Pages

Monday 25 April 2016

Si Bocah dan Hujan

‘Hujan! Boleh menangkap airnya ?’ tanya Si Bocah kegirangan. Saya amati hujannya tenang. Deras namun tidak berangin dan tidak petir. Saya pun mengangguk yang disambut teriakan kegirangannya lari keluar. Dengan riang, dia menangkap air dengan tangannya. ‘Basah!’ serunya sambil tertawa.

Jadi ingat dulu saat pertama kali Si Bocah boleh hujan-hujanan. Ketika itu kami masih di rumah ortu. Si bocah belum genap 2 tahun. Namun, setiap hujan turun, dia selalu tertarik melihat tetesan air yang jatuh. Kepalanya kerap melongok ke pintu. Saya pun akhirnya ajak dia ke teras saat hujan datang. Awalnya, hanya yang tangan mencoba menyentuh air yang turun dari atap. 

Ketika melihat saya hanya tersenyum, dia pun mencoba mengambil payung yang kebetulan terbuka. Saya hanya mengamati. Ingin tahu inisiatif apa lagi yang diambilnya. Ternyata dia jalan ke tengah halaman sambil membawa payung. Namun tidak lama. Payung menghalanginya berbasah-basah kena air hujan. Jadilah payung diletakkan dan dia asyik dengan tetesan air hujan. Tertawa-tawa lepas sambil berlari kesana kemari, dari genangan satu ke genangan air yang lain. Tidak terlihat takut atau khawatir akan sakit karena memang dia tidak mengenalnya.

Nenek Si Bocah sempat memprotes saya ketika membiarkannya main hujan. Takut cucunya sakit. Namun saya berhasil menyakinkan bahwa tidak apa-apa. Mungkin Si Bocah akan kedinginan dan sedikit bersin namun dia akan baik-baik saja karena kondisinya memang sedang bagus. Saya memilih melihatnya bermain hujan dengan gembira tanpa perasaan khawatir.

Semua anak-anak pada awalnya melihat hujan adalah sesuatu yang menarik tanpa tendensi. Namun, ketika kita, para orang dewasa ini mengatakan kepada mereka untuk tidak berhujan-hujan karena hujan membuat sakit berulang kali, lambat laun, pikiran mereka pun berubah. Hujan berarti penyakit. Maka ketika hujan turun, mereka pun memilih berteduh dan mencari tempat aman dari hujan agar tidak sakit.  

Buat saya pribadi, hujan adalah berkah. Air kehidupan yang diturunkan ke bumi untuk kehidupan semua mahkluk hidup. Hujan untuk disyukuri dan bukan diruntuki. Kalau pun ada banyak berita banjir dan longsor ketika musim hujan, bukan salah hujan. Tetapi salah manusianya yang senang membuang sampah sembarangan, gemar menggunduli hujan, dan menghilangkan daerah resapan.

Anak-anak adalah individu yang terlahir bebas tanpa prasangka. Mereka selalu positif dan penuh imajinasi. Sayang kalau kita, para ortu ini membelenggu pikiran dan imajinasi mereka dengan hal-hal yang bersifat menakutkan sehingga mereka tidak mampu maksimal mengasah potensi dirinya.

Sebuah cerita kebakaran sebuah kebun binatang di Thailand mungkin bisa kita renungkan bersama. Saya dapat cerita ini dari buku Rhenald Khasali. Ketika kebakaran terjadi, semua pintu kandang binatang telah dibuka. Semua hewan berhasil keluar, tetapi tidak dengan sekumpulan besar gajah. Mereka mati terbakar. Padahal, gajah adalah binatang paling gesit untuk menyelamatkan diri ketika ada kebakaran menurut fitrahnya. Penyelidikan pun dilakukan. Pintu kandang gajah memang dibuka. Rantai yang membelit kakinya pun dilepas. Namun mengapa mereka mati terbakar ? Pawang gajah mengatakan, karena dirantai kakinya selama bertahun-tahun, gajah-gajah itu percaya bahwa kaki mereka terikat meskipun sebenarnya rantainya telah terbuka. Pengalaman dirantai bertahun-tahun melenyapkan insting binatang berbelai itu untuk menyelamatkan diri sehingga mereka semua terbakar.


Apa yang kita katakan dan tanamkan kepada anak-anak sebaiknya mengandung hal baik dan positif. Membiasakan diri belajar melihat sesuatu dari sisi positifnya ketika berbicara dengan mereka. Jangan sampai anak-anak terpasung dengan label-label negatif atau kata-kata skeptis. Kita tidak berharap mereka seperti gajah dalam cerita di atas bukan ?

No comments:

Post a Comment