Pages

Tuesday 11 October 2016

Tidak Ada Mainan Mulai Hari Ini

Hujan sangat lebat. Suara tawa dan pekik senang terdengar di luar. Si Bocah sedang asyik hujan-hujanan dengan ayahnya. Berlari, menangkap air, juga menari-nari. Sesekali suaranya terdengar memanggil saya hanya sekedar untuk melihatnya beraksi. Terlihat senang meski sedikit kedinginan. Melihatnya nyaman bermain dengan ayahnya, saya pun lega.

Si Ayah sering keluar kota sampai beberapa hari untuk pekerjaannya. Keseharian yang hanya bersama saya, membuat Si Bocah agak sulit berinteraksi dengan ayahnya. Kalaupun bersama, paling lama hanya dua jam kemudian memilih bersama saya kembali. Itupun kerap diselingi dengan perselisihan dan tangisan.


Keduanya tampak sama-sama tidak nyaman ketika bersama. Si Bocah yang mudah rewel dengan banyak permintaan dan Si Ayah yang angkat tangan, menyerah untuk lebih bersabar menghadapinya.

Kondisi ini menjadi bahan obrolan kami. Bagaimana pun, tidak seru kalau hubungan ayah dan anak itu tidak harmonis.

Pertanyaannya kemudian adalah mengapa kalau bersama ayahnya sikap Si Bocah seperti itu ? Hanya sebentar saja senangnya (itupun ketika menyambut kedatangan ayahnya yang datang setelah pergi beberapa hari) dan lebih sering kerewelan yang ditunjukkan. Beda sekali bila berinteraksi dengan saya, ibunya.

‘Padahal ibunya galak seperti macan’, canda ayahnya sambil tertawa melihat saya melotot. ‘Belum lagi, ayah kan selalu membawakan mainan yang dia minta setiap dari luar kota’, pernyataan susulan ini membuat saya tersadar.

Mainan. Si Bocah memang sering meminta oleh-oleh mainan kalau ayahnya pergi. Ada beberapa mainan karena memang setiap permintaan Si Bocah selalu dipenuhi. Tidak pernah ditolak meski saya keberatan. Namun mainan-mainan itu tidak sepenuhnya menarik minatnya. Nyatanya lebih banyak menumpuk di kardus daripada dipakai. Dibuat mainan hanya satu dua kali saat baru diterimanya. Setelah itu hanya menambah jumlah printilan saja.

Sebuah cerita lama muncul di ingatan saya. Tentang seorang anak yang menabung untuk membeli waktu ayahnya agar bisa bermain bersama. Saya ceritakan ulang kepada Si Ayah. Si Bocah masih batita memang. Belum mengenal uang dan jelas belum pula tahu istilah menabung. Cerita itu pun entah fiktif atau nyata, saya tidak tahu. Namun, satu hal penting adalah membangun kesadaran tentang kebutuhan anak akan kehadiran kita, ortunya. Kehadiran yang tidak bisa diwakilkan oleh mainan secanggih apapun atau gawai sekeren siapapun. Gagasan untuk mempraktikannya muncul.

Kami bersepakat tidak ada mainan lagi mulai hari itu. Hadiah yang diberikan untuk Si Bocah adalah kehadiran ortunya. Di kasus ini adalah kehadiran ayahnya.

Meskipun sudah bersepakat, namun kami awalnya bingung juga. Terutama Si Ayah. Bagaimana cara menyampaikannya kepada Si Bocah. Tidak bisa memakai argumen panjang lebar. Meniadakan kebiasaan yang sudah terlanjur terbangun secara frontal juga bukan pilihan menarik. Bisa dipastikan akan muncul protes entah apa bentuknya.

Kami pun memilih menggubah kebiasaan itu pelan-pelan. Masih ada oleh-oleh namun bentuknya lain. Bukan mainan lagi. Lebih ke makanan yang disukai. Kebetulan kesukaan ayah dan Si Bocah sama. Sambil makan, bisa bercerita tentang makanan tersebut dengan prinsip dasar 5W1H karena ayah belum biasa bercerita kelakar saya waktu itu (dan langsung disambut wajah manyun Si Ayah hehehehe).

Mulanya Si Ayah ragu. Khawatir karena memang belum pernah. Namun, kalau tidak dicoba bagaimana bisa tahu hasilnya ? Bagaimana bisa mengubah kebiasaan yang ada ? Memulai memang sensasinya berbeda dengan meneruskan, canda saya.

Setelah dilakukan, ternyata memang tidak sesulit saat dibayangkan. Meski ketika menelfon sempat bilang minta dibelikan mainan kemudian dijawab Si Ayah dengan permintaan maaf karena tidak ada mainan mulai hari ini, Si Bocah menangis (rasanya campur-aduk, kata si ayah saat pertama kali mendengar tangisan ini. Hampir gagal juga misinya hihihi).

Namun anak-anak memang guru luar biasa. Tidak ada prasangka atau dendam di hati mereka. Ketika Si Ayah pulang, Si Bocah tetap menyambutnya dengan suka cita, terlebih saat tahu ayahnya membawa makanan kegemarannya. Mereka terlibat dalam obrolan seru dan seperti biasanya, saya memilih menjadi pengamat saja.

Hubungan ayah dan Si Bocah semakin hari semakin erat. Ayah cukup konsisten menyediakan waktunya untuk Si Bocah. Tanpa gawai atau printilan pekerjaan lainnya. Mendengarkannya, ngobrol, bermain, olahraga, bercerita, bercanda, atau bahkan melakukan sesuatu yang kadang ‘aneh’ dan terlihat konyol. Si Bocah pun mulai nyaman dengan ayahnya. Interaksi antarmereka pun lancar sampai sekarang.   

Menjadi ortu tidak ada sekolahnya. Menjadi ortu bukan pula sesuatu yang mudah. Menjadi ortu tidak bisa sempurna. Menjadi ortu pun pernah melakukan kesalahan. Menjadi ortu kadang melelahkan dan menyakitkan. Namun menjadi ortu membuka banyak kemungkinan untuk kita belajar banyak hal.  Terutama tentang kehidupan.






  

1 comment:

  1. Kadang kita ngerti teorinya ... praktekin di lapangan bubar .
    .. harus try and error mau tak mau :)

    ReplyDelete