Pages

Sunday 14 February 2016

Saya Memilih Homeschooling

Mengapa ? Kamu sakit hati ya dengan sekolah formal ? Kamu tidak takut anakmu nanti kuper? Kamu kan pernah mengajar, latar belakangmu pendidikan, seharusnya kamu kalau ada yang tidak sreg dengan kebijakan sekolah, bisalah memberi masukan. Bukan malah memilih sekolah rumah. Elitis sekali kesannya. Ah, ideal memang mimpi ortu (baru) satu anak itu, saran nih, tambah anak dulu, baru kira-kira bisa homeschooling tidak ?

Banyak pertanyaan dan tanggapan dari teman, saudara, bahkan ortu ketika saya memutuskan pendidikan rumah untuk Si Bocah. Saya paham. Lahir dan besar di keluarga guru, mengenyam pendidikan pun di sekolah keguruan, sempat berprofesi sebagai pengajar di sekolah formal, cukup mengherankan mungkin bagi beberapa orang keputusan saya ini. Meski bagi saya dan suami tidak.
Keputusan pendidikan sekolah rumah bagi Si Bocah sudah kami pikirkan dan bicarakan secara matang. Sejak Si Bocah belum lahir. Sejak saya diajak suami berkenalan dengan komunitas sekolah rumah tradisional di Jawa. Menarik pola pendidikan yang dilakukan. Mereka memilih belajar apa yang menjadi keyakinan dan menarik minatnya.

Saat menjadi pengajar di sekolah formal, saya menemui anak-anak yang luar biasa. Anak-anak yang bersemangat dan bergembira. Saya sempat diberi kesempatan mengenal anak yang luar biasa otak kanannya. Dia bercerita tentang keinginannya memiliki sebuah toko elektronik lengkap dengan desain tokonya. Saat dia menunjukkan gambar yang dibuat, saya takjub. Dia baru 7 tahun. Kelas 1 Sekolah Dasar. Begitu detail gambar ilustrasinya. Meski dia kesulitan membaca, menulis, bahkan berbicara mengekspresikan idenya. Luar biasa.

Anak luar biasa itu karena keterbatasannya akan membaca, menulis, dan masih minim kosakata yang dikuasai, akhirnya tidak naik kelas. Saya dan teman saya yang menjadi gurunya menangis sedih saat itu tapi tak bisa berbuat banyak. Anak luar biasa itu harus tidak naik kelas hanya karena tidak memenuhi KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal).

Sempat terbersit pertanyaan, bila itu terjadi dengan anak saya, sanggupkah saya menghadapinya ? Saya – yang percaya semua anak itu hebat – harus menghadapi kenyataan pahit seperti tidak naik kelas misalnya. Jadi ingat tentang ujian di sekolah binatang. Kera yang gagal ujian hanya karena tidak bisa terbang padahal dia mahir memanjat, burung yang mati dalam ujian karena tenggelam sebab dia hanya pandai terbang.

Kejadian itu membuat saya mencari referensi lain tentang model-model belajar. Membaca dan googling. Sampai kemudian bertemu dengan situs menarik, rumahinspirasi.com.  Banyak artikel menarik tentang pendidikan rumah di sana. Menambah pengetahuan saya akan model belajar selain sekolah formal. Beberapa model belajar di sekolah rumah à la rumahinspirasi.com bahkan sempat saya terapkan di kelas termasuk lagu-lagu yang dibuat Mbak Lala. Menarik dan menyenangkan. Anak-anak suka sekali.

Sejak Si Bocah lahir, saya pun bulat tekad melakukan pendidikan rumah untuknya sejak usia dini. Fokus saya di penguatan karakter. Klop dengan kata Mas Aar yang mengatakan bahwa pendidikan usia dini lebih baik pada penguatan karakter di webinar homeschooling yang saya ikuti. Cocok pula saya dengan kurikulum PAUD. Lho kok ? Iya, secara garis besar saya sepakat dengan kurikulum di PAUD hanya untuk proses belajarnya, Si Bocah tetap bersama kami, ortunya, bukan diserahkan ke guru di sekolah formal hehehehe.

Namun memang ya, saat memutuskan untuk mengambil alih tanggung jawab pendidikan ke tangan kita, ortu, rasanya sungguh luar biasa. Bangga? Iya. Senang ? Pasti. Capai ? Sudah tentu. Tapi semua itu tidak ada apa-apanya dibanding dengan perjuangan mengelola emosi kita. Itu bagi saya yang terkenal kurang sabar dan sedikit emosian hehehehe.

Terus, kok nekad homeschooling ? Mengutip jawaban Mbak Lala, bahwa saat inilah waktu saya belajar bersama-sama Si Bocah dan ayahnya untuk mengelola emosi. Adem dengar jawaban Mbak Lala itu dan lebih semangat pastinya. Yeah, anak memang tidak perlu ortu sempurna, namun menjadi ortu yang mau belajar adalah hal terbaik yang bisa kita lakukan untuk anak kita. Betul tidak ?
Di sisi lain, untuk perkembangan anak usia dini seperti Si Bocah saya cenderung berpendapat kalau lebih baik bersama ortunya. Kalaupun ada anak usia dini yang bersekolah, kita hitung jam di sekolah lebih sedikit dari jam saat dia ada di rumah. Jadi, kembali pada bimbingan ortu.

Anak – anak usia dini pun saya rasa penting untuk diberi ruang dan waktu bermain sebanyak-banyaknya. Bukan malah dibebani pekerjaan rumah yang banyak atau hafalan ini itu. Bermain adalah proses mereka belajar.

Mereka adalah anak-anak pandai sejak dari lahir. Tuhan telah menganugerahkan kepandaian pada mereka. Kita, sebagai ortu, hanya bertugas mendampingi, membimbing, sekaligus memunculkan potensi kepandaian itu. Sebab, di usia kanak-kanak itu, semua hal menarik. Semua hal baru. Semua hal layak ditanyakan. Semua hal mengundang rasa ingin tahu. Sejalan dengan materi di webinar homeschooling rumah inspirasi ini.


Yakin beneran kamu memilih homeschooling ? Di negeri yang ijazah masih dianggap penting, kamu tega membiarkan anakmu tanpa ijazah ? Mau jadi apa dia nanti ? Jangan karena egomu saja lho kamu membuat anakmu susah.

Ungkapan diatas bukan reka imajinasi saya. Benar-benar terjadi dan menimpa saya hehehehe. Memang, masih banyak orang yang menganggap ijazah itu segalanya. Sumber kesuksesan. Yah, kalau soal ijazah, saya bicarakan nanti dengan Si Bocah. Kalau dia merasa perlu, boleh melalui jalur-jalur yang memang sudah disediakan. Sebab, homeschooling itu diakui kok, legal dan ada payung hukumnya.



Kalau masih gagal paham dengan homeschooling, mungkin perlu piknik ke rumah Mbak Lala dan Mas Aar sekaligus ikut webinar rumah inspirasi. Diijinkan ya Mas Aar dan Mbak Lala ?


No comments:

Post a Comment