Setiap membuka akun di sosial
media, saya hampir selalu menarik nafas panjang. Kebiasaan yang muncul karena
efek ‘rajinnya’ saya membacai status yang bersliweran di dinding hehehe.
https://www.facebook.com/photo.php?fbid=920015451403543&set=a.117966261608470.20316.100001852914590&type=3&theater |
Kurang kerjaan, istilah suami
saya. Mungkin benar yang dikatakannya. Namun, rasanya ada yang kurang tanpa
membacai status-status itu sehari saja (hahahaha). Sebab, saat membacai
status-status itu saya merasakan diri up
date informasi dan yang utama, lebih seru tanpa harus membaca web berita terutama
sekali bila dibumbui dengan menyempatkan diri membacai komentar yang ada.
Sensasi membaca komentar yang
ditulis netizen itu rasanya lebih waw dan bombastis daripada membaca atau
paham secara menyeluruh apa yang sedang jadi bahan pembicaraannya. Kadang atau
bahkan sering, yang komentar itu ternyata tidak membaca tuntas isi beritanya,
hanya berdasar judul berita yang pastinya dibuat agak-agak ‘menyesatkan’ agar
orang tertarik baca alias tidak sinkron sama sekali. Padahal komentarnya sudah berapi-api
dibumbui percik emosi hehehehe. Membuat yang pembaca komentar seperti saya
kerap terpaksa geleng-geleng kepala dan lupa membuang karbondioksida.
Belum kemudian teman-teman yang suka
membagi postingan yang sifatnya menjelekkan seseorang atau kelompok. Aduh,
teman-teman golongan ini benar-benar membuat saya tak bisa berkomentar. Mereka sebenarnya
adalah kelompok usia matang yang jelas pula berpendidikan. Tak jarang mereka
adalah para ortu dari anak-anak yang cerdas, generasi masa depan.
Apakah mungkin para teman di atas
memiliki kenangan pahit yang membekas di masa kecilnya sehingga ketika dewasa
dan berputra akhirnya mereka kerap entah mungkin tak sengaja membagikan postingan-postingan
negatif seperti itu ?
Bisakah sedikit saja kita
berjarak dan merenungi sebentar postingan yang akan kita bagi. Benarkah itu
menyejukkan atau malah menebar benih-benih permusuhan ? Benarkah memang
demikian beritanya seperti yang ditulis atau hanya rekayasa menggunakan
foto-foto yang bukan sebenarnya ?
Mungkin memang kenangan suram di
masa lalu atau ketidaksukaan kepada seseorang itu sulit kita lepas. Namun nyamankah
berteman dengan perasaan seperti itu setiap hari ? Apakah membawa kebahagiaan
membagi tentang sebuah kebencian itu dengan dalih apapun ? Andai kita menyimpan
perasaan negative itu terus menerus sambil membesarkan anak-anak, apakah energi
negatif itu akhirnya tidak sampai pula kepada anak-anak kita?
Andaikan sepuluh tahun mendatang, anak-anak kita yang sekarang mungkin masih balita dan lucu-lucu atau berusia sekolah dasar, memiliki akun di sosmed di mana kita dulu rajin membagi postingan-postingan bernada kebencian, membuka dan membaca apa yang tertulis di sana, bagaimana perasaan mereka ? Bagaimana kita akan menjawab pertanyaan mereka kelak tentang ajaran saling mengasihi dan menghormati kepada sesama ? Sebab apa yang kita tulis dan bagi hari ini di sosmed, tidak akan pernah terhapus meskipun sepuluh tahun ke depan.
Andaikan sepuluh tahun mendatang, anak-anak kita yang sekarang mungkin masih balita dan lucu-lucu atau berusia sekolah dasar, memiliki akun di sosmed di mana kita dulu rajin membagi postingan-postingan bernada kebencian, membuka dan membaca apa yang tertulis di sana, bagaimana perasaan mereka ? Bagaimana kita akan menjawab pertanyaan mereka kelak tentang ajaran saling mengasihi dan menghormati kepada sesama ? Sebab apa yang kita tulis dan bagi hari ini di sosmed, tidak akan pernah terhapus meskipun sepuluh tahun ke depan.
Sebuah bait puisi dari Dorothy
Law Nolte yang dulu saya tempel di dinding sebelah meja saat masih mengajar
dulu melintas. “Jika anak dibesarkan dalam celaan, dia akan belajar memaki.
Jika anak dibesarkan dalam kasih sayang dan persahabatan, dia akan menemukan
cinta dalam kehidupan.”
No comments:
Post a Comment