Minta Maaf, ya
“Huaa….!” Tangisan keras Yasmine
pecah mengejutkan saya yang sedang di lantai bawah. Segera saya naik. Menghampiri.
Si Bocah saat itu memang sedang bermain dengan Yasmine, temannya. Yasmine yang
menangis tersedu-sedu segera digendong bundanya. Saya pun segara mengajak Si Bocah
turun ke lantai bawah.
Kebetulan saya sekeluarga dan ortu Yasmine tinggal
seatap sehingga mereka hampir setiap hari bermain bersama. Si Bocah lebih muda 8 bulan dari Yasmine namun mereka cukup nyaman bermain bersama. Meski, namanya anak-anak, berselisih paham, menangis, rukun, bermain lagi mewarnai keseharian mereka. Bagi saya, walaupun terlihat sehari-hari dan sudah biasa atau malah sepele, perselisihan anak tetap menjadi perhatian saya.
Ah, berlebihan sekali !
Namanya anak, berselisih paham atau bertengkar kan biasa, sebentar saja akan bermain lagi. Tak perlulah dibuat
serius. Hum…memang benar. Anak-anak mudah bertengkar namun mudah pula
memaafkan. Itulah anak-anak.
Padahal kemampuan meminta maaf
ini termasuk satu indikator dalam karakter yang harus dimiliki anak. Kalau merujuk
ke konsep pengembangan PAUD non formal, kurikulum diknas 2007, masuk dalam
kemampuan berperilaku menghargai orang lain.
Namun berbicara tentang
meminta maaf ini, sepanjang saya mencermati anak-anak, perilaku ini kerap untuk
banyak anak tidak bisa dilakukan secara otomatis. Termasuk pada Si Bocah. Mereka
mungkin setelah bertengkar akan bermain bersama lagi, namun tidak ada pernah
permintaan maaf. Mereka melupakan pertengkarannya seakan sudah lupa.
Menilik kondisi itulah,
sesampai di lantai bawah, saya pun mulai ngobrol
bersama Si Bocah. Menanyakan apa yang terjadi. Alih-alih bercerita, Si
Bocah menangis keras. Rasanya waw sekali ternyata. Apalagi di lantai atas, Si
Yasmine masih menangis keras diselingi suara bundanya yang berusaha
menenangkan. Ingin membentak ? Iya (tapi apa daya membentak itu bukan hal yang
bijak, jiah! ). Gemes ? Pasti. Pusing karena Si Bocah malah nangis pakai manuver-manuver
? Betul, rasanya mending ngopi-ngopi cantik sajah hehehehe. Apalagi Si Bocah
berusaha nglendot sambil nangis untuk
menghindar bercerita.
Tega sekali ya saya ?
Ditega-tegain sebenarnya nih. Mules bin senewen mendengar Si Bocah menangis menderu-deru.
Inginnya dilupakan saja, lalu segera dipeluk agar tenang. Namun karena saya
ingin melatih Si Bocah jujur sejak awal maka saya pun bertahan. Ayahnya yang
kebetulan ada di rumah sempat saya tanya apakah terpengaruh dengan tangisan Si
Bocah, beliaunya menggeleng (meski saya tahu sekali, dia ngempet). So, the show must
go on. Bertahan dengan segala rengekan dan manuver Si Bocah. Ternyata aduuuuh…jujur
lebih mudah nahan keinginan beli baju atau jilbab elzatta daripada proses
mendidik ini.
Hampir setengah jam, baru Si
Bocah mau bercerita apa yang terjadi. Huhuhu…segera saya peluk dia. Berterima kasih
atas kejujurannya. Ingat proses menghargai kejujuran dari dialog Ayah Edy di
sebuah radio. Si Bocah pun terlihat lega. Meski sebentar.
Tangisan kembali pecah ketika
saya memintanya untuk minta maaf kepada Yasmine karena tak sengaja membuat
tangannya terjepit kursi. Bahkan dengan konsekuensi Si Bocah belum boleh
bermain bersama lagi atau melihat kartun ela elo kesukaannya. Benteng pertahanan
hati seorang ibu saya lipat gandakan mendapatkan serangan dengan banyak gaya
dari Si Bocah. Sampai sebenarnya sudah hampir di ambang putus asa.
Termasuk ibu yang tak punya
hati tidak ya ? Membiarkan anaknya menangis nangis sampai hampir dua jam meski
tidak terus menerus. Ada jedanya juga
kok menangisnya. Atau saya kejam ? menyakiti anak yang belum juga tiga tahun.
Atau masuk ke tataran berlebihan ?
Ah, tetapi ini kan
pilihan saya. Mendidik Si Bocah memiliki rasa menghargai orang lain. Mungkin menyakitkan
dan terlihat kejam. Si Bocah tak nyaman, saya pun belajar merasakan sakit. Sebab
belajar itu menyakitkan, lebih enak makan mie ayam saat hari hujan.
Dan saat mendengar Si Bocah
akhirnya dengan meminta maaf kepada Yasmine, rasanya plong dan lega sekali. Langsung saya angkat satu tangan. Yes! Segera saya
ajak Si Bocah dan Yasmine ‘tos’ bersama. Cerah sekali senyum keduanya. Yasmine
tampak lega, Si Bocah pun terlihat senang. Saya pun meminta maaf kepada Si Bocah
atas ketidak nyamannya ini yang disambutnya dengan sebuah kata sederhana yang
menyejukkan. Iya,Bunda.
Terima kasih ya, Nak. Kamu telah
mengajari ibumu untuk mengenal bagaimana mendidik sebuah karakter baik itu luar
biasa prosesnya. Semoga kebaikan-kebaikan yang lain semakin tumbuh dalam dirimu
dan memberi warna indah di orang-orang sekelilingmu.
No comments:
Post a Comment