Pages

Wednesday 6 April 2016

Belajar Berdamai Dengan Perpisahan

Hari ini, Si Bocah kembali belajar berdamai dengan perpisahan. Teman dekatnya selama satu tahun terakhir pindah rumah. Terlihat sekali bagaimana cukup kerasnya dia menahan sedih. Awalnya, Si Bocah tidak mau bertegur sapa seperti biasa. Hanya melihat dari kejauhan. Dari membungkus barang sampai mengangkutnya.

Saya mengawasinya diam-diam. Ikut merasakan sedihnya. Sekali waktu, memeluknya tanpa suara saat dia mendekat. Membalas senyumnya saat dia mencoba meringis. Tapi, Si Bocah akan kembali di depan pintu atau pagar melihat kembali kerepotan pindahan yang dilakukan keluarga temannya.

Di menit terakhir, saat mobil pengangkut mulai beranjak, Si Bocah pun lari ke pagar sambil teriak ‘sampai jumpa’! 


Tangannya melambai sampai mobil hilang di tikungan. Si Bocah kemudian menoleh. Saya sambut dengan tos sambil tersenyum. Namun, detik berikutnya, pecahlah tangisnya. “Aku tidak punya teman lagi, Nda,” ucapnya di pelukan saya. Untuk beberapa saat, saya hanya memeluk dan mengusap kepalanya.

Ketika dia tenang, saya mencoba menghiburnya. Mengatakan kalau dia hebat, mau mengantarkan temannya pergi. Saya kembali mengulang cerita tentang burung-burung yang terbang sendiri-sendiri. Bagaimana kemudian mereka bertemu dengan teman-teman yang baru namun masih bersahabat dengan temannya yang lama. Cerita itu jauh hari sudah saya ceritakan berulang-ulang ketika mendengar rencana kepindahan temannya. Saya juga mengingatkan Si Bocah akan teman-teman play date-nya yang berkumpul setiap satu minggu sekali.

Sebagai ortu, cukup berat rasanya melihat anak-anak kita sedih. Bahagia rasanya kalau hanya senyum dan tawa saja yang mewarnai hari-hari mereka. Kalau boleh memohon, hanya keriangan dan keceriaan saja yang ada di masa kecilnya. Tak usah ada tangisan tak perlu ada kesedihan.

Namun, hidup tidaklah begitu. Hidup menawarkan banyak hal dengan dua sisinya. Ada terang ada gelap. Ada tawa ada tangis. Ada sedih ada bahagia. Ada naik ada turun (atau ups and downs kata Si Bocah sambil menyanyi the wheels on the bus).

Yang terpenting, bagaimana kita, para ortu ini menemani dan mendampinginya belajar menghadapi sekaligus berdamai dengan emosi yang muncul akibat kondisi-kondisi kurang menyenangkan itu (kesedihan). Meski tak jarang, kita sebagai ortu pun terseret emosi kesedihan yang dialami anak-anak. Belajar terbiasa menghadapi dan berdamai dengan pengalaman-pengalaman pahit sekaligus bisa mengambil hikmahnya, niscaya membuat mereka lebih kuat dalam menjalani kehidupannya di masa depan.

Lamat-lamat, saya teringat lirik lagu yang dulu sering dinyanyikan murid-murid.
Satu-satu, daun-daun, berguguran tinggalkan tangkainya
Satu-satu, burung kecil, beterbangan tinggalkan sarangnya

Jauh, tinggi, ke langit yang biru

No comments:

Post a Comment