Rangkaian webinar dari
rumahinspirasi.com memasuki sesi keempat. Pembahasan yang diangkat pun semakin
teknis. Mas Aar sebagai pemateri cukup luwes membawakan tema ini. Meski
jaringan internet sempat putus nyambung, bersyukur
sekali saya bisa merasakan manfaat teknologi ini, seperti ikut webinar sambil
santai di rumah misalnya.
Menjadi ortu yang memutuskan
mendidik anak di rumah memang harus belajar banyak. Bila dulu saat mengajar
harus ada persiapan sebelum masuk ke kelas seperti membuat rencana pembelajaran
mingguan atau membedah kurikulum, menjadi ortu homeschooling pun juga harus melakukan persiapan. Tidak hanya
rencana pembelajaran atau kurikulum, lebih luas lagi. Harus merancang visi misi
pula. Seperti kepala sekolah lah posisinya hehehehe.
Lho
katanya
menganut unschooling ? Model
belajarnya alami, tidak terstruktur, dan sesuai kebutuhan anak. Kok ngubek kurikulum juga ?
Itulah uniknya menjadi ortu homeschooling. Ortu harus dan wajib
menjadi ortu pembelajar. Kalau pemerintah sekarang mottonya kerja kerja kerja,
kalau ortu homeschooling harus
belajar belajar belajar.
Kenapa saya memilih unschooling ? Sebab kebetulan Si Bocah
masih balita. Kalau berganti memilih model school-at-home
nantinya ? Mungkin saja. Bila di tengah jalan, tidak cocok dengan model school-at-home semisal Si Bocah tidak
nyaman dan tidak menikmati proses belajarnya sebab kaku dan tidak sesuai dengan
gaya belajarnya, lalu kami ubah lagi model belajarnya ikut Charlotte Mason atau
yang lain, juga sah-sah saja. Kok begitu ? Seperti main-main dan terkesan trial and error. Mungkin anggapan itu
muncul. Terkesan main-main dan kurang persiapan. Pendidikan anak lho. Berani sekali coba-coba.
Makanya perlu persiapan dari
kita, ortunya. Selama ini kita terbiasa dengan model kurikulum tunggal yang
dibuat oleh pemerintah. Suka atau tidak suka, kurikulum itu yang kita gunakan.
Meski kadang nggrundel namun kerap
hanya sebatas itu. Mungkin kita protes-protes sedikit di media sosial, namun akhirnya
kembali ke kurikulum tunggal juga.
Menurut saya pribadi,
daripada energi kita buat protes atau nggrundel
lebih baik disalurkan saja dengan membuat satu langkah kecil untuk sebuah
perubahan. Misalnya saja googling dan membaca ragam kurikulum selain dari pemerintah. Banyak sekali ternyata model kurikulum itu, baik yang berbayar ataupun gratis. Banyak negara
ternyata menggunakan lebih dari satu kurikulum seperti Amerika misalnya,
kurikulum di setiap negara bagiannya tidak sama.
Sekarang, setelah tahu ragam
kurikulum banyak sekali, kita, ortu homeschooling ini, dihadapkan
pada sebuah tantangan baru. Memilih kurikulum. Menyenangkan bukan? Namun, bagi
saya pribadi dipersilakan membuat pilihan sendiri kurikulum apa yang sesuai
dengan karakter anak dan keluarga kami sejujurnya cukup menegangkan sekaligus
menakutkan. Kami, saya dan suami adalah produk dari kurikulum tunggal. Terbiasa
menerima dan menjalani apa yang sudah ditetapkan departemen pendidikan. Sekarang, 'dipaksa' harus berani belajar mandiri dan membuat pilihan untuk pendidikan Si Bocah. Harus mau belajar dan bekerja keras sekaligus bertanggung jawab. Waw sekali rasanya.
Mas Aar mengandaikan,
memilih kurikulum itu seperti kita sedang dalam jamuan makan sistem prasmanan. Kita
bebas memilih yang kita sukai dan sekiranya cocok. All you can eat. Namun dengan catatan, memilihnya memakai kata hati
bukan memakai rasa gengsi. Ada sedikit tips untuk masalah milih memilih
kurikulum ini.
Setelah kurikulum kemudian
apa yang perlu kita lakukan ? Materi belajar tentunya. Kalau dulu, saat masih
menjadi pengajar, materi belajar otomatis sudah ada dan tertulis di dalam
kurikulum. Saya tinggal menjabarkan ke model kegiatan yang sesuai. Di
pendidikan rumah ini, kita, ortunya yang harus pula menentukan.
Duh, repot ya ? Sekali lagi,
tantangannya adalah kita belajar lagi
dan mau berproses. Sumber belajar sangat luas dan tidak terbatas, ada buku,
lingkungan sekitar, dan juga internet. Yang penting tujuan pembelajaran yang
ingin kita capai jelas dulu. Tidak perlu terintimidasi dengan kecanggihan atau
fasilitas lengkap keluarga lain.
Kita bisa gunakan semua hal
yang ada di sekitar kita. Perlu digarisbawahi pula, materi belajar itu tidak
melulu mengenai membaca, menulis, dan berhitung (calistung). Belajar itu
mencangkup banyak hal. belajar tentang keseharian seperti bertanggung jawab,
berempati, berkomunikasi, belajar tentang dunia nyata seperti life skills, belajar melayani,
berdisiplin, belajar professional. Termasuk menyeimbangkan apa yang ada di
pikiran, dalam hati, sekaligus kesesuaian dalam berperilaku dalam kehidupan ( soul – body – mind ).
Kompleks dan luas sekali bila kita
membahas masalah belajar. Karena belajar itu sangat
luas, kita pun perlu menentukan pola kegiatan yang akan dilakukan. Disesuaikan
dengan usia pastinya. John Holt mengatakan, “ When you teach less, the children
will learn more.”
Untuk anak usia dini, saya
sepakat dengan Mas Aar. Memakai model unschooling.
Kalau pun belum yakin, kurikulum preschool
boleh dibuka-buka sebagai bahan referensi.
Di atas dikatakan bahwa rasa
aman sangat dibutuhkan untuk perkembangan otak anak. Perkembangan otak anak sendiri
memiliki kaitan erat dengan kecerdasan anak. Berdasarkan fisiologi otak, otak
terbagi dalam tiga bagian.
Otak
reptil yang berkiatan dengan kebutuhan rasa aman dan keselamatan / survival
Otak
mamalia yang berkaitan dengan perkembangan emosi
Otak
neokorteks yang berkaitan dengan kemampuan berbahasa, analisa, dan kreativitas
Bila
kebutuhan akan rasa aman belum terpenuhi, perkembangan otak neokorteks pun
kurang maksimal.
Untuk
anak usia dini, berkegiatan bersama adalah proses belajar yang paling ideal.
Mengobrol, membaca cerita, bermain dengan atau tanpa alat peraga, berkesenian,
berolahraga, membangun kebiasan-kebiasaan baik, dan mengeksplorasi lingkungan
sekitar. Sedangkan
pola kegiatan anak usia sekolah, bisa lihat tabel di bawah.
Bila
kita, ortunya ingin anak kita ikut ujian kejar paket A misalnya, lebih baik
pula kita membaca kurikulum pemerintah dan menyiapkan materi belajar untuk
kelas 4,5, dan 6. Sedangkan sarana belajarnya, bisa lebih luas dibandingkan anak
usia dini. Bisa melalui buku, materi on
line, game dan aplikasi, blogging, kegiatan keseharian, ikut
klub, dan fieldtrip.
Seru
dan menarik serta menegangkan ya rasanya menjadi ortu anak homeschooling itu ? Mungkin. Namun yang perlu diingat, memilih pendidikan
rumah itu bukan untuk terlihat ‘keren’ atau sekedar mengejar gengsi. Memilih
pendidikan rumah pun bukan pula membeli tiket langsung ke ‘jalan sukses’ anak.
Memilih pendidikan rumah adalah mengusahakan lingkungan belajar yang lebih
ramah dan aman untuk anak, sesuai dengan karakter anak, menghargai serta mampu
memunculkan potensi anak sekaligus mendidik kita, ortunya, menjadi pembelajar
yang mampu menikmati setiap proses belajar jangka panjang bersama. Keluarga
adalah sebuah team yang semua memiliki peran masing-masing dan saling
mendukung.
No comments:
Post a Comment