Pages

Sunday 27 March 2016

Keinginan Belajar itu Alami

“Lihat,Nda! Aku bisa memakai baju, hore!” kata Si Bocah sambil berputar-putar dan bertepuk tangan. Setelah itu, dia lari ke atas dan meneruskan bermainnya. Saya hanya tersenyum. Diam-diam menghela nafas. Wah, cucian bakalan numpuk hehehehe.

Kok mengeluh ? Bukannya senang, Si Bocah sudah mulai bisa mandiri memakai baju sendiri ?
Kalau masalah senang, bisa dikatakan senang sebab kemampuan Si Bocah bertambah. Tanpa perlu kita mengajari lagi. Memang ada proses yang kami jalani, namun saya tidak pernah memaksanya untuk segera bisa.Kok bisa ?

Di webinar rumah inspirasi, ada banyak hal yang membuka wawasan saya berkaitan dengan pendidikan anak. Mas Aar mengatakan bahwa keinginan belajar itu adalah alami. Dimiliki oleh semua orang termasuk anak-anak.

Sejak dari bangun sampai tidur kembali, apa yang dilakukan anak-anak adalah proses dia belajar. Untuk anak usia dini, kecerewetannya bertanya apa ini apa itu, keinginannya mencoba sesuatu, atau juga imajinasinya bermain peran, adalah tanda bahwa mereka belajar. Kita, para ortu ini yang kerap secara sadar atau tidak menghentikannya. Mungkin dengan kata-kata, ‘Aduh, Dik. Bisa diam tidak ? Bertanya terus. Atau, ‘Stop! Jangan sentuh barang, Mama. Mahal nih.

Nah, karena dikatakan kalau keinginan belajar itu alami, apalagi untuk anak usia dini yang model belajarnya sewaktu-waktu dan setiap saat, perhatian saya ke Si Bocah bertambah. Saya mulai fokus, memberinya ruang bereksplorasi lebih banyak, mencatat dan mendokumentasikan perkembangannya, juga memberinya kesempatan melakukan kesalahan. Memilih pendidikan sekolah di rumah yang setiap hari bertemu dan berinteraksi, tanpa dokumentasi akan cukup sulit melihat perubahan dan kemajuan proses belajar anak (jadi biar kita juga yakin akan capaian-capaian anak dalam proses belajarnya).

Dulu, pernah ketika Si Bocah berusia 2,5 tahun, saya iseng-iseng mengajarinya memakai baju (terinspirasi sebuah iklan susu formula yang anaknya baru 2 tahun sudah bisa memakai baju sendiri hihihi). Hasilnya ? Luar biasa. Gagal total. Saya sendiri agak jengkel dan Si Bocah juga mogok. Proses ini kami lakukan tidak satu dua kali. Namun, tetap saja hasilnya sama. Si Bocah selalu saja memasukkan dua kakinya ke dalam satu lubang celananya yang sama sehingga dia kesulitan berdiri.

Akhirnya, saya biarkan saja. Belum waktunya mungkin, pikir saya. Namun setiap membantunya memakai baju, saya selalu bernyanyi prosesnya dari memegang baju sampai selesai dan Si Bocah mempraktikkan. Tidak ada target apa-apa. Menikmati prosesnya. Selain itu, kami juga ngobrol tentang baju. Gunanya, asalnya, modelnya atau sekedar berhitung ringan. Kalau Mas Aar bilang, proses belajar itu seperti lari marathon, bukan sprint.

Sampai suatu hari, trata! Si Bocah dengan keriangannya menunjukkan kalau dia sudah bisa memakai baju sendiri. Berinisiatif sendiri saat dia sudah siap.

Awalnya, dia berhasil memakai celana meski masih terbalik, bagian belakang di depan dan sebaliknya. Dibiarkan saja ? Iya, saya biarkan karena selain menghargai usahanya juga menghargai pendapatnya yang bilang tidak apa-apa, begini saja. Namun, dalam hitungan hari, dia mulai lancar memakai celana tanpa terbalik dan selalu bilang, ‘Aro saja yang pakai’. Ok, it’s time to freedom for him.

Kemampuan memakai celana kemudian disusul kemampuan memakai baju. Sudah hampir dua minggu ini, dia semangat memakai baju. Tidak hanya satu namun rangkap tiga sampai empat. ‘Ini gaya pakai bajuku’, katanya. Ini musim hujan, Nak. Baju-baju susah kering. Lumayan juga memfasilitasi semangatmu belajar memakai baju itu. Untung saat keluar rumah, Si Bocah masih bisa diajak kompromi untuk memakai baju selapis dengan jaket. Tidak memakai style-nya dia hehehehe. Sekali lagi, belajar itu muncul secara alami saat seseorang merasa membutuhkan.

“Yang diperlukan oleh anak-anak pada saat ini bukanlah kurikulum baru dan lebih baik, tetapi akses lebih luas kepada dunia nyata, waktu, dan ruang lebih banyak untuk merenungkan pengalaman mereka, serta penggunaan daya khayal dan permainan untuk memaknai kehidupan nyata yang mereka jalani.” John Holt.



No comments:

Post a Comment