak suka’ yang kadang alasannya pun tidak jelas, mudah saja kita membunuh kehidupan itu ?

Dunia ini sebaiknya berisi hanya kehidupan yang bagus yang boleh ada, kehidupan yang jelek dan menyesatkan dihilangkan saja. Agar dunia ini berisi kehidupan baik semuanya.  Agar dunia ini menjadi lebih 'baik'. Apakah seperti itu pola pikirnya ? Kalau iya, kehidupan jelek dan sesat menurut siapa ? Kita mengunakan ukuran siapa untuk mencap sesuatu itu ? Pastilah ukuran kita sendiri. Namun, apakah benar ukuran kita sudah benar ? Ukuran kita pas dan cocok ? ataukah kita telah menjadi pemegang kebenaran tanpa kita sadari sehingga berhak menfatwa seseorang ? Benarkah kita sudah benar atau malah kita sebenarnya yang seharusnya diluruskan ?


No comments:

Post a Comment