Pages

Saturday 5 March 2016

Ragam Kurikulum dan Pola Kegiatan Anak Homeschooling Usia Dini dan Sekolah

Rangkaian webinar dari rumahinspirasi.com memasuki sesi keempat. Pembahasan yang diangkat pun semakin teknis. Mas Aar sebagai pemateri cukup luwes membawakan tema ini. Meski jaringan internet sempat putus nyambung, bersyukur sekali saya bisa merasakan manfaat teknologi ini, seperti ikut webinar sambil santai di rumah misalnya.
Menjadi ortu yang memutuskan mendidik anak di rumah memang harus belajar banyak. Bila dulu saat mengajar harus ada persiapan sebelum masuk ke kelas seperti membuat rencana pembelajaran mingguan atau membedah kurikulum, menjadi ortu homeschooling pun juga harus melakukan persiapan. Tidak hanya rencana pembelajaran atau kurikulum, lebih luas lagi. Harus merancang visi misi pula. Seperti kepala sekolah lah posisinya hehehehe.

Lho katanya menganut unschooling ? Model belajarnya alami, tidak terstruktur, dan sesuai kebutuhan anak. Kok ngubek kurikulum juga ?

Itulah uniknya menjadi ortu homeschooling. Ortu harus dan wajib menjadi ortu pembelajar. Kalau pemerintah sekarang mottonya kerja kerja kerja, kalau ortu homeschooling harus belajar belajar belajar.

Kenapa saya memilih unschooling ? Sebab kebetulan Si Bocah masih balita. Kalau berganti memilih model school-at-home nantinya ? Mungkin saja. Bila di tengah jalan, tidak cocok dengan model school-at-home semisal Si Bocah tidak nyaman dan tidak menikmati proses belajarnya sebab kaku dan tidak sesuai dengan gaya belajarnya, lalu kami ubah lagi model belajarnya ikut Charlotte Mason atau yang lain, juga sah-sah saja. Kok begitu ? Seperti main-main dan terkesan trial and error. Mungkin anggapan itu muncul. Terkesan main-main dan kurang persiapan. Pendidikan anak lho. Berani sekali coba-coba.  

Makanya perlu persiapan dari kita, ortunya. Selama ini kita terbiasa dengan model kurikulum tunggal yang dibuat oleh pemerintah. Suka atau tidak suka, kurikulum itu yang kita gunakan. Meski kadang nggrundel namun kerap hanya sebatas itu. Mungkin kita protes-protes sedikit di media sosial, namun akhirnya kembali ke kurikulum tunggal juga.

Menurut saya pribadi, daripada energi kita buat protes atau nggrundel lebih baik disalurkan saja dengan membuat satu langkah kecil untuk sebuah perubahan. Misalnya saja googling dan membaca ragam kurikulum selain dari pemerintah. Banyak sekali ternyata model kurikulum itu, baik yang berbayar ataupun gratis. Banyak negara ternyata menggunakan lebih dari satu kurikulum seperti Amerika misalnya, kurikulum di setiap negara bagiannya tidak sama.


Sekarang, setelah tahu ragam kurikulum banyak sekali, kita, ortu homeschooling ini,  dihadapkan pada sebuah tantangan baru. Memilih kurikulum. Menyenangkan bukan? Namun, bagi saya pribadi dipersilakan membuat pilihan sendiri kurikulum apa yang sesuai dengan karakter anak dan keluarga kami sejujurnya cukup menegangkan sekaligus menakutkan. Kami, saya dan suami adalah produk dari kurikulum tunggal. Terbiasa menerima dan menjalani apa yang sudah ditetapkan departemen pendidikan. Sekarang, 'dipaksa' harus berani belajar mandiri dan membuat pilihan untuk pendidikan Si Bocah. Harus mau belajar dan bekerja keras sekaligus bertanggung jawab. Waw sekali rasanya.

Mas Aar mengandaikan, memilih kurikulum itu seperti kita sedang dalam jamuan makan sistem prasmanan. Kita bebas memilih yang kita sukai dan sekiranya cocok. All you can eat. Namun dengan catatan, memilihnya memakai kata hati bukan memakai rasa gengsi. Ada sedikit tips untuk masalah milih memilih kurikulum ini.

Setelah kurikulum kemudian apa yang perlu kita lakukan ? Materi belajar tentunya. Kalau dulu, saat masih menjadi pengajar, materi belajar otomatis sudah ada dan tertulis di dalam kurikulum. Saya tinggal menjabarkan ke model kegiatan yang sesuai. Di pendidikan rumah ini, kita, ortunya yang harus pula menentukan.

Duh, repot ya ? Sekali lagi, tantangannya  adalah kita belajar lagi dan mau berproses. Sumber belajar sangat luas dan tidak terbatas, ada buku, lingkungan sekitar, dan juga internet. Yang penting tujuan pembelajaran yang ingin kita capai jelas dulu. Tidak perlu terintimidasi dengan kecanggihan atau fasilitas lengkap keluarga lain.

Kita bisa gunakan semua hal yang ada di sekitar kita. Perlu digarisbawahi pula, materi belajar itu tidak melulu mengenai membaca, menulis, dan berhitung (calistung). Belajar itu mencangkup banyak hal. belajar tentang keseharian seperti bertanggung jawab, berempati, berkomunikasi, belajar tentang dunia nyata seperti life skills, belajar melayani, berdisiplin, belajar professional. Termasuk menyeimbangkan apa yang ada di pikiran, dalam hati, sekaligus kesesuaian dalam berperilaku dalam kehidupan ( soul – body – mind ). 

Kompleks dan luas sekali bila kita membahas masalah belajar. Karena belajar itu sangat luas, kita pun perlu menentukan pola kegiatan yang akan dilakukan. Disesuaikan dengan usia pastinya. John Holt mengatakan, “ When you teach less, the children will learn more.”

Untuk anak usia dini, saya sepakat dengan Mas Aar. Memakai model unschooling. Kalau pun belum yakin, kurikulum preschool boleh dibuka-buka sebagai bahan referensi.


Di atas dikatakan bahwa rasa aman sangat dibutuhkan untuk perkembangan otak anak. Perkembangan otak anak sendiri memiliki kaitan erat dengan kecerdasan anak. Berdasarkan fisiologi otak, otak terbagi dalam tiga bagian.
    Otak reptil yang berkiatan dengan kebutuhan rasa aman dan keselamatan / survival
   Otak mamalia yang berkaitan dengan perkembangan emosi
   Otak neokorteks yang berkaitan dengan kemampuan berbahasa, analisa, dan kreativitas
   Bila kebutuhan akan rasa aman belum terpenuhi, perkembangan otak neokorteks pun kurang maksimal.
   
   Untuk anak usia dini, berkegiatan bersama adalah proses belajar yang paling ideal. Mengobrol, membaca cerita, bermain dengan atau tanpa alat peraga, berkesenian, berolahraga, membangun kebiasan-kebiasaan baik, dan mengeksplorasi lingkungan sekitar. Sedangkan pola kegiatan anak usia sekolah, bisa lihat tabel di bawah.


Bila kita, ortunya ingin anak kita ikut ujian kejar paket A misalnya, lebih baik pula kita membaca kurikulum pemerintah dan menyiapkan materi belajar untuk kelas 4,5, dan 6. Sedangkan sarana belajarnya, bisa lebih luas dibandingkan anak usia dini. Bisa melalui buku, materi on line, game dan aplikasi, blogging, kegiatan keseharian, ikut klub, dan fieldtrip. 


Seru dan menarik serta menegangkan ya rasanya menjadi ortu anak homeschooling itu ? Mungkin. Namun yang perlu diingat, memilih pendidikan rumah itu bukan untuk terlihat ‘keren’ atau sekedar mengejar gengsi. Memilih pendidikan rumah pun bukan pula membeli tiket langsung ke ‘jalan sukses’ anak. Memilih pendidikan rumah adalah mengusahakan lingkungan belajar yang lebih ramah dan aman untuk anak, sesuai dengan karakter anak, menghargai serta mampu memunculkan potensi anak sekaligus mendidik kita, ortunya, menjadi pembelajar yang mampu menikmati setiap proses belajar jangka panjang bersama. Keluarga adalah sebuah team yang semua memiliki peran masing-masing dan saling mendukung.



No comments:

Post a Comment