Mengapa ? Kamu sakit hati ya
dengan sekolah formal ? Kamu tidak takut anakmu nanti kuper? Kamu kan pernah mengajar, latar belakangmu
pendidikan, seharusnya kamu kalau ada yang tidak sreg dengan kebijakan sekolah,
bisalah memberi masukan. Bukan malah memilih sekolah rumah. Elitis sekali
kesannya. Ah, ideal memang mimpi ortu (baru) satu anak itu, saran nih, tambah anak dulu, baru kira-kira
bisa homeschooling tidak ?
Banyak pertanyaan dan
tanggapan dari teman, saudara, bahkan ortu ketika saya memutuskan pendidikan
rumah untuk Si Bocah. Saya paham. Lahir dan besar di keluarga guru, mengenyam
pendidikan pun di sekolah keguruan, sempat berprofesi sebagai pengajar di
sekolah formal, cukup mengherankan mungkin bagi beberapa orang keputusan saya
ini. Meski bagi saya dan suami tidak.
Keputusan pendidikan sekolah
rumah bagi Si Bocah sudah kami pikirkan dan bicarakan secara matang. Sejak Si
Bocah belum lahir. Sejak saya diajak suami berkenalan dengan komunitas sekolah
rumah tradisional di Jawa. Menarik pola pendidikan yang dilakukan. Mereka
memilih belajar apa yang menjadi keyakinan dan menarik minatnya.
Saat menjadi pengajar di
sekolah formal, saya menemui anak-anak yang luar biasa. Anak-anak yang
bersemangat dan bergembira. Saya sempat diberi kesempatan mengenal anak yang
luar biasa otak kanannya. Dia bercerita tentang keinginannya memiliki sebuah
toko elektronik lengkap dengan desain tokonya. Saat dia menunjukkan gambar yang
dibuat, saya takjub. Dia baru 7 tahun. Kelas 1 Sekolah Dasar. Begitu detail
gambar ilustrasinya. Meski dia kesulitan membaca, menulis, bahkan berbicara
mengekspresikan idenya. Luar biasa.
Anak luar biasa itu karena
keterbatasannya akan membaca, menulis, dan masih minim kosakata yang dikuasai,
akhirnya tidak naik kelas. Saya dan teman saya yang menjadi gurunya menangis
sedih saat itu tapi tak bisa berbuat banyak. Anak luar biasa itu harus tidak
naik kelas hanya karena tidak memenuhi KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal).
Sempat terbersit pertanyaan,
bila itu terjadi dengan anak saya, sanggupkah saya menghadapinya ? Saya – yang percaya
semua anak itu hebat – harus menghadapi kenyataan pahit seperti tidak naik
kelas misalnya. Jadi ingat tentang ujian di sekolah binatang. Kera yang gagal
ujian hanya karena tidak bisa terbang padahal dia mahir memanjat, burung yang
mati dalam ujian karena tenggelam sebab dia hanya pandai terbang.
Kejadian itu membuat saya
mencari referensi lain tentang model-model belajar. Membaca dan googling. Sampai kemudian bertemu dengan
situs menarik, rumahinspirasi.com. Banyak
artikel menarik tentang pendidikan rumah di sana. Menambah pengetahuan saya
akan model belajar selain sekolah formal. Beberapa model belajar di sekolah
rumah à la rumahinspirasi.com bahkan sempat saya terapkan di kelas termasuk
lagu-lagu yang dibuat Mbak Lala. Menarik dan menyenangkan. Anak-anak suka
sekali.
Sejak Si Bocah lahir, saya
pun bulat tekad melakukan pendidikan rumah untuknya sejak usia dini. Fokus saya
di penguatan karakter. Klop dengan kata Mas Aar yang mengatakan bahwa
pendidikan usia dini lebih baik pada penguatan karakter di webinar homeschooling yang saya ikuti. Cocok
pula saya dengan kurikulum PAUD. Lho kok ? Iya, secara garis besar saya sepakat
dengan kurikulum di PAUD hanya untuk proses belajarnya, Si Bocah tetap bersama
kami, ortunya, bukan diserahkan ke guru di sekolah formal hehehehe.
Namun memang ya, saat
memutuskan untuk mengambil alih tanggung jawab pendidikan ke tangan kita, ortu,
rasanya sungguh luar biasa. Bangga? Iya. Senang ? Pasti. Capai ? Sudah tentu.
Tapi semua itu tidak ada apa-apanya dibanding dengan perjuangan mengelola emosi
kita. Itu bagi saya yang terkenal kurang sabar dan sedikit emosian hehehehe.
Terus, kok nekad homeschooling ? Mengutip jawaban Mbak
Lala, bahwa saat inilah waktu saya belajar bersama-sama Si Bocah dan ayahnya
untuk mengelola emosi. Adem dengar jawaban Mbak Lala itu dan lebih semangat
pastinya. Yeah, anak memang tidak perlu ortu sempurna, namun menjadi ortu yang
mau belajar adalah hal terbaik yang bisa kita lakukan untuk anak kita. Betul
tidak ?
Di sisi lain, untuk perkembangan
anak usia dini seperti Si Bocah saya cenderung berpendapat kalau lebih baik
bersama ortunya. Kalaupun ada anak usia dini yang bersekolah, kita hitung jam
di sekolah lebih sedikit dari jam saat dia ada di rumah. Jadi, kembali pada
bimbingan ortu.
Anak – anak usia dini pun
saya rasa penting untuk diberi ruang dan waktu bermain sebanyak-banyaknya. Bukan
malah dibebani pekerjaan rumah yang banyak atau hafalan ini itu. Bermain adalah
proses mereka belajar.
Mereka adalah anak-anak
pandai sejak dari lahir. Tuhan telah menganugerahkan kepandaian pada mereka. Kita,
sebagai ortu, hanya bertugas mendampingi, membimbing, sekaligus memunculkan
potensi kepandaian itu. Sebab, di usia kanak-kanak itu, semua hal menarik. Semua
hal baru. Semua hal layak ditanyakan. Semua hal mengundang rasa ingin tahu. Sejalan
dengan materi di webinar homeschooling rumah inspirasi ini.
Yakin beneran kamu memilih homeschooling
? Di negeri yang ijazah masih dianggap penting, kamu tega membiarkan anakmu
tanpa ijazah ? Mau jadi apa dia nanti ? Jangan karena egomu saja lho kamu membuat anakmu susah.
Ungkapan diatas bukan reka
imajinasi saya. Benar-benar terjadi dan menimpa saya hehehehe. Memang, masih
banyak orang yang menganggap ijazah itu segalanya. Sumber kesuksesan. Yah, kalau
soal ijazah, saya bicarakan nanti dengan Si Bocah. Kalau dia merasa perlu,
boleh melalui jalur-jalur yang memang sudah disediakan. Sebab, homeschooling itu diakui kok, legal dan
ada payung hukumnya.
Kalau masih gagal paham
dengan homeschooling, mungkin perlu piknik
ke rumah Mbak Lala dan Mas Aar sekaligus ikut webinar rumah inspirasi. Diijinkan
ya Mas Aar dan Mbak Lala ?
No comments:
Post a Comment