Pages

Sunday 20 March 2016

Menyayangi, Bukan Memanjakan

Ketika sedang di desa mengunjungi rumah ortu, rutinitas pagi berjalan-jalan dengan Si Bocah tetap saya lakukan. Selain melatih otot-otot Si Bocah yang sedang dalam masa pertumbuhan, juga mengenalkan hal baru sekaligus ngobrol melihat-lihat apa saja yang kami lewati. Biasanya jalan-jalan pagi kami adalah ke pasar mencari bubur.

Sepanjang jalan, banyak hal menarik Si Bocah. Tak jarang kami berhenti lama di suatu tempat hanya karena Si Bocah ingin meihat sesuatu. Dari putri malu yang selalu merunduk bila daunnya disentuh, capung yang sedang hinggap di rumput, sampai kubah masjid yang berputar-putar.

Jarak rumah ortu ke pasar tidak jauh. Hanya 500 meter. Jarak yang bisa ditempuh dengan berjalan kaki. Namun, saya melihat banyak yang berubah. Kalau dulu, melihat orang berjalan kaki kemana-mana adalah hal biasa, namun sekarang, kalau ada yang berjalan kaki terlihat aneh dan selalu muncul pertanyaan. Mengapa kok jalan kaki saja ?

Zaman memang telah berubah. Begitu banyak sekarang kendaraan bermotor berlalu-lalang. Meski pergi ke tempat yang jaraknya kurang dari 10 meter saja, banyak orang memilih naik sepeda motor daripada jalan kaki. Tak terkecuali anak-anak sekolah. Mulai dari balita yang diantar memakai sepeda motor sampai anak sekolah menengah yang mengendarai sendiri meski sebenarnya belum waktunya. Berdalih kasihan kalau berjalan kaki ke sekolah atau untuk menunjukkan rasa sayang, para ortu banyak yang melakukannya.

Banyak diantara kita, para ortu ini tidak sadar bahwa apa yang kita lakukan untuk menunjukkan rasa sayang kepada anak sering malah menjerumuskan mereka ke dalam masalah nantinya. Saya dan suami misalnya. Dulu, kegembiraan memiliki anak pertama kali membuat kami semangat membelikannya mainan banyak sekali. Padahal usianya belum genap dua tahun. Alhasil, banyak mainan yang karena tidak sesuai usia, rusak dan mubazir. Kondisi itu membuat kami introspeksi. Ada yang salah nih.

Melalui buku-buku parenting Ayah Edy, kami pun mulai memahami pola asuh yang sempat keliru itu. Pelan-pelan, mainan untuk Si Bocah kami reduksi. Bermain pun menggunakan apa yang ada di sekitar. Semua boleh dieksplorasi. Dipegang, dijilat, dibuka, bahkan dibanting hehehehe. Tidak takut rusak ? Kadang takut juga, namun mengatasi rasa takut itu, kami sebisa mungkin tidak meletakkan benda-benda mahal dalam jangkauan Si Bocah. Hasilnya, Si Bocah yang kebetulan kerap ikut bepergian keluar kota, tidak tergantung sama sekali dengan mainan. Bermain bisa dengan apa saja. Di sini, kreativitas kita kuncinya.(bukan disodori gawai ya hehehe)

Keputusan tidak mudah membelikan mainan ini memiliki tantangan tersendiri untuk kami. Apalagi saat teman-temannya memiliki beraneka mainan. Luar biasa rasanya mendengar Si Bocah merengek meminta mainan serupa. Perlu diingat, anak-anak kita sangat pandai berstrategi agar keinginannya terpenuhi meski masih usia dini. Bila sekali saja kita menuruti strategi yang dilancarkannya, anak-anak akan mengulanginya lain waktu untuk keinginan yang berbeda. Ilustrasinya seperti video commercial break berikut ini.

Tak jarang, diam-diam saya pun ngempet juga. Ayah Si Bocah juga sama. Kenangan masa lalu akan tidak nyamannya tak bisa memiliki mainan seperti teman-temannya, kerap membuatnya ingin membelikan apapun yang diinginkan Si Bocah. Belum lagi anggapan pelit jadi ortu, tegaan, tidak sayang anak, dan label-label lain sering kami dengar. Kok masih bertahan ?

Ada kata Ayah Edy yang cukup mengena saya di acara parenthing. ‘Kasih sayang adalah melindungi anak dari bahaya selama proses eksplorasinya, bukan mempermudah proses belajarnya.’ Bagi saya sendiri, kasih sayang juga bukan berarti memberikan banyak mainan yang diingini Si Bocah.

Kemudahan-kemudahan, kenyamanan, dan fasilitas lain yang mungkin wujud kasih sayang kita, bisa jadi menjerumuskan anak ke sifat manja. Mungkin saat anak masih kecil, keinginan-keinginannya bisa dengan mudah kita penuhi, namun keinginan itu akan semakin kompleks seiring dengan berkembangnya usia. Ketika keinginan itu tidak terpenuhi, maka kerap anak kemudian memaksakan kehendaknya. Saat usianya masih balita, bisa jadi dengan rengekan dan tangisan, namun saat menginjak remaja dan dewasa, bukan tidak mungkin dia melakukan kekerasan untuk mewujudkan keinginannya itu. Seperti cerita anak tetangga di rumah ortu. Anaknya tidak mau pergi sekolah kalau tidak dibelikan sepeda motor atau anaknya mengambil uang ortunya untuk membeli telepon genggam. Di surat kabar pun, banyak kita temui kasus-kasus serupa tentang anak-anak yang memaksakan keinginannya ini. Kalau sudah begini bagaimana sikap kita ?

Sebagai ortu, kita memang harus bijak mengambil keputusan terkait pengasuhan anak-anak. Sering-sering kita mengingatkan diri sendiri bahwa kasih sayang itu bukan membuat semua mudah untuk mereka, namun bagaimana membuat mereka mampu menjadi manusia mandiri ke depannya.
-  
 - Kecenderungan anak manja adalah sulit bersosialisasi.Hubungan dengan teman-temannya biasanya seperti majikan dengan anak buah - Ayah Edy

No comments:

Post a Comment