Pages

Saturday 20 February 2016

Homeschooling, Tempat Ortu Praktik Banyak Model Belajar

Semasa masih menjadi pengajar, setiap tahun kami wajib membaca dan membedah kurikulum
sesuai dengan kelas yang diampu. Setelah itu, di suatu acara bertajuk open house kami akan jabarkan dan jelaskan tentang kurikulum yang digunakan kepada para ortu sekaligus kegiatan pembelajaran apa saja yang akan kami lakukan bersama anak-anak terutama yang keluar sekolah (outing).

Pada umumnya, para ortu itu menyimak dengan seksama. Terutama para ortu yang anak-anaknya baru masuk sekolah dasar. Banyak pertanyaan terkait dengan kurikulum dan tujuan pembelajaran yang akan dijalani setahun ke depan. Namun, seiring perjalanan waktu, entah karena kesibukan atau banyaknya urusan, beberapa ortu seakan menyerahkan sepenuhnya pendidikan kepada guru dan sekolahnya.

Berbeda bila kita sebagai ortu yang  memutuskan homeschooling untuk pendidikan anak-anaknya. Kita harus belajar bertanggungjawab dengan segala hal menyangkut kelancaran  proses belajar mereka sepanjang tahun. Membaca referensi, membukai buku dan situs tentang model belajar, memilih proses belajar yang sesuai dengan anak-anak, sekaligus menyediakan lingkungan yang kondusif untuk mereka belajar.

Rumit ya ? Mungkin. Namun sebenarnya sama rumitnya kok dengan ortu yang meski anaknya bersekolah di sekolah formal namun cukup konsen dengan perkembangannya. Mereka juga harus membaca dan belajar banyak hal. Mungkin bedanya, kalau homeschooling tidak perlu ribet masalah seragam sekolah atau kurikulum yang sering berganti ya hehehehe.

Berbicara mengenai bagaimana model belajar anak homeschooling, di webinar rumahinspirasi.com  yang diampu Mas Aar, mengatakan kalau banyak modelnya.



 Salah satu model yang ada itu school-at-home. Jadi meski di rumah, anak tetap model belajarnya seperti kalau bersekolah formal. Pakai kurikulum, ada buku pegangan, mungkin juga ada pekerjaan rumah kali ya? Lumayan ribet apalagi kalau anak lebih dari dua. Membedah satu kurikulum saja waw rasanya hehehehe. Tapi tidak apa-apa, sah-sah saja kalau mampu, yang penting mau bertanggungjawab dengan pilihan yang sudah diambil. Cuma agak berat sih, selain atmosphere belajarnya berbeda juga tidak nyata belajarnya. Masih tergantung buku.

Jadi ingat model homeschooling versi teman saya. Dia cerita kalau tiga kali dalam seminggu itu harus mengajar seperti bimbel (bimbingan belajar) kepada anak-anak homeschooling, termasuk anaknya juga. Dulu saya masih kuper dengan model school-at-home ini, jadi saat teman saya cerita, hanya bisa bilang oooo saja (tanpa menyela apa-apa tapi agak bingung) karena perspektif saya, homeschooling itu yang dengan ortu, bukan mirip bimbel seperti itu.

Baru ngeh kalau yang saya anut itu termasuk model yang unschooling. Model yang tidak terstruktur atau semau saya. Kok semau saya ? Ya, karena tidak pakai kurikulum, proses belajarnya melihat kemampuan anak, belajarnya pun belajar yang disukai anak.

Namun, kadang saya yang karena pernah jadi pengajar mungkin ya, kerap mencampuradukkan dengan beberapa model belajar. Seperti saya suka sekali membacakan buku cerita kepada Si Bocah. Jelas itu terstruktur. Nah, model yang membaca cerita seperti ini modelnya Charlotte Mason. Juga mencotohkan kebiasaan-kebiasaan baik seperti cuci tangan lalu berdoa sebelum makan. Merapikan kembali mainan yang selesai digunakan. Membuang sampah pada tempatnya. Meminta maaf bila berbuat salah dan berterima kasih kepada yang telah memasakkan makanannya hari itu.. Mix-and-match. Istilahnya model belajar ekletik.  Nyampur seperti gado-gado, asal cocok dan enak dipakai saja hehehe. 

Itu enaknya kalau memilih homeschooling. Bisa mengenal dan mempraktikkan banyak model belajar. Tidak monoton hanya dengan satu kurikulum saja. Bila ada yang tidak sesuai, bisa kita ubah dan perbaiki. Harus berdiskusi dengan anak pastinya karena dia adalah subyek yang harus kita hormati pula keberadaan dan kebutuhannya.Anak pula yang merasakan model ini sesuai tidak dengan karakternya. Kalau anaknya masih batita, bisa dilihat dari ekspresi dia, nyaman atau tidak saat berkegiatan.

Ah, mungkin homeschooling itu cocok buat anak usia dini. Tujuan belajar dan goal-nya masih sederhana jadi tidak masalah. Kalau untuk usia remaja apalagi mau kuliah, sepertinya kurang menyakinkan. Bila ada anggapan seperti itu juga sah-sah saja. Homeschooling itu pilihan. Dengan tujuan berbeda-beda dengan apa yang ingin dicapai.

Semua boleh dan tinggal kita, sebagai pelakunya saja yang menentukan. Bertanggungjawab dan bekerja keras dengan apa yang menjadi pilihan kita. Kalau Mark Zuckerberg mengandaikan keluarga itu seperti saat kita sedang memakai sepatu. Kita yang tahu nyaman atau tidaknya sepatu itu. Orang luar hanya bisa menilai wujud luarnya saja. Begitupun saya pikir dengan homeshooling. Kita dan anggota keluarga yang tahu cocok tidaknya. Tidak perlu kita bermimpi seperti keluarga Si A atau Si B. Kita bisa belajar percaya diri dengan model belajar yang sesuai dengan situasi keluarga.  



No comments:

Post a Comment