“Beli, Pak!” Teriak Faiz, 3
tahun, menghentikan penjual makanan keliling yang lewat di depannya. Setelah
itu, Faiz langsung lari ke rumah mencari ibunya untuk minta uang.
Ibunya keluar sambil
menggerutu. “Duh, njajan saja!”. Sehari ini sudah tiga penjual dihentikan Faiz.
Penjual apapun yang lewat di dekatnya asal dia tertarik, pasti dipanggilnya. Mulai
dari penjual makanan, minuman, mainan, sampai penjual aneka peralatan rumah
tangga.
Uang yang dikeluarkan ibunya
untuk hobi Faiz ini pun lumayan beragam. Dari mulai sepuluh ribu sampai tiga
puluh ribu. Mungkin ibunya tidak akan menggerutu atau ‘ngomelin’ Faiz andai
hobinya dilakukan tidak setiap hari. Seminggu sekali mungkin agar lebih ringan
di kantong hehehehe.
Pernah menemui peristiwa
yang serupa dengan Faiz? Atau malah mengalaminya ? Anak-anak mudah sekali ‘njajan’
atau menghentikan penjual yang lewat di depannya.
Peristiwa ini kerap saya
temui terjadi di daerah atau desa daripada di komplek perumahan di kota. Kalau di Kota, gaya 'njanjannya' berbeda. Bukan memanggil penjual namun mendatangi penjual. Anak-anak yang hidup di daerah atau desa lebih terbuka dan bebas bermain kemana
saja mengeksplore lingkungannya sehingga interaksi mereka dengan orang lain pun
lebih terbuka dibandingkan dengan anak-anak yang hidup di komplek perumahan.
Termasuk interaksi dengan penjual keliling. Bila kebetulan sedang berkunjung ke
rumah ortu yang di desa di wilayah Kediri, sambil ‘momong’ Si Bocah, saya suka
memperhatikan fenomena ini.
Dari pengamatan saya sih sebenarnya bukan salahnya anak-anak
juga mereka suka memanggil penjual yang lewat. Ada beberapa hal yang membuat
mereka melakukannya. Satu, mereka ikut-ikutan temannya yang ‘njajan’, dan yang
kedua (ini yang utama) adalah mereka meniru orang dewasa di dekatnya (entah
ortu atau nenek atau tante, atau paman, atau siapapun yang masih kerabatnya). Lha,
kok bisa ?
Sadar atau tidak, para orang
dewasalah yang memulai mengenalkan anak-anak pada aktivitas ini. Kerap,
merekalah yang awalnya memanggil para penjual yang lewat di depan anak-anak
yang sedang asyik bermain. Mereka pulalah yang kemudian mengajari anak-anak itu
bagaimana njajan dengan menanyakan keinginannya akan apa yang ditawarkan si
penjual.’Hayo, kamu minta apa ? Mau ini atau itu?
Satu kali, anak-anak
melihatnya. Dua kali, anak-anak melihat dan merekamnya. Tiga kali, anak-anak
pun mulai mempraktikkannya. Keempat kalinya, mereka sudah mahir melakukannya
sendiri. Nah lho…
Jadi, mungkin ada baiknya
bila kita, sebagai ortu ini, bila melihat dan mendapati anak-anak kok demikian terampil memanggil penjual
yang lewat, jangan langsung dimarahi. Mundur selangkah dulu lalu diingat-ingat
bagaimana sikap kita kemarin-kemarin sebagai fasilitatornya.
Anak-anak adalah spon
terbaik dalam kehidupan, mereka akan dengan cepat dan mudah menyerap apapun
yang ada di sekitarnya termasuk perilaku kita, ortunya.
No comments:
Post a Comment