Pages

Thursday 17 March 2016

Sekolah 5 Senti Rhenald Khasali

Pernah melihat buku ini ? Atau malah sudah membacanya ? Kalau belum, ada baiknya membuka dan membacanya. Banyak pemikiran menarik tentang bagaimana memperbarui cara berpikir sekaligus menjadi manusia yang mampu menjadi driver bagi dirinya sendiri.

Saya pribadi sangat suka terutama pada bab tiga di buku ini ‘Mengapa kaum muda memilih universitas’. Di bab itu, Pak Rhenald Kasali – si penulis buku ini – banyak mengulas tentang kondisi pendidikan, baik itu di dalam maupun di luar negeri. Meski secara garis besar mengulas tentang pendidikan di jenjang perguruan tinggi, namun relevan juga untuk kita, para ortu ini yang anak-anaknya belum kuliah. Sebagai bahan renungan dan referensi dalam mendidik anak.

Ada satu artikel dalam bab tiga itu yang sangat mengesankan saya. Judulnya ‘Sekolah 5 senti’. Artikel lama yang pernah dimuat pada surat kabar nasional pada tahun 2012 namun masih bisa kita ambil hikmahnya. Awalnya saya pikir mirip dengan film Indonesia yang berjudul 5 cm, ternyata tidak sama sekali (terjebak judul yang hampir sama hehehe).

Pak Rhenald bercerita tentang kehidupan orang Yahudi berdasarkan kisah temannya. Bagaimana para suami banyak menghabiskan waktu menemani istrinya yang sedang mengandung sambil mengajarinya rumus-rumus matematika atau bermain musik. Hal itu dilakukan semata-mata karena keinginan memiliki anak yang kelak kecerdasannya seperti Einstein atau violin terkenal Itzhak Perlman. Ada juga kisah ortu rantau di Jakarta yang membuka jasa tambal ban, dan anaknya yang masih sekolah dasar sedang belajar sambil minum segelas susu. Dua cerita ini adalah tentang bagaimana usaha ortu untuk mencerdaskan anaknya. Namun, Pak Rhenald mengingatkan bahwa orang yang sukses itu sekolahnya bukan hanya 5 senti.

Sekolah 5 senti ? Iya, sekolah 5 senti baik dari atas maupun bawah.

Sekolah 5 senti kalau dari atas adalah dimulai dari kepala bagian atas. Model belajarnya biasanya yang harus duduk tenang, rapi melihat ke depan, sekaligus tangan dilipat. Fokusnya hanya kepada sesuatu yang berkaitan dengan kognitif, atau pengetahuan saja. Nah, untuk mengukur berapa kapasitas pengetahuan yang dimiliki biasanya merujuk pada nilai raport atau transkrip. Kalau diukur mulai dari kepala bagian atas, disebutkan paling jauh menyerap 5 senti ke bawah. Ah, jadi ingat dulu jaman sekolah. Duduk tertib tenang dan harus melihat ke depan. Noleh sedikit saja langsung ditegur guru.

Kalau 5 senti dari bawah mulainya dari alas kaki, minimal pintarnya itu 50 senti atau sampai lutut. Disebutkan mirip metode ‘goblok’-nya Bob Sadino. Tinggal dijalani dan lakukan saja, tidak perlu dipikirkan, dicoba, dirasakan lama-lama akan naik juga.

Dari keduanya, mana yang lebih baik ? Jawabannya adalah tidak ada. Mengapa ? Sebab keduanya memiliki potensi yang sama, baik itu potensi gagal maupun potensi sukses. Tergantung berhenti belajarnya sampai di mana.

Bila yang memulai 5 senti dari atas, sudah puas dengan dia mendapatkan selembar ijazah tanda lulus dan merasa sudah cukup belajarnya, maka bisa jadi mereka menjadi manusia-manusia terdidik yang hanya bisa berpikir namun tidak mampu bertindak nyata di masyarakat. Begitu pula yang memulai 5 senti dari bawah dan hanya berhenti sampai 50 senti. Golongan ini pun ditulis kerap berkomentar negatif akan sebuah peristiwa meskipun sebenarnya masalah yang membelit mereka banyak.

Para imigran Arab, Yahudi, China, ataupun India di Amerika diceritakan memahami bahwa untuk sukses itu tidak cukup belajar hanya 5 senti. Belajar harus menyeluruh agar sukses. Sampai 2 meter, dari atas kepala hingga telapak kaki.

Dikatakan bahwa pintar itu bukan hanya masalah berpikir saja. Pintar itu mampu menjalankan apa yang dipikirkan, melakukan hubungan ke kanan dan ke kiri, mengambil, menulis, memberi, dan berbicara. Semua anggota tubuh digunakan baik itu otak, tangan, kaki, maupun mulut. Kita dapat melihat contoh belajar 2 meter dari para ortu Tionghoa yang menugaskan anak-anaknya menjaga toko selepas sekolah atau ortu-ortu yang mengirim anak-anaknya belajar musik atau seni.  

Jadi, kalau ada yang masih beranggapan belajar itu tidak perlu banyak bertanya atau bergerak, cukup duduk tenang dan mengerjakan apa yang ditugaskan, sepertinya perlu diubah mulai sekarang. Yang beranggapan bahwa menamatkan sebuah jenjang pendidikan dan menerima selembar ijazah adalah akhir dari proses belajar pun harus mengubah pola pikirnya.

Belajar itu harus terus menerus dilakukan. Sepanjang hayat. Belajar itu pun tidak sebatas di bangku sekolah dan mengumpulkan gelar sebanyak-banyaknya. Belajar bisa dimana saja. Pak Rhenald Kasali mengatakan, seperti otak orang tua yang perlu dilatih terus menerus, fisik anak-anak pun harus di sekolahkan. Disekolahkan di sini artinya luas, tidak saja duduk di bangku dan mendengarkan guru, namun belajar di alam semesta, berteman debu dan lumpur, berpanas-panas, kehujanan, jatuh, serta bangun kembali.

Yuk, ajak anak-anak kita belajar kehidupan 2 meter mulai sekarang! Niscaya, akan lebih banyak manusia-manusia bermanfaat mewarnai dunia ini.



No comments:

Post a Comment