“What
children need is not new and better curriculum,but acces to more of the real
world ; plenty of time and spaceto think over their experiences, and to use
fantasy and play to make meaning of out them” John Holt.
Mas Aar sebagai penyaji
materi webinar ‘Belajar Melalui Keseharian’ ini membuka kelasnya dengan menampilkan
pernyataan di atas. Pernyataan yang patut untuk kita renungkan berkenaan dengan
pendidikan anak-anak. Bagaimana selama ini, cara berpikir kita kerap salah
kaprah tentang pendidikan dan belajar ini. Banyak diantara kita menganggap bahwa belajar adalah
berkenaan dengan membaca, menulis, dan berhitung. Belajar adalah duduk tenang di
depan meja sambil membuka buku dan membawa pensil. Sebenarnya, definisi
tersebut tidak salah, hanya terlalu sempit.
Makna belajar itu luas. Tuntutlah
ilmu mulai dari buaian sampai liang lahat. Pepatah tersebut jelas tidak hanya
merujuk pada kegiatan belajar menulis, membaca, dan berhitung saja. Belajar di
sini adalah belajar tentang kehidupan. Belajar tentang keseharian yang dijalani
sejak awal manusia dilahirkan sampai tua nantinya.
Sayangnya, kecenderungan
sekarang memaknai belajar secara sempit. Belajar hanya di sekolah dengan buku
dan pensil. Cerita Mas Aar tentang pendapat pendiri sekolah Qoriyah Toyyibah di
Salatiga tentang sekolah yang menjauhkan anak-anak dari lingkungannya membuat
saya merenung.
Teringat bagaimana dulu selepas
sekolah dasar, saya harus ke kota untuk dapat masuk ke sekolah menengah yang
‘bagus’. Pulang hanya sepekan sekali atau sebulan sekali. Dilanjutkan dengan
kuliah di provinsi yang berbeda. Kondisi ini jelas membuat saya nyaris menjadi
asing di desa kelahiran sendiri. Sampai-sampai nama kepala desanya saja tidak
tahu (padahal saat itu saya paham sekali tentang budayanya Napoleon hehehehe).
Memang ada yang perlu kita
ubah pola pikir tentang pendidikan ini. Apalagi kalau memutuskan mengadakan
pendidikan rumah untuk anak-anak. Bahwa belajar itu luas sekali. Bahwa belajar
itu bisa dimana saja, kapan saja, dan tidak selalu yang mahal itu bagus. Belajar
bisa kita mulai dari
sesuatu yang dekat, di sekitar kita. Apa itu ? Keseharian.
Itu belajar ya? Kok
sepertinya sepele sekali ? Hehehehehe, iya ya. Merunut dari belajar sejak dari
buaian sampai liang lahat, belajar keseharian ini cocok sekali. Contoh saja
perkembangan anak. Mulai dari bayi, bagaimana mereka belajar mengangkat kepala,
berguling, merangkak, sampai kemudian berjalan, dan berbicara. Berangkat dari
proses tersebut, terlihat bagaimana makna belajar itu luas.
Kembali ke belajar melalui
keseharian, pada proses belajar ini banyak sekali sebenarnya hal-hal positif
yang bisa didapat. Selain fleksibilitas atau bisa belajar kapan saja dan dimana
saja, materi yang didapat pun murah dan
banyak. Tinggal bagaimana kita mengolah dan memaknainya saja. Belajar melalui
keseharian pun kerap proses belajarnya menyeluruh (holistic learning), tidak terpisah-pisah, melibatkan anak secara
nyata. Kerjasama ortu dan anak ini pastinya akan membuat ikatan emosional lebih
erat.
Contoh saja ketika mengajak anak
membuat telur mata sapi. Kalau penngetahuannya dari buku, anak paham teorinya
saja (yang diasah di sini sisi kognitifnya saja). Kalau belajar melalui
keseharian, anak ikut proses memasaknya dan menggunakan banyak inderanya. Paham
tekstur telurnya, bentuknya, kemudian bagaimana cara memecahkannya,
menggorengnya, dan membaui aroma telur sudah matang.
Ah, berlebihan. Masak
membuat telur mata sapi saja menganalisanya rumit sekali. Semua orang bisa
membuat telur mata sapi hehehehe. Kalau masih ada anggapan seperti ini, berarti
inilah tantangannya. Bagaimana memperluas makna dari belajar itu. Bagaimana
menjadi ortu yang bisa menginspirasi anak-anak mulai dari sesuatu yang kecil
dan dekat dengan kehidupannya.
Sebab belajar bukan melulu
soal mengasah pengetahuan dan wawasan saja, belajar pun meliputi ketrampilan
baik itu ketrampilan menggunakan alat (hard
skill) dan ketrampilan berinteraksi dengan sesamanya (soft skill), sekaligus menumbuhkan karakter diri.
Memang belajar
melalui keseharian ini karena kita, para ortu yang tidak saja melakukan namun
juga mendesainnya, perlu semangat ekstra mewujudkannya. Sering-sering
mengingatkan diri untuk mau belajar dan belajar lagi, membuka wawasan serta
membuka diri kepada lingkungan sekitar. Kalau dulu, masih cuek dengan kanan
kiri, karena sekarang demi pendidikan anak, kita ubah lebih perhatian dengan
lingkungan sekitar. Agar anak-anak kita pun peka dengan lingkungannya. Cara belajarnya
pun bisa secara spontan dilakukan saat anak bertanya, ataupun dengan rencana
seperti membuat proyek bersama. Yang perlu digarisbawahi adalah
sering-seringnya ortu menjalin komunikasi dengan anak. Komunikasi yang horizontal
bukan vertikal agar mudah menjalankan proses belajarnya selain juga menghargai
usulan anak. Mirip pendidikan à la Ki Hadjar Dewantara.
Agar tidak spaneng dalam
melakukan proses pendidikan rumah, ada tips dari rumah inspirasi yang mungkin
bisa kita lakukan kalau sedang suntuk (karena kita juga ortu serta manusia
biasa yang pasti secara emosi ada naik turunnya hehehehe).
No comments:
Post a Comment