Pages

Sunday 18 October 2015

Spon Luar Biasa Itu Bernama Anak-anak

“Beli, Pak!” Teriak Faiz, 3 tahun, menghentikan penjual makanan keliling yang lewat di depannya. Setelah itu, Faiz langsung lari ke rumah mencari ibunya untuk minta uang.

Ibunya keluar sambil menggerutu. “Duh, njajan saja!”. Sehari ini sudah tiga penjual dihentikan Faiz. Penjual apapun yang lewat di dekatnya asal dia tertarik, pasti dipanggilnya. Mulai dari penjual makanan, minuman, mainan, sampai penjual aneka peralatan rumah tangga.

Uang yang dikeluarkan ibunya untuk hobi Faiz ini pun lumayan beragam. Dari mulai sepuluh ribu sampai tiga puluh ribu. Mungkin ibunya tidak akan menggerutu atau ‘ngomelin’ Faiz andai hobinya dilakukan tidak setiap hari. Seminggu sekali mungkin agar lebih ringan di kantong hehehehe.


Pernah menemui peristiwa yang serupa dengan Faiz? Atau malah mengalaminya ? Anak-anak mudah sekali ‘njajan’ atau menghentikan penjual yang lewat di depannya.


Peristiwa ini kerap saya temui terjadi di daerah atau desa daripada di komplek perumahan di kota. Kalau di Kota, gaya 'njanjannya' berbeda. Bukan memanggil penjual namun mendatangi penjual. Anak-anak yang hidup di daerah atau desa lebih terbuka dan bebas bermain kemana saja mengeksplore lingkungannya sehingga interaksi mereka dengan orang lain pun lebih terbuka dibandingkan dengan anak-anak yang hidup di komplek perumahan. Termasuk interaksi dengan penjual keliling. Bila kebetulan sedang berkunjung ke rumah ortu yang di desa di wilayah Kediri, sambil ‘momong’ Si Bocah, saya suka memperhatikan fenomena ini.

Dari pengamatan saya sih sebenarnya bukan salahnya anak-anak juga mereka suka memanggil penjual yang lewat. Ada beberapa hal yang membuat mereka melakukannya. Satu, mereka ikut-ikutan temannya yang ‘njajan’, dan yang kedua (ini yang utama) adalah mereka meniru orang dewasa di dekatnya (entah ortu atau nenek atau tante, atau paman, atau siapapun yang masih kerabatnya). Lha, kok bisa ?

Sadar atau tidak, para orang dewasalah yang memulai mengenalkan anak-anak pada aktivitas ini. Kerap, merekalah yang awalnya memanggil para penjual yang lewat di depan anak-anak yang sedang asyik bermain. Mereka pulalah yang kemudian mengajari anak-anak itu bagaimana njajan dengan menanyakan keinginannya akan apa yang ditawarkan si penjual.’Hayo, kamu minta apa ? Mau ini atau itu?

Satu kali, anak-anak melihatnya. Dua kali, anak-anak melihat dan merekamnya. Tiga kali, anak-anak pun mulai mempraktikkannya. Keempat kalinya, mereka sudah mahir melakukannya sendiri. Nah lho…

Jadi, mungkin ada baiknya bila kita, sebagai ortu ini, bila melihat dan mendapati anak-anak kok demikian terampil memanggil penjual yang lewat, jangan langsung dimarahi. Mundur selangkah dulu lalu diingat-ingat bagaimana sikap kita kemarin-kemarin sebagai fasilitatornya.
Anak-anak adalah spon terbaik dalam kehidupan, mereka akan dengan cepat dan mudah menyerap apapun yang ada di sekitarnya termasuk perilaku kita, ortunya.




No comments:

Post a Comment