Di lantai bawah terdengar
suara riang tawa Si Bocah diselingi obrolan ringan dengan ayahnya. Terdengar asyik.
“Gantian aku yang aduk ya ?” Tanya Si Bocah disusul suara tawa. “Adonannya jadi
coklat semua, Ayah. Lihat!” Ayahnya mengiyakan.
Pagi itu mereka sepakat
membuat pancake bersama. Mulai dari
menyiapkan bahan sampai membuat adonan. Si Bocah suka sekali makan pancake. Dia ingin membuatnya bersama
ayahnya kali ini, bukan bersama bunda. Kenapa ? tanya saya. “Karena Ayah di
rumah hari ini, ga kerja.”
Jawaban lugu yang membuat kami, ortunya terdiam sesaat. Akhir-akhir
ini memang ayahnya sering keluar kota. Meninggalkan Si Bocah beberapa hari
hanya bersama saya. Kalaupun tidak keluar kota, pulang kerap malam saat Si
Bocah sudah lelap.
Hari ini ayahnya di rumah. Si Bocah kelihatan senang dan nggulet saja dengan ayahnya. Saya memilih
di luar lingkaran. Melihat dari jauh sebab mereka pun butuh waktu berdua saja.
Semua berjalan baik,
gembira, dan lancar saja. Membuat adonan, mengamati perubahannya, sampai
menjilat sedikit sambil cekikikan.
Tiba-tiba tangisannya
terdengar. Awalnya hanya rintihan pelan namun kemudian berubah menjadi cukup
keras saat Si Bocah melihat saya melintas. “Sakit, Bunda”, katanya
sambil mengulurkan jari. Saat saya bertanya
mengapa, dia hanya sesengukan sambil bilang kena panas karena ayah.
Dari dapur, Si Ayah muncul.
Ada raut menyesal di wajahnya.
“Sudah, tidak apa-apa. Bisa
diobati. Yuk, kita cari binahong untuk lukanya”. Si bocah menolak dan masih
menangis. Saya pun memangku Si Bocah. Sambil bercerita tentang pengalaman kena
uap air panas, saya memberi isyarat untuk Si Ayah mengambil daun binahong dan
kasa.
“Oh, yang jarinya Bunda luka
dulu itu ya ?” tanya Si Bocah. Saya mengangguk. Percakapan seputar luka pun
mengalir. Mengalihkan perhatiannya dari luka yang dialami sekaligus membuatnya
lebih tenang. Ketika ayahnya datang dengan daun binahong dan kasa untuk
membalut jarinya yang terluka, Si Bocah sudah bersikap biasa. Pun ketika Si
Ayah minta maaf. “Iya, lain kali hati-hati ya, Yah”, jawabnya polos tanpa nada
marah atau menyalahkan.
Sebagai ortu, pengalaman ini
adalah pelajaran berharga kami. Si ayah bercerita kalau sempat lalai mengawasi
Si Bocah saat sedang memegang wajan sehingga jarinya terluka. Sejujurnya sempat
merasa jengkel juga, sekalinya berkegiatan bersama kok ya ada kejadian ini. Kalimat protes sudah hampir terucap. Untungnya
ingat bahwa Si Bocah banyak belajar dari apa yang kita lakukan, bukan apa yang
kita nasehatkan. Saya pun belajar untuk tidak menyalahkan ayah di depan Si
Bocah agar dia pun terbiasa tidak menyalahkan orang lain. (tapi kalau protes di
belakang Si Bocah bolehlah ya hehehehehe).
Iya mbak, saya jg berusaha kalau lg debat ma ayahnya gtu gk di depan anak2 :)
ReplyDeleteTerima kasih apresiasinya ya mbak Hamsa :-)
Delete