Pages

Thursday 21 April 2016

Perasaan Aman Bukan Rasa Takut, Ibu

Hujan sangat lebat. Petir menyambar sambung menyambung dengan suara menggelegar. Kulihat Si Bocah cukup tenang. Hanya sesekali melihat ke arah saya lalu kembali meneruskan aktivitas mengguntingnya. Tidak terganggu dengan suara ribut di luar. Saya pun merasa lega.

Dulu, saat hujan dan petir datang, Si Bocah pasti lari mencari saya sambil menutup telinganya minta dipeluk. Kilatan cahaya disusul suara keras bersahut-sahutan membuatnya tidak nyaman dan ketakutan. Saya sendiri ketika baru mendengar petir dan guntur keras sekali juga di kota ini. Awalnya, saya pun merasa tak nyaman. Namun, melihat kondisi Si Bocah yang ketakutan, mau tidak mau saya tepis rasa takut untuk menenangkannya.
Setiap kali ada petir disusul guntur, saya memeluknya sambil mengatakan semua baik-baik saja. Seiring berjalan waktu, Si Bocah mulai terbiasa. Dari yang harus dipeluk, kemudian hanya menghampiri sebentar lalu bermain lagi, dan sekarang dia sudah tenang dengan hanya tahu saya ada di jangkauan pandangnya.

Si Bocah saat ini berusia 3 tahun. Usia dimulainya ketakutan-ketakutan lebih sering muncul karena imajinasinya. Pemahaman yang masih membingungkan antara khayalan dan kenyataanlah yang membuat kondisi ini terjadi. Puncak ketakutan ini akan berlangsung sampai dia berusia 5 tahun.
Mereka dalam masa keingintahuan tinggi, semua menarik dan semua ingin diketahui. Namun, kerap rasa ingin tahu itu sirna karena rasa takut. Suara keras, keributan yang tidak biasa, binatang-binatang kecil, atau pun orang asing.

Banyak hal ajaib yang akan diucapkannya. Ada saat anak-anak berlarian dan berkata dikejar harimau buas, atau tiba-tiba pura-pura menangis karena merasa luka berdarah-darah, bisa juga lari ketakutan karena melihat laba-laba atau lebah karena pernah disengat. Semua itu wajar dan alamiah. Kita semua pun pernah merasa takut. Rasa takut yang dimiliki anak-anak adalah proses dia belajar mengenal bahaya, mempertahankan diri, sekaligus melatih insting bertahan hidup sebagai manusia.

Kadang, sebagai orang dewasa, kita sering menanggapi ketakutan yang dirasakan anak-anak dengan menggoda atau mengoloknya. ‘Ah, cemeng! Begitu saja takut. Di sana gelap lho, ada hantunya. Ada monster yang suka makan anak-anak tinggal di situ. Sederet ungkapan yang membuat anak semakin ketakutan. Mungkin maksudnya untuk melarang mereka dan menghindarkannya dari bahaya, namun caranya yang kurang tepat.

Reaksi kita sebagai ortunya sebaiknya bijak dalam menanggapi perilaku anak-anak terkait dengan rasa takutnya. Mendampingi dan melatih mereka mampu mengatasi dan menghadapi rasa takut sendiri dengan penjelasan-penjelasan sederhana yang bisa dipahami anak-anak.

Ketika anak takut dengan bunyi vacuum cleaner yang menderu-deru misalnya, kita bisa jelaskan dan mengajaknya melihat lebih dekat. Awalnya mungkin anak-anak akan memilih lari menghindar sambil menutup telinga, namun lama kelamaan karena ingin tahu dan sudah biasa mendengar, mereka pun akan biasa saja reaksinya.


Menakut-nakuti anak hanya akan membuat mereka menjadi penakut dan mengalami fobia. Menakut-nakuti anak, berimbas pula pada perilaku mereka yang akan cenderung ke ragu-ragu dalam banyak hal. Anak-anak memerlukan kondisi yang aman dan kepercayaan diri untuk dapat menjalani proses belajarnya secara maksimal. Bila yang sering kita tunjukkan adalah perasaan takut dan bukan rasa aman, akankah mereka mampu bereksplorasi dengan gembira dan seutuhnya ?

No comments:

Post a Comment