Pages

Monday 19 September 2016

Bermain Daun Waru (Hibiscus tiliaceus )


Beberapa waktu yang lalu, Si Bocah berada di rumah kakek neneknya. Sebuah pertanyaannya ketika sedang menunggui menggoreng kerupuk, mengusik saya.
‘Nda, minyak itu seperti air tapi kok beda ya ?’
‘Beda bagaimana?’
‘Hm...apa ya?’ Si Bocah bingung sambil garuk-garuk kepala. Ketika saya mengatakan lebih kental dan licin ditangan, dia bertanya apa maksudnya. Saya memintanya mengulurkan tangan dan meneteskan beberapa tetes minyak.

‘Coba kamu usap pakai tangan satunya. Agak licin kan?’ Dia mengangguk. ‘Iya. Tapi minyak tidak boleh dibuat mainan, nanti Bunda menggorengnya pakai apa.’
Hahahaha, keinginan terselubung mau bermain dengan minyak. Untung ibumu tidak kehilangan akal. Mumpung sedang di desa, dan masih mudah mencari daun waru (Hibiscus tiliaceus ), ayo kita bermain membuat minyak.
‘Wah, bentuknya heart!’ seru Si Bocah senang. Dibolak-baliknya daun itu. Lalu diraba permukaannya. Halus, katanya. Ini daun apa, Nda? Oiya, daun walu ulangnya senang.
Jujur saya sempat kaget. Bukan karena daun warunya, tetapi reaksi dan ekspresinya. Wih, anakku semangat sekali ‘hanya’ melihat daun waru (ndeso ya? Eh, apa terlalu ‘ngota’?) Ah, lepas dari label bocah ndeso atau anak kota, selalu kagum dengan semangat ingin tahunya. Semua menarik. Semua dieksplorasi dan ditanyakan. Itulah anak-anak usia perkembangan.
Kesempatan pula bagi kita memungkinkan mereka mengenal tumbuhan di sekitarnya dan bagaimana bermain tidak melulu harus dengan mainan buatan pabrik. Kita bisa bermain dengan hal-hal sederhana di sekitar.

Dengan asyik, Si Bocah mulai meremas daun waru itu. Merasakan bagaimana air yang encer berubah pelan-pelan menjadi kental seperti minyak goreng. Menuangkannya ke tempat yang berbeda. 15 menit berlalu. Si Bocah masih asyik. Mengajak saya main jual beli dengan dia sebagai penjual minyaknya. Melihatnya seperti itu jadi ingat masa lalu.
Daun waru. Mainan masa kecil dulu. Menjadi penjual minyak goreng dengan seember besar air dengan entah berapa puluh lembar daun waru hasil memanjat di pohon tetangga. Semakin banyak daun waru, maka ‘minyak’ yang dihasilkan semakin kental. Kalau dulu, saya bermain dengan banyak teman. Pasaran. Mereka membeli dengan uang dari daun penitian yang banyak tumbuh sebagai pagar halaman.
Sekarang, saya bermain pasaran lagi, menemani Si Bocah. Penjual minyak yang semangat sekali meremas daun warunya. Tak hirau bajunya yang mulai basah dimana-mana.
Sepertinya sepele, namun kegiatan ini memberi pengalaman bagi Si Bocah dan saya. Benar kata Mas Aar dan Mbak Lala. Bahwa bermain dan belajar itu bisa dimana pun, kapan pun, menggunakan apapun, dan dengan siapa pun.

Meski sederhana, hanya dengan daun waru, namun bila kita mampu memperkayanya dengan ‘tidak sekedar bermain’, pasti lebih menarik. Meremas pun adalah kegiatan awal mempersiapkan anak-anak menulis. Melenturkan otot-otot jarinya agar mudah memegang pensil. 

1 comment:

  1. Dulu ada permainan anak desa yang menguji pengetahuan tentang nama-nama lokal daun dan mengingatnya dimana kita pernah lihat. Permainan itu tdk bernama, hy ada syarat bhw saat mencari daun itu hy boleh menyentuh daun, batang dari tumbuhan hidup.

    Krn merambat dg pegangan daun kita nyebutnya prambatan. Mgkn permainan memang tdk wajib punya nama :)

    Dan penjaga selalu mengincar peserta paling lemah, tdk ada keriangan adanya tekanan baik yg terlemah dan penjaga.

    Ah, andai dulu ada org dewasa yg dg arif menjelaskan dan memandu :)

    ReplyDelete