Pages

Monday 1 February 2016

Bahasa

Kemampuan berbahasa pada anak bukanlah bawaan lahir. Kemampuan berbahasa mereka pelajari dari lingkungan sekitar dan orang-orang terdekatnya. Apa yang mereka dengar dan terima, maka itulah yang ia praktikan.

Dulu, saat masih di lembaga pendidikan formal, saya memiliki seorang anak didik yang sulit sekali berbicara dengan jelas. Banyak kesalahan pelafalan yang diucapkan. Kosakatanya pun terbatas. Lebih sering menunjuk bila menginginkan sesuatu. Untuk warna pun, dia hanya mengenal oranye dan hitam. Semua benda bagi dia warnanya oranye dan hitam. Usianya hampir 7 tahun.

Melihat kondisi tersebut, bersama satu rekan guru, kami melakukan kunjungan ke rumah. Kegiatan ini bertujuan mencari tahu bagaimana kondisi keseharian anak didik tersebut di rumah sehingga kami bisa membantu kesulitannya tersebut.

Di rumahnya, ternyata hanya ada anak didik kami bersama adik dan seorang asisten rumah tangga yang masih muda. Orang tuanya sedang keluar. Kami berada di sana beberapa saat. Mendengarkan cerita bagaimana sehari-hari kerapnya anak didik kami ini hanya dengan adik dan asisten rumah tangganya. Kesibukan kedua ortunya membuat intensitas mereka bersama sangat sedikit.

Kami pun mengamati bagaimana interaksi yang terjalin antara anak didik kami dengan adik maupun asisten rumah tangganya. Minim sekali komunikasi yang terjadi. Saat Si Adik meminta minum, hanya bisa mengucap um. Meski begitu Mbak asisten rumah tangga paham. Dia segera mengambilkan minum. Sayangnya, hanya mengambilkan minum tanpa mengulang ucapan Si Adik agar dia paham. Andai Si Mbak mengambilkan minum sambil mengucapkan, oh Adik mau minum ya, alangkah akan berbeda penguasaan bahasa yang dimiliki oleh Si Adik dan terutama anak didik saya itu. Mereka akan lebih banyak punya kosakata dan mampu berbahasa lebih mudah.

Sayangnya, kerap di kita, para orang dewasa ini yang alih-alih mencontohkan penggunaan bahasa yang benar, malah kerap meniru ucapan anak-anak batita yang jelas-jelas masih belajar berbahasa. Misalnya saja nanas untuk panas, mamam untuk makan atau lainnya. Mungkin terdengar lucu memang kosakata anak-anak itu, hanya saja kita pun sebagai ortu memiliki tugas mendampingi mereka belajar berbahasa.

Yang terpenting, bagaimana kita, ortu yang harus belajar menekuk ego ini, selalu mampu memberikan perhatian penuh (bukan selintas lalu) ketika anak-anak mengajak berbicara, memberi respon positif dan tidak sibuk mencari kesalahan ucap yang dilakukan mereka.  Andai ada kesalahan ucap seperti ‘Aku tadi sudah mamam isang’, kita bisa kembali mengulangnya dengan kalimat ‘Adik tadi sudah makan pisang ya ? Enak pisangnya?’. Dengan jawaban seperti itu, anak-anak akan merasa dimengerti akan apa yang mereka ucapkan sekaligus tahu ada kalimat lain yang bisa  diucapkan lain waktu. Mereka pun nyaman dalam proses menjalani belajar berbahasa.

Bahasa adalah sarana penting dalam kita berkomunikasi dengan sesama sekaligus  alat mengekspresikan diri. Anak-anak pun menggunakan bahasa sebagai sarana  belajar membaca, menulis, membuka wawasan, mengenal pengetahuan, menemukan masalah sekaligus mencari solusinya. Dengan bahasa, mereka mampu mengungkapkan beragam ide, perasaan yang dirasakan, mengerti dan dimengerti oleh orang-orang di sekitarnya.






1 comment:

  1. Setuju mbak...jangan suka ikut2an bahasa balita walau itu terasa lucu. Etapi sekali2 tak apa2 kan hehehehe

    ReplyDelete