Ketika sedang di desa
mengunjungi rumah ortu, rutinitas pagi berjalan-jalan dengan Si Bocah tetap
saya lakukan. Selain melatih otot-otot Si Bocah yang sedang dalam masa pertumbuhan,
juga mengenalkan hal baru sekaligus ngobrol
melihat-lihat apa saja yang kami lewati. Biasanya jalan-jalan pagi kami
adalah ke pasar mencari bubur.
Sepanjang jalan,
banyak hal menarik Si Bocah. Tak jarang kami berhenti lama di suatu tempat
hanya karena Si Bocah ingin meihat sesuatu. Dari putri malu yang selalu
merunduk bila daunnya disentuh, capung yang sedang hinggap di rumput, sampai
kubah masjid yang berputar-putar.
Jarak rumah ortu ke
pasar tidak jauh. Hanya 500 meter. Jarak yang bisa ditempuh dengan berjalan
kaki. Namun, saya melihat banyak yang berubah. Kalau dulu, melihat orang
berjalan kaki kemana-mana adalah hal biasa, namun sekarang, kalau ada yang
berjalan kaki terlihat aneh dan selalu muncul pertanyaan. Mengapa kok jalan
kaki saja ?
Zaman memang telah
berubah. Begitu banyak sekarang kendaraan bermotor berlalu-lalang. Meski pergi
ke tempat yang jaraknya kurang dari 10 meter saja, banyak orang memilih naik
sepeda motor daripada jalan kaki. Tak terkecuali anak-anak sekolah. Mulai dari
balita yang diantar memakai sepeda motor sampai anak sekolah menengah yang
mengendarai sendiri meski sebenarnya belum waktunya. Berdalih kasihan kalau
berjalan kaki ke sekolah atau untuk menunjukkan rasa sayang, para ortu banyak
yang melakukannya.
Banyak diantara kita,
para ortu ini tidak sadar bahwa apa yang kita lakukan untuk menunjukkan rasa
sayang kepada anak sering malah menjerumuskan mereka ke dalam masalah nantinya.
Saya dan suami misalnya. Dulu, kegembiraan memiliki anak pertama kali membuat
kami semangat membelikannya mainan banyak sekali. Padahal usianya belum genap
dua tahun. Alhasil, banyak mainan yang karena tidak sesuai usia, rusak dan
mubazir. Kondisi itu membuat kami introspeksi. Ada yang salah nih.
Melalui buku-buku
parenting Ayah Edy, kami pun mulai memahami pola asuh yang sempat keliru itu. Pelan-pelan,
mainan untuk Si Bocah kami reduksi. Bermain pun menggunakan apa yang ada di
sekitar. Semua boleh dieksplorasi. Dipegang, dijilat, dibuka, bahkan dibanting
hehehehe. Tidak takut rusak ? Kadang takut juga, namun mengatasi rasa takut
itu, kami sebisa mungkin tidak meletakkan benda-benda mahal dalam jangkauan Si
Bocah. Hasilnya, Si Bocah yang kebetulan kerap ikut bepergian keluar kota,
tidak tergantung sama sekali dengan mainan. Bermain bisa dengan apa saja. Di sini,
kreativitas kita kuncinya.(bukan disodori gawai ya hehehe)
Keputusan tidak mudah
membelikan mainan ini memiliki tantangan tersendiri untuk kami. Apalagi saat
teman-temannya memiliki beraneka mainan. Luar biasa rasanya mendengar Si Bocah
merengek meminta mainan serupa. Perlu diingat, anak-anak kita sangat pandai
berstrategi agar keinginannya terpenuhi meski masih usia dini. Bila sekali saja
kita menuruti strategi yang dilancarkannya, anak-anak akan mengulanginya lain
waktu untuk keinginan yang berbeda. Ilustrasinya seperti video commercial break berikut ini.
Tak jarang, diam-diam
saya pun ngempet juga. Ayah Si Bocah
juga sama. Kenangan masa lalu akan tidak nyamannya tak bisa memiliki mainan seperti
teman-temannya, kerap membuatnya ingin membelikan apapun yang diinginkan Si Bocah.
Belum lagi anggapan pelit jadi ortu, tegaan,
tidak sayang anak, dan
label-label lain sering kami dengar. Kok masih bertahan ?
Ada kata Ayah Edy
yang cukup mengena saya di acara parenthing. ‘Kasih sayang adalah melindungi anak dari bahaya
selama proses eksplorasinya, bukan mempermudah proses belajarnya.’ Bagi saya
sendiri, kasih sayang juga bukan berarti memberikan banyak mainan yang diingini
Si Bocah.
Kemudahan-kemudahan,
kenyamanan, dan fasilitas lain yang mungkin wujud kasih sayang kita, bisa jadi
menjerumuskan anak ke sifat manja. Mungkin saat anak masih kecil,
keinginan-keinginannya bisa dengan mudah kita penuhi, namun keinginan itu akan
semakin kompleks seiring dengan berkembangnya usia. Ketika keinginan itu tidak
terpenuhi, maka kerap anak kemudian memaksakan kehendaknya. Saat usianya masih
balita, bisa jadi dengan rengekan dan tangisan, namun saat menginjak remaja dan
dewasa, bukan tidak mungkin dia melakukan kekerasan untuk mewujudkan
keinginannya itu. Seperti cerita anak tetangga di rumah ortu. Anaknya tidak mau
pergi sekolah kalau tidak dibelikan sepeda motor atau anaknya mengambil uang
ortunya untuk membeli telepon genggam. Di surat kabar pun, banyak kita temui
kasus-kasus serupa tentang anak-anak yang memaksakan keinginannya ini. Kalau sudah
begini bagaimana sikap kita ?
Sebagai ortu, kita
memang harus bijak mengambil keputusan terkait pengasuhan anak-anak. Sering-sering
kita mengingatkan diri sendiri bahwa kasih sayang itu bukan membuat semua mudah
untuk mereka, namun bagaimana membuat mereka mampu menjadi manusia mandiri ke
depannya.
-
- Kecenderungan anak manja adalah sulit bersosialisasi.Hubungan dengan teman-temannya biasanya seperti majikan dengan anak buah - Ayah Edy
- Kecenderungan anak manja adalah sulit bersosialisasi.Hubungan dengan teman-temannya biasanya seperti majikan dengan anak buah - Ayah Edy
No comments:
Post a Comment