Kemampuan berbahasa pada
anak bukanlah bawaan lahir. Kemampuan berbahasa mereka pelajari dari lingkungan
sekitar dan orang-orang terdekatnya. Apa yang mereka dengar dan terima, maka
itulah yang ia praktikan.
Dulu, saat masih di lembaga
pendidikan formal, saya memiliki seorang anak didik yang sulit sekali berbicara
dengan jelas. Banyak kesalahan pelafalan yang diucapkan. Kosakatanya pun
terbatas. Lebih sering menunjuk bila menginginkan sesuatu. Untuk warna pun, dia
hanya mengenal oranye dan hitam. Semua benda bagi dia warnanya oranye dan
hitam. Usianya hampir 7 tahun.
Melihat kondisi tersebut,
bersama satu rekan guru, kami melakukan kunjungan ke rumah. Kegiatan ini bertujuan mencari tahu bagaimana kondisi keseharian
anak didik tersebut di rumah sehingga kami bisa membantu kesulitannya tersebut.
Di rumahnya, ternyata hanya
ada anak didik kami bersama adik dan seorang asisten rumah tangga yang masih
muda. Orang tuanya sedang keluar. Kami berada di sana beberapa saat. Mendengarkan
cerita bagaimana sehari-hari kerapnya anak didik kami ini hanya dengan adik dan
asisten rumah tangganya. Kesibukan kedua ortunya membuat intensitas mereka
bersama sangat sedikit.
Kami pun mengamati bagaimana
interaksi yang terjalin antara anak didik kami dengan adik maupun asisten rumah
tangganya. Minim sekali komunikasi yang terjadi. Saat Si Adik meminta minum,
hanya bisa mengucap um. Meski begitu Mbak
asisten rumah tangga paham. Dia segera mengambilkan minum. Sayangnya, hanya
mengambilkan minum tanpa mengulang ucapan Si Adik agar dia paham. Andai Si Mbak mengambilkan minum sambil
mengucapkan, oh Adik mau minum ya, alangkah akan berbeda penguasaan bahasa yang
dimiliki oleh Si Adik dan terutama anak didik saya itu. Mereka akan lebih
banyak punya kosakata dan mampu berbahasa lebih mudah.
Sayangnya, kerap di kita,
para orang dewasa ini yang alih-alih mencontohkan penggunaan bahasa yang benar,
malah kerap meniru ucapan anak-anak batita yang jelas-jelas masih belajar
berbahasa. Misalnya saja nanas untuk panas, mamam untuk makan atau lainnya. Mungkin
terdengar lucu memang kosakata anak-anak itu, hanya saja kita pun sebagai ortu
memiliki tugas mendampingi mereka belajar berbahasa.
Yang terpenting, bagaimana
kita, ortu yang harus belajar menekuk ego ini, selalu mampu memberikan
perhatian penuh (bukan selintas lalu) ketika anak-anak mengajak berbicara, memberi
respon positif dan tidak sibuk mencari kesalahan ucap yang dilakukan mereka. Andai ada kesalahan ucap seperti ‘Aku tadi
sudah mamam isang’, kita bisa kembali mengulangnya dengan kalimat ‘Adik tadi
sudah makan pisang ya ? Enak pisangnya?’. Dengan jawaban seperti itu, anak-anak
akan merasa dimengerti akan apa yang mereka ucapkan sekaligus tahu ada kalimat
lain yang bisa diucapkan lain waktu. Mereka
pun nyaman dalam proses menjalani belajar berbahasa.
Bahasa adalah sarana penting
dalam kita berkomunikasi dengan sesama sekaligus alat mengekspresikan diri. Anak-anak pun menggunakan
bahasa sebagai sarana belajar membaca,
menulis, membuka wawasan, mengenal pengetahuan, menemukan masalah sekaligus
mencari solusinya. Dengan bahasa, mereka mampu mengungkapkan beragam ide,
perasaan yang dirasakan, mengerti dan dimengerti oleh orang-orang di
sekitarnya.
Setuju mbak...jangan suka ikut2an bahasa balita walau itu terasa lucu. Etapi sekali2 tak apa2 kan hehehehe
ReplyDelete