Hujan sangat lebat. Suara
tawa dan pekik senang terdengar di luar. Si Bocah sedang asyik hujan-hujanan dengan ayahnya. Berlari,
menangkap air, juga menari-nari. Sesekali suaranya terdengar memanggil saya
hanya sekedar untuk melihatnya beraksi. Terlihat senang meski sedikit
kedinginan. Melihatnya nyaman bermain dengan ayahnya, saya pun lega.
Si Ayah sering keluar
kota sampai beberapa hari untuk pekerjaannya. Keseharian yang hanya bersama
saya, membuat Si Bocah agak sulit berinteraksi dengan ayahnya. Kalaupun bersama,
paling lama hanya dua jam kemudian memilih bersama saya kembali. Itupun kerap
diselingi dengan perselisihan dan tangisan.
Keduanya tampak
sama-sama tidak nyaman ketika bersama. Si Bocah yang mudah rewel dengan banyak
permintaan dan Si Ayah yang angkat tangan, menyerah untuk lebih bersabar
menghadapinya.
Kondisi ini menjadi
bahan obrolan kami. Bagaimana pun,
tidak seru kalau hubungan ayah dan anak itu tidak harmonis.
Pertanyaannya
kemudian adalah mengapa kalau bersama ayahnya sikap Si Bocah seperti itu ? Hanya
sebentar saja senangnya (itupun ketika menyambut kedatangan ayahnya yang datang
setelah pergi beberapa hari) dan lebih sering kerewelan yang ditunjukkan. Beda sekali
bila berinteraksi dengan saya, ibunya.
‘Padahal ibunya galak
seperti macan’, canda ayahnya sambil tertawa melihat saya melotot. ‘Belum lagi,
ayah kan selalu membawakan mainan
yang dia minta setiap dari luar kota’, pernyataan susulan ini membuat saya
tersadar.
Mainan. Si Bocah
memang sering meminta oleh-oleh mainan kalau ayahnya pergi. Ada beberapa mainan
karena memang setiap permintaan Si Bocah selalu dipenuhi. Tidak pernah ditolak
meski saya keberatan. Namun mainan-mainan itu tidak sepenuhnya menarik
minatnya. Nyatanya lebih banyak menumpuk di kardus daripada dipakai. Dibuat mainan
hanya satu dua kali saat baru diterimanya. Setelah itu hanya menambah jumlah printilan saja.
Sebuah cerita lama
muncul di ingatan saya. Tentang seorang anak yang menabung untuk membeli waktu
ayahnya agar bisa bermain bersama. Saya ceritakan ulang kepada Si Ayah. Si
Bocah masih batita memang. Belum mengenal uang dan jelas belum pula tahu
istilah menabung. Cerita itu pun entah fiktif atau nyata, saya tidak tahu. Namun,
satu hal penting adalah membangun kesadaran tentang kebutuhan anak akan
kehadiran kita, ortunya. Kehadiran yang tidak bisa diwakilkan oleh mainan
secanggih apapun atau gawai sekeren siapapun. Gagasan untuk mempraktikannya
muncul.
Kami bersepakat tidak
ada mainan lagi mulai hari itu. Hadiah yang diberikan untuk Si Bocah adalah
kehadiran ortunya. Di kasus ini adalah kehadiran ayahnya.
Meskipun sudah
bersepakat, namun kami awalnya bingung juga. Terutama Si Ayah. Bagaimana cara
menyampaikannya kepada Si Bocah. Tidak bisa memakai argumen panjang lebar. Meniadakan
kebiasaan yang sudah terlanjur terbangun secara frontal juga bukan pilihan
menarik. Bisa dipastikan akan muncul protes entah apa bentuknya.
Kami pun memilih
menggubah kebiasaan itu pelan-pelan. Masih ada oleh-oleh namun bentuknya lain. Bukan
mainan lagi. Lebih ke makanan yang disukai. Kebetulan kesukaan ayah dan Si
Bocah sama. Sambil makan, bisa bercerita tentang makanan tersebut dengan
prinsip dasar 5W1H karena ayah belum biasa bercerita kelakar saya waktu itu (dan
langsung disambut wajah manyun Si Ayah hehehehe).
Mulanya Si Ayah ragu.
Khawatir karena memang belum pernah. Namun, kalau tidak dicoba bagaimana bisa
tahu hasilnya ? Bagaimana bisa mengubah kebiasaan yang ada ? Memulai memang
sensasinya berbeda dengan meneruskan, canda saya.
Setelah dilakukan,
ternyata memang tidak sesulit saat dibayangkan. Meski ketika menelfon sempat bilang
minta dibelikan mainan kemudian dijawab Si Ayah dengan permintaan maaf karena tidak
ada mainan mulai hari ini, Si Bocah menangis (rasanya campur-aduk, kata si ayah
saat pertama kali mendengar tangisan ini. Hampir gagal juga misinya hihihi).
Namun anak-anak
memang guru luar biasa. Tidak ada prasangka atau dendam di hati mereka. Ketika Si
Ayah pulang, Si Bocah tetap menyambutnya dengan suka cita, terlebih saat tahu
ayahnya membawa makanan kegemarannya. Mereka terlibat dalam obrolan seru dan seperti biasanya, saya
memilih menjadi pengamat saja.
Menjadi ortu tidak
ada sekolahnya. Menjadi ortu bukan pula sesuatu yang mudah. Menjadi ortu tidak bisa
sempurna. Menjadi ortu pun pernah melakukan kesalahan. Menjadi ortu kadang
melelahkan dan menyakitkan. Namun menjadi ortu membuka banyak kemungkinan untuk
kita belajar banyak hal. Terutama tentang
kehidupan.
Kadang kita ngerti teorinya ... praktekin di lapangan bubar .
ReplyDelete.. harus try and error mau tak mau :)