Pages

Friday 17 June 2016

Dua Luka di Jari Pagi ini

Di lantai bawah terdengar suara riang tawa Si Bocah diselingi obrolan ringan dengan ayahnya. Terdengar asyik. “Gantian aku yang aduk ya ?” Tanya Si Bocah disusul suara tawa. “Adonannya jadi coklat semua, Ayah. Lihat!” Ayahnya mengiyakan.

Pagi itu mereka sepakat membuat pancake bersama. Mulai dari menyiapkan bahan sampai membuat adonan. Si Bocah suka sekali makan pancake. Dia ingin membuatnya bersama ayahnya kali ini, bukan bersama bunda. Kenapa ? tanya saya. “Karena Ayah di rumah hari ini, ga kerja.”

Jawaban lugu yang membuat kami, ortunya terdiam sesaat. Akhir-akhir ini memang ayahnya sering keluar kota. Meninggalkan Si Bocah beberapa hari hanya bersama saya. Kalaupun tidak keluar kota, pulang kerap malam saat Si Bocah sudah lelap.

Hari ini ayahnya di rumah. Si Bocah kelihatan senang dan nggulet saja dengan ayahnya. Saya memilih di luar lingkaran. Melihat dari jauh sebab mereka pun butuh waktu berdua saja.

Semua berjalan baik, gembira, dan lancar saja. Membuat adonan, mengamati perubahannya, sampai menjilat sedikit sambil cekikikan.

Tiba-tiba tangisannya terdengar. Awalnya hanya rintihan pelan namun kemudian berubah menjadi cukup keras saat Si Bocah melihat saya melintas. “Sakit, Bunda”, katanya sambil mengulurkan jari. Saat  saya bertanya mengapa, dia hanya sesengukan sambil bilang kena panas karena ayah.

Dari dapur, Si Ayah muncul. Ada raut menyesal di wajahnya.

“Sudah, tidak apa-apa. Bisa diobati. Yuk, kita cari binahong untuk lukanya”. Si bocah menolak dan masih menangis. Saya pun memangku Si Bocah. Sambil bercerita tentang pengalaman kena uap air panas, saya memberi isyarat untuk Si Ayah mengambil daun binahong dan kasa.

“Oh, yang jarinya Bunda luka dulu itu ya ?” tanya Si Bocah. Saya mengangguk. Percakapan seputar luka pun mengalir. Mengalihkan perhatiannya dari luka yang dialami sekaligus membuatnya lebih tenang. Ketika ayahnya datang dengan daun binahong dan kasa untuk membalut jarinya yang terluka, Si Bocah sudah bersikap biasa. Pun ketika Si Ayah minta maaf. “Iya, lain kali hati-hati ya, Yah”, jawabnya polos tanpa nada marah atau menyalahkan.  


Sebagai ortu, pengalaman ini adalah pelajaran berharga kami. Si ayah bercerita kalau sempat lalai mengawasi Si Bocah saat sedang memegang wajan sehingga jarinya terluka. Sejujurnya sempat merasa jengkel juga, sekalinya berkegiatan bersama kok ya ada kejadian ini. Kalimat protes sudah hampir terucap. Untungnya ingat bahwa Si Bocah banyak belajar dari apa yang kita lakukan, bukan apa yang kita nasehatkan. Saya pun belajar untuk tidak menyalahkan ayah di depan Si Bocah agar dia pun terbiasa tidak menyalahkan orang lain. (tapi kalau protes di belakang Si Bocah bolehlah ya hehehehehe).

2 comments:

  1. Iya mbak, saya jg berusaha kalau lg debat ma ayahnya gtu gk di depan anak2 :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima kasih apresiasinya ya mbak Hamsa :-)

      Delete