Pages

Thursday 15 October 2015

Minta Maaf, ya

“Huaa….!” Tangisan keras Yasmine pecah mengejutkan saya yang sedang di lantai bawah. Segera saya naik. Menghampiri. Si Bocah saat itu memang sedang bermain dengan Yasmine, temannya. Yasmine yang menangis tersedu-sedu segera digendong bundanya. Saya pun segara mengajak Si Bocah turun ke lantai bawah. 

Kebetulan saya sekeluarga dan ortu Yasmine tinggal seatap sehingga mereka hampir setiap hari bermain bersama. Si Bocah lebih muda 8 bulan dari Yasmine namun mereka cukup nyaman bermain bersama. Meski, namanya anak-anak, berselisih paham, menangis, rukun, bermain lagi mewarnai keseharian mereka. Bagi saya, walaupun terlihat sehari-hari dan sudah biasa atau malah sepele, perselisihan anak tetap menjadi perhatian saya.

Ah, berlebihan sekali !
Namanya anak, berselisih paham atau bertengkar kan biasa, sebentar saja akan bermain lagi. Tak perlulah dibuat serius. Hum…memang benar. Anak-anak mudah bertengkar namun mudah pula memaafkan. Itulah anak-anak.

Padahal kemampuan meminta maaf ini termasuk satu indikator dalam karakter yang harus dimiliki anak. Kalau merujuk ke konsep pengembangan PAUD non formal, kurikulum diknas 2007, masuk dalam kemampuan berperilaku menghargai orang lain.

Namun berbicara tentang meminta maaf ini, sepanjang saya mencermati anak-anak, perilaku ini kerap untuk banyak anak tidak bisa dilakukan secara otomatis. Termasuk pada Si Bocah. Mereka mungkin setelah bertengkar akan bermain bersama lagi, namun tidak ada pernah permintaan maaf. Mereka melupakan pertengkarannya seakan sudah lupa.

Menilik kondisi itulah, sesampai di lantai bawah, saya pun mulai ngobrol bersama Si Bocah. Menanyakan apa yang terjadi. Alih-alih bercerita, Si Bocah menangis keras. Rasanya waw sekali ternyata. Apalagi di lantai atas, Si Yasmine masih menangis keras diselingi suara bundanya yang berusaha menenangkan. Ingin membentak ? Iya (tapi apa daya membentak itu bukan hal yang bijak, jiah! ). Gemes ? Pasti. Pusing karena Si Bocah malah nangis pakai manuver-manuver ? Betul, rasanya mending ngopi-ngopi cantik sajah hehehehe. Apalagi Si Bocah berusaha nglendot sambil nangis untuk menghindar bercerita.

Tega sekali ya saya ? Ditega-tegain sebenarnya nih. Mules bin senewen mendengar Si Bocah menangis menderu-deru. Inginnya dilupakan saja, lalu segera dipeluk agar tenang. Namun karena saya ingin melatih Si Bocah jujur sejak awal maka saya pun bertahan. Ayahnya yang kebetulan ada di rumah sempat saya tanya apakah terpengaruh dengan tangisan Si Bocah, beliaunya menggeleng (meski saya tahu sekali, dia ngempet). So, the show must go on. Bertahan dengan segala rengekan dan manuver Si Bocah. Ternyata aduuuuh…jujur lebih mudah nahan keinginan beli baju atau jilbab elzatta daripada proses mendidik ini.

Hampir setengah jam, baru Si Bocah mau bercerita apa yang terjadi. Huhuhu…segera saya peluk dia. Berterima kasih atas kejujurannya. Ingat proses menghargai kejujuran dari dialog Ayah Edy di sebuah radio. Si Bocah pun terlihat lega. Meski sebentar.

Tangisan kembali pecah ketika saya memintanya untuk minta maaf kepada Yasmine karena tak sengaja membuat tangannya terjepit kursi. Bahkan dengan konsekuensi Si Bocah belum boleh bermain bersama lagi atau melihat kartun ela elo kesukaannya. Benteng pertahanan hati seorang ibu saya lipat gandakan mendapatkan serangan dengan banyak gaya dari Si Bocah. Sampai sebenarnya sudah hampir di ambang putus asa.

Termasuk ibu yang tak punya hati tidak ya ? Membiarkan anaknya menangis nangis sampai hampir dua jam meski tidak terus menerus. Ada  jedanya juga kok menangisnya. Atau saya kejam ? menyakiti anak yang belum juga tiga tahun. Atau masuk ke tataran berlebihan ?

Ah, tetapi  ini kan pilihan saya. Mendidik Si Bocah memiliki rasa menghargai orang lain. Mungkin menyakitkan dan terlihat kejam. Si Bocah tak nyaman, saya pun belajar merasakan sakit. Sebab belajar itu menyakitkan, lebih enak makan mie ayam saat hari hujan.

Dan saat mendengar Si Bocah akhirnya dengan meminta maaf kepada Yasmine, rasanya plong dan lega sekali.  Langsung saya angkat satu tangan. Yes! Segera saya ajak Si Bocah dan Yasmine ‘tos’ bersama. Cerah sekali senyum keduanya. Yasmine tampak lega, Si Bocah pun terlihat senang. Saya pun meminta maaf kepada Si Bocah atas ketidak nyamannya ini yang disambutnya dengan sebuah kata sederhana yang menyejukkan. Iya,Bunda.

Terima kasih ya, Nak. Kamu telah mengajari ibumu untuk mengenal bagaimana mendidik sebuah karakter baik itu luar biasa prosesnya. Semoga kebaikan-kebaikan yang lain semakin tumbuh dalam dirimu dan memberi warna indah di orang-orang sekelilingmu.








No comments:

Post a Comment