Prang! Suara gelas jatuh
membuat saya menoleh. Faiz, teman Si Bocah terlihat takut dan mau menangis. “Tidak
apa-apa, Mas Faiz”, kata Si Bocah. Faiz melihat saya takut-takut. Saya
mengangguk menegaskan sambil tersenyum. “Tidak dimarahi ?” tanyanya polos. “Tidak,
Mas Faiz. Kalau gelas jatuh berarti segera ambil pel buat mengelap airnya”, Si
Bocah menjawab sambil bawa kain pel. Faiz masih terlihat bingung namun tak jadi
menangis dan kemudian ikut mengelap air yang tumpah juga.
Melihat ekspresi Faiz yang
ketakutan dan seakan mau lari tadi bisa saya tebak bagaimana reaksi para orang
dewasa di sekitarnya saat dia melakukan kesalahan.
Faiz, anak laki-laki usia 3
tahun teman Si Bocah. Meski pun secara usia lebih tua setahun, namun secara
fisik, Faiz tak lebih besar dari Si Bocah.
Anak-anak usia batita yang sebenarnya wajar sekali bila mereka melakukan kesalahan sebab memang masanya belajar. Biarlah mereka mengenal bahwa belajar sesuatu pun memiliki resiko untuk gagal atau jatuh. Sebagai ortu, kita hanya bisa membantu mereka memahami bahwa kegagalan dan kekecewaan itu hal yang dialami semua orang, tidak perlu merasa malu. Yang harus kita tanamkan ke mereka lebih ke semangat berjuang dan belajar kembali untuk hasil yang lebih baik serta mengatasi masalah yang ada. Seperti kasus di atas, alih-alih menangis setelah menumpahkan air, Si bocah segera mengambil kain pel buat mengeringkannya.
Ah, harus menekuk ego lagi nih di posisikan sebagai ortu. Iya, banget hehehe. Sebab kebanyakan dari kita masih lebih suka anaknya terlihat manis sempurna tanpa kesalahan daripada mengikuti saat-saat si anak sedang dalam proses belajar yang berpotensi terjerumus dalam kesalahan kan ?
Sering kita malas buat
repot-repot berkutat dengan aktivitas mereka yang jujur sering melelahkan baik
secara fisik maupun psikis. Sudah harus sabar, menahan kesal atau marah saat
mereka dengan cuek belajar salah dan mendampingi mereka untuk semangat memulai
lagi belajarnya agar lebih mahir dan tidak melalukan kesalahan lagi. Capai. Lebih
mudah melarang ini itu sehingga anak anteng
dan bermain yang ‘aman’ dan kita
asyik dengan gawai di tangan.
Nah kalau sudah begitu, kapan anak-anak kita mengenal yang namanya proses belajar dan gagal sekaligus? Bagaimana cara mengatasinya kalau tidak dikenalkan kepada mereka ?
No comments:
Post a Comment