Beberapa waktu yang
lalu, Si Bocah berada di rumah kakek neneknya. Sebuah pertanyaannya ketika
sedang menunggui menggoreng kerupuk, mengusik saya.
‘Nda, minyak itu
seperti air tapi kok beda ya ?’
‘Beda bagaimana?’
‘Hm...apa ya?’ Si
Bocah bingung sambil garuk-garuk kepala. Ketika saya mengatakan lebih kental
dan licin ditangan, dia bertanya apa maksudnya. Saya memintanya mengulurkan
tangan dan meneteskan beberapa tetes minyak.
‘Coba kamu usap pakai tangan
satunya. Agak licin kan?’ Dia
mengangguk. ‘Iya. Tapi minyak tidak boleh dibuat mainan, nanti Bunda
menggorengnya pakai apa.’
Hahahaha, keinginan
terselubung mau bermain dengan minyak. Untung ibumu tidak kehilangan akal. Mumpung
sedang di desa, dan masih mudah mencari daun waru (Hibiscus tiliaceus ), ayo kita bermain membuat minyak.
‘Wah, bentuknya heart!’ seru Si Bocah senang. Dibolak-baliknya
daun itu. Lalu diraba permukaannya. Halus, katanya. Ini daun apa, Nda? Oiya,
daun walu ulangnya senang.
Jujur saya sempat
kaget. Bukan karena daun warunya, tetapi reaksi dan ekspresinya. Wih, anakku
semangat sekali ‘hanya’ melihat daun waru (ndeso
ya? Eh, apa terlalu ‘ngota’?) Ah, lepas dari label bocah ndeso atau anak kota, selalu kagum dengan semangat ingin
tahunya. Semua menarik. Semua dieksplorasi dan ditanyakan. Itulah anak-anak
usia perkembangan.
Kesempatan pula bagi
kita memungkinkan mereka mengenal tumbuhan di sekitarnya dan bagaimana bermain
tidak melulu harus dengan mainan buatan pabrik. Kita bisa bermain dengan
hal-hal sederhana di sekitar.
Dengan asyik, Si
Bocah mulai meremas daun waru itu. Merasakan bagaimana air yang encer berubah
pelan-pelan menjadi kental seperti minyak goreng. Menuangkannya ke tempat yang
berbeda. 15 menit berlalu. Si Bocah masih asyik. Mengajak saya main jual beli
dengan dia sebagai penjual minyaknya. Melihatnya seperti itu jadi ingat masa
lalu.
Daun waru. Mainan
masa kecil dulu. Menjadi penjual minyak goreng dengan seember besar air dengan entah
berapa puluh lembar daun waru hasil memanjat di pohon tetangga. Semakin banyak
daun waru, maka ‘minyak’ yang dihasilkan semakin kental. Kalau dulu, saya
bermain dengan banyak teman. Pasaran. Mereka
membeli dengan uang dari daun penitian yang banyak tumbuh sebagai pagar
halaman.
Sekarang, saya bermain
pasaran lagi, menemani Si Bocah. Penjual
minyak yang semangat sekali meremas daun warunya. Tak hirau bajunya yang mulai
basah dimana-mana.
Sepertinya sepele, namun
kegiatan ini memberi pengalaman bagi Si Bocah dan saya. Benar kata Mas Aar dan
Mbak Lala. Bahwa bermain dan belajar itu bisa dimana pun, kapan pun,
menggunakan apapun, dan dengan siapa pun.
Meski sederhana,
hanya dengan daun waru, namun bila kita mampu memperkayanya dengan ‘tidak
sekedar bermain’, pasti lebih menarik. Meremas pun adalah kegiatan awal
mempersiapkan anak-anak menulis. Melenturkan otot-otot jarinya agar mudah
memegang pensil.
Dulu ada permainan anak desa yang menguji pengetahuan tentang nama-nama lokal daun dan mengingatnya dimana kita pernah lihat. Permainan itu tdk bernama, hy ada syarat bhw saat mencari daun itu hy boleh menyentuh daun, batang dari tumbuhan hidup.
ReplyDeleteKrn merambat dg pegangan daun kita nyebutnya prambatan. Mgkn permainan memang tdk wajib punya nama :)
Dan penjaga selalu mengincar peserta paling lemah, tdk ada keriangan adanya tekanan baik yg terlemah dan penjaga.
Ah, andai dulu ada org dewasa yg dg arif menjelaskan dan memandu :)