Pada umumnya, para ortu itu
menyimak dengan seksama. Terutama para ortu yang anak-anaknya baru masuk
sekolah dasar. Banyak pertanyaan terkait dengan kurikulum dan tujuan
pembelajaran yang akan dijalani setahun ke depan. Namun, seiring perjalanan
waktu, entah karena kesibukan atau banyaknya urusan, beberapa ortu seakan
menyerahkan sepenuhnya pendidikan kepada guru dan sekolahnya.
Berbeda bila kita sebagai
ortu yang memutuskan homeschooling untuk pendidikan anak-anaknya.
Kita harus belajar bertanggungjawab dengan segala hal menyangkut kelancaran proses belajar mereka sepanjang tahun. Membaca
referensi, membukai buku dan situs tentang model belajar, memilih proses
belajar yang sesuai dengan anak-anak, sekaligus menyediakan lingkungan yang
kondusif untuk mereka belajar.
Rumit ya ? Mungkin. Namun
sebenarnya sama rumitnya kok dengan ortu yang meski anaknya bersekolah di
sekolah formal namun cukup konsen dengan perkembangannya. Mereka juga harus
membaca dan belajar banyak hal. Mungkin bedanya, kalau homeschooling tidak perlu ribet masalah seragam sekolah atau
kurikulum yang sering berganti ya hehehehe.
Berbicara mengenai bagaimana
model belajar anak homeschooling, di
webinar rumahinspirasi.com yang diampu
Mas Aar, mengatakan kalau banyak modelnya.
Salah satu model yang ada
itu school-at-home. Jadi meski di
rumah, anak tetap model belajarnya seperti kalau bersekolah formal. Pakai kurikulum,
ada buku pegangan, mungkin juga ada pekerjaan rumah kali ya? Lumayan ribet
apalagi kalau anak lebih dari dua. Membedah satu kurikulum saja waw rasanya
hehehehe. Tapi tidak apa-apa, sah-sah saja kalau mampu, yang penting mau
bertanggungjawab dengan pilihan yang sudah diambil. Cuma agak berat sih, selain atmosphere belajarnya
berbeda juga tidak nyata belajarnya. Masih tergantung buku.
Jadi ingat model homeschooling versi teman saya. Dia
cerita kalau tiga kali dalam seminggu itu harus mengajar seperti bimbel
(bimbingan belajar) kepada anak-anak homeschooling,
termasuk anaknya juga. Dulu saya
masih kuper dengan model school-at-home ini,
jadi saat teman saya cerita, hanya bisa bilang oooo saja (tanpa menyela apa-apa
tapi agak bingung) karena perspektif saya, homeschooling
itu yang dengan ortu, bukan mirip bimbel seperti itu.
Baru ngeh kalau yang saya anut itu termasuk model yang unschooling. Model yang tidak terstruktur
atau semau saya. Kok semau saya ? Ya, karena tidak pakai kurikulum, proses
belajarnya melihat kemampuan anak, belajarnya pun belajar yang disukai anak.
Namun, kadang saya yang
karena pernah jadi pengajar mungkin ya, kerap mencampuradukkan dengan beberapa
model belajar. Seperti saya suka sekali membacakan buku cerita kepada Si Bocah.
Jelas itu terstruktur. Nah, model yang membaca cerita seperti ini modelnya
Charlotte Mason. Juga mencotohkan kebiasaan-kebiasaan baik seperti cuci tangan
lalu berdoa sebelum makan. Merapikan kembali mainan yang selesai digunakan. Membuang
sampah pada tempatnya. Meminta maaf bila berbuat salah dan berterima kasih
kepada yang telah memasakkan makanannya hari itu.. Mix-and-match. Istilahnya
model belajar ekletik. Nyampur seperti gado-gado, asal cocok dan
enak dipakai saja hehehe.
Itu enaknya kalau memilih homeschooling. Bisa mengenal dan
mempraktikkan banyak model belajar. Tidak monoton hanya dengan satu kurikulum saja. Bila ada yang tidak sesuai, bisa kita ubah dan
perbaiki. Harus berdiskusi dengan anak pastinya karena dia adalah subyek yang
harus kita hormati pula keberadaan dan kebutuhannya.Anak pula yang merasakan
model ini sesuai tidak dengan karakternya. Kalau anaknya masih batita, bisa
dilihat dari ekspresi dia, nyaman atau tidak saat berkegiatan.
Ah, mungkin homeschooling itu cocok buat anak usia
dini. Tujuan belajar dan goal-nya masih
sederhana jadi tidak masalah. Kalau untuk usia remaja apalagi mau kuliah,
sepertinya kurang menyakinkan. Bila ada anggapan seperti itu juga sah-sah saja.
Homeschooling itu pilihan. Dengan
tujuan berbeda-beda dengan apa yang ingin dicapai.
Semua boleh dan tinggal
kita, sebagai pelakunya saja yang menentukan. Bertanggungjawab dan bekerja
keras dengan apa yang menjadi pilihan kita. Kalau Mark Zuckerberg mengandaikan
keluarga itu seperti saat kita sedang memakai sepatu. Kita yang tahu nyaman
atau tidaknya sepatu itu. Orang luar hanya bisa menilai wujud luarnya saja.
Begitupun saya pikir dengan homeshooling.
Kita dan anggota keluarga yang tahu cocok tidaknya. Tidak perlu kita
bermimpi seperti keluarga Si A atau Si B. Kita bisa belajar percaya diri dengan
model belajar yang sesuai dengan situasi keluarga.
No comments:
Post a Comment