Sebuah cerita teman
yang ‘menghukum’ anaknya sebab malas ke sekolah dengan beralasan sakit membuat
saya termenung. Apalagi kemudian si teman tetap keukeuh berpendapat anaknya
harus pergi ke sekolah meski menangis. Bagi ibunya, ke sekolah lebih penting
dan menyenangkan daripada anaknya ngendon
di rumah.
Hm... benarkah ?
Ingatan saya kembali
ke masa silam. Masa saya usia tk. Dimana setiap hari harus bergegas pergi ke
sekolah pagi-pagi. Bukan karena takut terlambat. Tetapi karena saya harus
berangkat bersama kakak – kakak saya yang sudah sd dan masuk lebih pagi. Ibu khawatir
bila saya menyeberang jalan raya tanpa ditemani siapa-siapa. Kebetulan sekolah
sd dan tk saat itu dalam satu area. Akibatnya, hampir setiap hari saya
kepagian. Jangankan ibu guru, teman-teman tk pun belum ada yang datang.
Seingat saya, kegiatan
di dalam kelas saat tk pun tidak terlalu menarik. Saat itu saya sudah tk nol
besar (tk B kalau sekarang). Jarang ada kegaiatan bernyanyi atau menari atau
yang seru-seru seperti meronce. Seringnya belajar mengeja dan menulis. Buat saya
yang kebetulan saat itu sudah bisa membaca lancar majalah Bobo dan Kuncup,
jelas aktivitas tersebut membosankan. Saya sering membuat kegiatan sendiri
dengan membuat pesawat terbang dari kertas atau menciptakan bunyi-bunyian dari
meja yang dipukul-pukul. Kalau tidak begitu, mengiris tipis-tipis penghapus
pensil dan menaburkannya kemana-mana seperti rintik hujan di buku teman-teman.
Jelas bu guru marah. Menganggu.
Saya sering diminta berdiri di depan atau duduk paling belakang dan tidak boleh
kemana-mana. Kejadian ini hampir tiap hari saya alami. Sampai bosan. Bu guru mungkin
jengkel sekali namun tidak bisa berbuat apa-apa. Saya sendiri pun heran. Bu
guru tidak pernah mengadukan saya kepada ibu padahal bertemu setiap hari. Ibu
seorang guru juga namun guru sd, satu tempat dengan tk saya waktu itu.
Karena sering disuruh
berdiri setiap hari, saya pun bosan dan mogok pergi ke sekolah. Alasannya klise
dan umum. Kurang enak badan. Saya ingat betul ibu mengeryitkan dahi tapi beliau
percaya. Mengijinkan saya ‘istirahat’ di rumah. Wuih...senang lho di rumah itu.
Bebas mau apa saja, apalagi saudara – saudara saya ke sekolah, tidak ada yang
menganggu. Bebas!
Tetapi siangnya,
sepulang ibu dari mengajar, beliau memanggil. Bercerita kalau tadi bertemu guru
tk untuk memberitahu kalau saya sakit. Dari
situ, ibu mendapat laporan bagaimana ‘berisiknya’ saya di kelas. Ibu malu. Saya
ditegur cukup keras. Ibu pun kemudian tahu kalau saya hanya pura-pura sakit.
‘Tapi aku bosan,Bu!
Di kelas disuruh mengeja. Aku kan sudah
bisa baca !’ protesku.
Ibu tidak menanggapi
dan keukeuh besok saya masuk sekolah.
Mau jadi apa saya kalau sejak kecil sekolah saja malas. Lha ?
Sejak peristiwa itu,
saya tidak berani mbolos lagi. Namun di
sekolah ada yang berubah. Ibu guru tidak lagi menghukum saya. Beliau cenderung ‘membiarkan’
dan memberi saya kebebasan. Kadang, beliau meminjamkan majalah anak-anak untuk
saya baca sendiri ketika teman-teman belajar mengeja. Sekali waktu, saya
diminta membacakannya juga untuk teman-teman. Saya mulai senang kembali ke
sekolah.
Belakangan ketika
dewasa, saya tahu ibu menemui bu guru tk lagi. Membicarakan tentang kebosanan
saya dan bagaimana menanganinya bersama-sama.
Ah, bu guru dan ibu
yang bijak. Terima kasih kenangan dan pelajarannya.
Kembali ke kisah si
teman yang anaknya mogok sekolah, mungkin kita sebagai ortu perlu mencari tahu
sebabnya dulu. Bertanya ke si anak tanpa marah-marah atau senewen. Belajar mendengarkan
suara mereka tanpa memotong ceritanya. Ketika tahu duduk masalahnya, kita bisa mengkomunikasikan dengan ibu gurunya
di sekolah.
Bagaimana pun,
mendidik anak-anak adalah tugas ortu. Entah anaknya bersekolah di lembaga
formal atau belajar di rumah. Ortu memiliki kewajiban mendidik mereka. Bila anak-anak
kita resah, sedih, menangis, atau bahkan mogok melakukan sesuatu, kita sebagai
ortunya wajib menemani dan memahaminya. Kita dengarkan kegelisahan mereka. Kita
percayai mereka. Bukan marah dan menuduhnya yang bukan-bukan. Bukan pula
memaksakan kehendak kita. Karena kita adalah ortu anak – anak, bukan hakim
mereka.
No comments:
Post a Comment