Hujan sangat lebat. Petir
menyambar sambung menyambung dengan suara menggelegar. Kulihat Si Bocah cukup
tenang. Hanya sesekali melihat ke arah saya lalu kembali meneruskan aktivitas
mengguntingnya. Tidak terganggu dengan suara ribut di luar. Saya pun merasa
lega.
Dulu, saat hujan dan petir
datang, Si Bocah pasti lari mencari saya sambil menutup telinganya minta
dipeluk. Kilatan cahaya disusul suara keras bersahut-sahutan membuatnya tidak
nyaman dan ketakutan. Saya sendiri ketika baru mendengar petir dan guntur keras
sekali juga di kota ini. Awalnya, saya pun merasa tak nyaman. Namun, melihat
kondisi Si Bocah yang ketakutan, mau tidak mau saya tepis rasa takut untuk
menenangkannya.
Setiap kali ada petir disusul
guntur, saya memeluknya sambil mengatakan semua baik-baik saja. Seiring
berjalan waktu, Si Bocah mulai terbiasa. Dari yang harus dipeluk, kemudian
hanya menghampiri sebentar lalu bermain lagi, dan sekarang dia sudah tenang
dengan hanya tahu saya ada di jangkauan pandangnya.
Si Bocah saat ini berusia 3
tahun. Usia dimulainya ketakutan-ketakutan lebih sering muncul karena
imajinasinya. Pemahaman yang masih membingungkan antara khayalan dan
kenyataanlah yang membuat kondisi ini terjadi. Puncak ketakutan ini akan berlangsung
sampai dia berusia 5 tahun.
Mereka dalam masa
keingintahuan tinggi, semua menarik dan semua ingin diketahui. Namun, kerap
rasa ingin tahu itu sirna karena rasa takut. Suara keras, keributan yang tidak
biasa, binatang-binatang kecil, atau pun orang asing.
Banyak hal ajaib yang akan
diucapkannya. Ada saat anak-anak berlarian dan berkata dikejar harimau buas,
atau tiba-tiba pura-pura menangis karena merasa luka berdarah-darah, bisa juga
lari ketakutan karena melihat laba-laba atau lebah karena pernah disengat. Semua
itu wajar dan alamiah. Kita semua pun pernah merasa takut. Rasa takut yang
dimiliki anak-anak adalah proses dia belajar mengenal bahaya, mempertahankan
diri, sekaligus melatih insting bertahan hidup sebagai manusia.
Kadang, sebagai orang
dewasa, kita sering menanggapi ketakutan yang dirasakan anak-anak dengan
menggoda atau mengoloknya. ‘Ah, cemeng!
Begitu saja takut. Di sana gelap lho, ada
hantunya. Ada monster yang suka makan anak-anak tinggal di situ. Sederet ungkapan
yang membuat anak semakin ketakutan. Mungkin maksudnya untuk melarang mereka
dan menghindarkannya dari bahaya, namun caranya yang kurang tepat.
Reaksi kita sebagai ortunya sebaiknya
bijak dalam menanggapi perilaku anak-anak terkait dengan rasa takutnya. Mendampingi
dan melatih mereka mampu mengatasi dan menghadapi rasa takut sendiri dengan
penjelasan-penjelasan sederhana yang bisa dipahami anak-anak.
Ketika anak takut dengan
bunyi vacuum cleaner yang
menderu-deru misalnya, kita bisa jelaskan dan mengajaknya melihat lebih dekat.
Awalnya mungkin anak-anak akan memilih lari menghindar sambil menutup telinga,
namun lama kelamaan karena ingin tahu dan sudah biasa mendengar, mereka pun
akan biasa saja reaksinya.
Menakut-nakuti anak hanya
akan membuat mereka menjadi penakut dan mengalami fobia. Menakut-nakuti anak,
berimbas pula pada perilaku mereka yang akan cenderung ke ragu-ragu dalam
banyak hal. Anak-anak memerlukan kondisi yang aman dan kepercayaan diri untuk
dapat menjalani proses belajarnya secara maksimal. Bila yang sering kita
tunjukkan adalah perasaan takut dan bukan rasa aman, akankah mereka mampu bereksplorasi
dengan gembira dan seutuhnya ?
No comments:
Post a Comment