Pernah melihat buku
ini ? Atau malah sudah membacanya ? Kalau belum, ada baiknya membuka dan
membacanya. Banyak pemikiran menarik tentang bagaimana memperbarui cara
berpikir sekaligus menjadi manusia yang mampu menjadi driver bagi dirinya sendiri.
Saya pribadi sangat
suka terutama pada bab tiga di buku ini ‘Mengapa kaum muda memilih
universitas’. Di bab itu, Pak Rhenald Kasali – si penulis buku ini – banyak
mengulas tentang kondisi pendidikan, baik itu di dalam maupun di luar negeri.
Meski secara garis besar mengulas tentang pendidikan di jenjang perguruan
tinggi, namun relevan juga untuk kita, para ortu ini yang anak-anaknya belum
kuliah. Sebagai bahan renungan dan referensi dalam mendidik anak.
Ada satu artikel
dalam bab tiga itu yang sangat mengesankan saya. Judulnya ‘Sekolah 5 senti’.
Artikel lama yang pernah dimuat pada surat kabar nasional pada tahun 2012 namun
masih bisa kita ambil hikmahnya. Awalnya saya pikir mirip dengan film Indonesia
yang berjudul 5 cm, ternyata tidak sama sekali (terjebak judul yang hampir sama
hehehe).
Pak Rhenald bercerita
tentang kehidupan orang Yahudi berdasarkan kisah temannya. Bagaimana para suami
banyak menghabiskan waktu menemani istrinya yang sedang mengandung sambil
mengajarinya rumus-rumus matematika atau bermain musik. Hal itu dilakukan
semata-mata karena keinginan memiliki anak yang kelak kecerdasannya seperti
Einstein atau violin terkenal Itzhak Perlman. Ada juga kisah ortu rantau di
Jakarta yang membuka jasa tambal ban, dan anaknya yang masih sekolah dasar
sedang belajar sambil minum segelas susu. Dua cerita ini adalah tentang
bagaimana usaha ortu untuk mencerdaskan anaknya. Namun, Pak Rhenald
mengingatkan bahwa orang yang sukses itu sekolahnya bukan hanya 5 senti.
Sekolah 5 senti ?
Iya, sekolah 5 senti baik dari atas maupun bawah.
Sekolah 5 senti kalau
dari atas adalah dimulai dari kepala bagian atas. Model belajarnya biasanya
yang harus duduk tenang, rapi melihat ke depan, sekaligus tangan dilipat. Fokusnya
hanya kepada sesuatu yang berkaitan dengan kognitif, atau pengetahuan saja. Nah,
untuk mengukur berapa kapasitas pengetahuan yang dimiliki biasanya merujuk pada
nilai raport atau transkrip. Kalau diukur mulai dari kepala bagian atas,
disebutkan paling jauh menyerap 5 senti ke bawah. Ah, jadi ingat dulu jaman
sekolah. Duduk tertib tenang dan harus melihat ke depan. Noleh sedikit saja
langsung ditegur guru.
Kalau 5 senti dari
bawah mulainya dari alas kaki, minimal pintarnya itu 50 senti atau sampai
lutut. Disebutkan mirip metode ‘goblok’-nya Bob Sadino. Tinggal dijalani dan
lakukan saja, tidak perlu dipikirkan, dicoba, dirasakan lama-lama akan naik
juga.
Dari keduanya, mana
yang lebih baik ? Jawabannya adalah tidak ada. Mengapa ? Sebab keduanya
memiliki potensi yang sama, baik itu potensi gagal maupun potensi sukses.
Tergantung berhenti belajarnya sampai di mana.
Bila yang memulai 5
senti dari atas, sudah puas dengan dia mendapatkan selembar ijazah tanda lulus
dan merasa sudah cukup belajarnya, maka bisa jadi mereka menjadi
manusia-manusia terdidik yang hanya bisa berpikir namun tidak mampu bertindak
nyata di masyarakat. Begitu pula yang memulai 5 senti dari bawah dan hanya
berhenti sampai 50 senti. Golongan ini pun ditulis kerap berkomentar negatif
akan sebuah peristiwa meskipun sebenarnya masalah yang membelit mereka banyak.
Para imigran Arab, Yahudi,
China, ataupun India di Amerika diceritakan memahami bahwa untuk sukses itu
tidak cukup belajar hanya 5 senti. Belajar harus menyeluruh agar sukses. Sampai
2 meter, dari atas kepala hingga telapak kaki.
Dikatakan bahwa
pintar itu bukan hanya masalah berpikir saja. Pintar itu mampu menjalankan apa
yang dipikirkan, melakukan hubungan ke kanan dan ke kiri, mengambil, menulis,
memberi, dan berbicara. Semua anggota tubuh digunakan baik itu otak, tangan,
kaki, maupun mulut. Kita dapat melihat contoh belajar 2 meter dari para ortu
Tionghoa yang menugaskan anak-anaknya menjaga toko selepas sekolah atau ortu-ortu
yang mengirim anak-anaknya belajar musik atau seni.
Jadi, kalau ada yang
masih beranggapan belajar itu tidak perlu banyak bertanya atau bergerak, cukup
duduk tenang dan mengerjakan apa yang ditugaskan, sepertinya perlu diubah mulai
sekarang. Yang beranggapan bahwa menamatkan sebuah jenjang pendidikan dan
menerima selembar ijazah adalah akhir dari proses belajar pun harus mengubah
pola pikirnya.
Belajar itu harus terus
menerus dilakukan. Sepanjang hayat. Belajar itu pun tidak sebatas di bangku
sekolah dan mengumpulkan gelar sebanyak-banyaknya. Belajar bisa dimana saja.
Pak Rhenald Kasali mengatakan, seperti otak orang tua yang perlu dilatih terus
menerus, fisik anak-anak pun harus di sekolahkan. Disekolahkan di sini artinya
luas, tidak saja duduk di bangku dan mendengarkan guru, namun belajar di alam
semesta, berteman debu dan lumpur, berpanas-panas, kehujanan, jatuh, serta
bangun kembali.
Yuk, ajak anak-anak
kita belajar kehidupan 2 meter mulai sekarang! Niscaya, akan lebih banyak
manusia-manusia bermanfaat mewarnai dunia ini.
No comments:
Post a Comment