Pages

Monday 4 January 2016

The Freedom to Fail

Prang! Suara gelas jatuh membuat saya menoleh. Faiz, teman Si Bocah terlihat takut dan mau menangis. “Tidak apa-apa, Mas Faiz”, kata Si Bocah. Faiz melihat saya takut-takut. Saya mengangguk menegaskan sambil tersenyum. “Tidak dimarahi ?” tanyanya polos. “Tidak, Mas Faiz. Kalau gelas jatuh berarti segera ambil pel buat mengelap airnya”, Si Bocah menjawab sambil bawa kain pel. Faiz masih terlihat bingung namun tak jadi menangis dan kemudian ikut mengelap air yang tumpah juga.

Melihat ekspresi Faiz yang ketakutan dan seakan mau lari tadi bisa saya tebak bagaimana reaksi para orang dewasa di sekitarnya saat dia melakukan kesalahan. 

Faiz, anak laki-laki usia 3 tahun teman Si Bocah. Meski pun secara usia lebih tua setahun, namun secara fisik, Faiz tak lebih besar dari Si Bocah.

Anak-anak usia batita yang sebenarnya wajar sekali bila mereka melakukan kesalahan sebab memang masanya belajar. Biarlah mereka mengenal bahwa belajar sesuatu pun memiliki resiko untuk gagal atau jatuh. Sebagai ortu, kita hanya bisa membantu mereka memahami bahwa kegagalan dan kekecewaan itu hal yang dialami semua orang, tidak perlu merasa malu. Yang harus kita tanamkan ke mereka lebih ke semangat berjuang dan belajar kembali untuk hasil yang lebih baik serta mengatasi masalah yang ada. Seperti kasus di atas, alih-alih menangis setelah menumpahkan air, Si bocah segera mengambil kain pel buat mengeringkannya.

Ah, harus menekuk ego lagi nih di posisikan sebagai ortu. Iya, banget hehehe. Sebab kebanyakan dari kita masih lebih suka anaknya terlihat manis sempurna tanpa kesalahan daripada mengikuti saat-saat si anak sedang dalam proses belajar yang berpotensi terjerumus dalam kesalahan kan ?
Sering kita malas buat repot-repot berkutat dengan aktivitas mereka yang jujur sering melelahkan baik secara fisik maupun psikis. Sudah harus sabar, menahan kesal atau marah saat mereka dengan cuek belajar salah dan mendampingi mereka untuk semangat memulai lagi belajarnya agar lebih mahir dan tidak melalukan kesalahan lagi. Capai. Lebih mudah melarang ini itu sehingga anak anteng dan bermain yang ‘aman’ dan kita asyik dengan gawai di tangan.

Nah kalau sudah begitu, kapan anak-anak kita mengenal yang namanya proses belajar dan gagal sekaligus? Bagaimana cara mengatasinya kalau tidak dikenalkan kepada mereka ?










No comments:

Post a Comment