Pages

Wednesday 3 August 2016

Bertanya dan Percayailah Anak Kita

Sebuah cerita teman yang ‘menghukum’ anaknya sebab malas ke sekolah dengan beralasan sakit membuat saya termenung. Apalagi kemudian si teman tetap keukeuh berpendapat anaknya harus pergi ke sekolah meski menangis. Bagi ibunya, ke sekolah lebih penting dan menyenangkan daripada anaknya ngendon  di rumah.

Hm... benarkah ?


Ingatan saya kembali ke masa silam. Masa saya usia tk. Dimana setiap hari harus bergegas pergi ke sekolah pagi-pagi. Bukan karena takut terlambat. Tetapi karena saya harus berangkat bersama kakak – kakak saya yang sudah sd dan masuk lebih pagi. Ibu khawatir bila saya menyeberang jalan raya tanpa ditemani siapa-siapa. Kebetulan sekolah sd dan tk saat itu dalam satu area. Akibatnya, hampir setiap hari saya kepagian. Jangankan ibu guru, teman-teman tk pun belum ada yang datang.

Seingat saya, kegiatan di dalam kelas saat tk pun tidak terlalu menarik. Saat itu saya sudah tk nol besar (tk B kalau sekarang). Jarang ada kegaiatan bernyanyi atau menari atau yang seru-seru seperti meronce. Seringnya belajar mengeja dan menulis. Buat saya yang kebetulan saat itu sudah bisa membaca lancar majalah Bobo dan Kuncup, jelas aktivitas tersebut membosankan. Saya sering membuat kegiatan sendiri dengan membuat pesawat terbang dari kertas atau menciptakan bunyi-bunyian dari meja yang dipukul-pukul. Kalau tidak begitu, mengiris tipis-tipis penghapus pensil dan menaburkannya kemana-mana seperti rintik hujan di buku teman-teman.

Jelas bu guru marah. Menganggu. Saya sering diminta berdiri di depan atau duduk paling belakang dan tidak boleh kemana-mana. Kejadian ini hampir tiap hari saya alami. Sampai bosan. Bu guru mungkin jengkel sekali namun tidak bisa berbuat apa-apa. Saya sendiri pun heran. Bu guru tidak pernah mengadukan saya kepada ibu padahal bertemu setiap hari. Ibu seorang guru juga namun guru sd, satu tempat dengan tk saya waktu itu.

Karena sering disuruh berdiri setiap hari, saya pun bosan dan mogok pergi ke sekolah. Alasannya klise dan umum. Kurang enak badan. Saya ingat betul ibu mengeryitkan dahi tapi beliau percaya. Mengijinkan saya ‘istirahat’ di rumah. Wuih...senang lho di rumah itu. Bebas mau apa saja, apalagi saudara – saudara saya ke sekolah, tidak ada yang menganggu. Bebas!

Tetapi siangnya, sepulang ibu dari mengajar, beliau memanggil. Bercerita kalau tadi bertemu guru tk  untuk memberitahu kalau saya sakit. Dari situ, ibu mendapat laporan bagaimana ‘berisiknya’ saya di kelas. Ibu malu. Saya ditegur cukup keras. Ibu pun kemudian tahu kalau saya hanya pura-pura sakit.

‘Tapi aku bosan,Bu! Di kelas disuruh mengeja. Aku kan sudah bisa baca !’ protesku.
Ibu tidak menanggapi dan keukeuh besok saya masuk sekolah. Mau jadi apa saya kalau sejak kecil sekolah saja malas. Lha ?

Sejak peristiwa itu, saya tidak berani mbolos lagi. Namun di sekolah ada yang berubah. Ibu guru tidak lagi menghukum saya. Beliau cenderung ‘membiarkan’ dan memberi saya kebebasan. Kadang, beliau meminjamkan majalah anak-anak untuk saya baca sendiri ketika teman-teman belajar mengeja. Sekali waktu, saya diminta membacakannya juga untuk teman-teman. Saya mulai senang kembali ke sekolah.

Belakangan ketika dewasa, saya tahu ibu menemui bu guru tk lagi. Membicarakan tentang kebosanan saya dan bagaimana menanganinya bersama-sama.

Ah, bu guru dan ibu yang bijak. Terima kasih kenangan dan pelajarannya.

Kembali ke kisah si teman yang anaknya mogok sekolah, mungkin kita sebagai ortu perlu mencari tahu sebabnya dulu. Bertanya ke si anak tanpa marah-marah atau senewen. Belajar mendengarkan suara mereka tanpa memotong ceritanya. Ketika tahu duduk masalahnya,  kita bisa mengkomunikasikan dengan ibu gurunya di sekolah.


Bagaimana pun, mendidik anak-anak adalah tugas ortu. Entah anaknya bersekolah di lembaga formal atau belajar di rumah. Ortu memiliki kewajiban mendidik mereka. Bila anak-anak kita resah, sedih, menangis, atau bahkan mogok melakukan sesuatu, kita sebagai ortunya wajib menemani dan memahaminya. Kita dengarkan kegelisahan mereka. Kita percayai mereka. Bukan marah dan menuduhnya yang bukan-bukan. Bukan pula memaksakan kehendak kita. Karena kita adalah ortu anak – anak, bukan hakim mereka. 

No comments:

Post a Comment