Hari ini, Si Bocah kembali
belajar berdamai dengan perpisahan. Teman dekatnya selama satu tahun terakhir
pindah rumah. Terlihat sekali bagaimana cukup kerasnya dia menahan sedih. Awalnya,
Si Bocah tidak mau bertegur sapa seperti biasa. Hanya melihat dari kejauhan. Dari
membungkus barang sampai mengangkutnya.
Saya mengawasinya
diam-diam. Ikut merasakan sedihnya. Sekali waktu, memeluknya tanpa suara saat
dia mendekat. Membalas senyumnya saat dia mencoba meringis. Tapi, Si Bocah akan
kembali di depan pintu atau pagar melihat kembali kerepotan pindahan yang
dilakukan keluarga temannya.
Di menit terakhir, saat
mobil pengangkut mulai beranjak, Si Bocah pun lari ke pagar sambil teriak ‘sampai
jumpa’!
Tangannya melambai sampai mobil hilang di tikungan. Si Bocah kemudian
menoleh. Saya sambut dengan tos sambil tersenyum. Namun, detik berikutnya,
pecahlah tangisnya. “Aku tidak punya teman lagi, Nda,” ucapnya di pelukan saya.
Untuk beberapa saat, saya hanya memeluk dan mengusap kepalanya.
Ketika dia tenang, saya
mencoba menghiburnya. Mengatakan kalau dia hebat, mau mengantarkan temannya
pergi. Saya kembali mengulang cerita tentang burung-burung yang terbang
sendiri-sendiri. Bagaimana kemudian mereka bertemu dengan teman-teman yang baru
namun masih bersahabat dengan temannya yang lama. Cerita itu jauh hari sudah
saya ceritakan berulang-ulang ketika mendengar rencana kepindahan temannya. Saya
juga mengingatkan Si Bocah akan teman-teman play
date-nya yang berkumpul setiap satu minggu sekali.
Sebagai ortu, cukup berat
rasanya melihat anak-anak kita sedih. Bahagia rasanya kalau hanya senyum dan
tawa saja yang mewarnai hari-hari mereka. Kalau boleh memohon, hanya keriangan dan
keceriaan saja yang ada di masa kecilnya. Tak usah ada tangisan tak perlu ada
kesedihan.
Namun, hidup tidaklah
begitu. Hidup menawarkan banyak hal dengan dua sisinya. Ada terang ada gelap. Ada
tawa ada tangis. Ada sedih ada bahagia. Ada naik ada turun (atau ups and downs kata Si Bocah sambil
menyanyi the wheels on the bus).
Yang terpenting, bagaimana kita,
para ortu ini menemani dan mendampinginya belajar menghadapi sekaligus berdamai
dengan emosi yang muncul akibat kondisi-kondisi kurang menyenangkan itu
(kesedihan). Meski tak jarang, kita sebagai ortu pun terseret emosi kesedihan
yang dialami anak-anak. Belajar terbiasa menghadapi dan berdamai dengan
pengalaman-pengalaman pahit sekaligus bisa mengambil hikmahnya, niscaya membuat mereka lebih kuat dalam menjalani kehidupannya di masa depan.
Lamat-lamat, saya teringat
lirik lagu yang dulu sering dinyanyikan murid-murid.
Satu-satu, daun-daun, berguguran tinggalkan tangkainya
Satu-satu, burung kecil, beterbangan tinggalkan sarangnya
Jauh, tinggi, ke langit yang biru
No comments:
Post a Comment