kreativitas perlu ditunjang perilaku yang baik |
Ah,
lama sekali blog secangkirkopi ini
terbengkalai. Kerepotan baik di sekolah maupun kemalasan yang hadir tiba-tiba
(maunya bermalas-malasan terus) saat hamil disusul melahirkan anak, membuat
blog ini sempat merasa. Ah, sayang memang namun begitulah hidup. Kadang kita
bersemangat sekali, kadang kita loyo atau
putus harapan hehehehe.
Sebuah
cara berkelit untuk langsung mengatakan kalau saya sedang malas menulis
hehehehehe.
Namun
entah mengapa, satu minggu terakhir sebelum masa cuti selesai, tiba-tiba saya ingin kembali mengisi
blog ini. Eh, bukan tiba-tiba ding…,
orang semua pasti ada awal mula dan sebab musababnya hehehehe. Ngaco ya tulisannya, maaf baru pemanasan
setelah vacuum sekian lama.
Awalnya
saya mendengar Aro, anak saya yang baru sebulan itu buang angin. Cukup keras. Dianya
sih cuek saja. Kita-kita orang dewasa yang mendengarnya alih-alih marah, malah
ketawa (ah, bayi memang lucu apapun yang dilakukan, coba andai yang buang angin orang dewasa pasti lain
ceritanya ya?).
Saya
jadi ingat perselisihan anak-anak di sekolah (kelas 1 sd) beberapa waktu yang
lalu.
Kejadiannya
saat pelajaran bahasa inggris. Kebetulan saya tidak mendampingi guru yang
mengajar karena diminta menghadap pimpinan. Usai pelajaran bahasa inggris,
iseng-iseng saya bertanya belajar apa tadi.
‘Hu
huh u…’ mendengar pertanyaan saya, tiba-tiba seorang murid laki-laki menangis
sambil memeluk saya. Jelas saya kaget. Waduh, pasti ada yang tidak beres tadi. Maklumlah,
kelas saya yang meski anak laki-lakinya hanya enam, namun seru semua. Selalu ada
cerita tentang mereka.
Usut
punya usut, ternyata murid saya yang menangis tadi buang angin di kelas lalu
diingatkan temannya kalau itu tidak sopan.
“Buang
angin kan sehat, kenapa ga boleh ?
Kalau tidak buang angin malah perutnya jadi mules, benar kan bu Erna ?” tanya
murid saya meminta dukungan sebab tidak terima dengan teguran temannya.
“Tapi
kan ga sopan! Harusnya ijin keluar,”
murid yang tadi mengingatkan masih ngotot dengan diamini oleh teman-temannya
yang lain. Murid saya yang tadi buang angin mulai mau menangis lagi. “Tapi…aku
kan tidak sengaja. Tadi saat nunduk tiba-tiba terdengar bunyi dut…”.
Saya
salut sekali dengan mereka. Anak-anak yang cerdas dengan argumen yang benar
semua di usia mereka yang masih muda. Saya membenarkan kata-kata murid saya
yang buang angin sebab memang siapa saja yang tidak bisa buang angin akan
tersiksa sekali. sakit perut dan bisa-bisa harus dibawa ke rumah sakit. Saya pun
sepakat dengan murid saya yang mengingatkan kalau buang angin sebaiknya ijin
keluar ruangan. Nah lho, lalu
bagaimana ini ?
Solusinya?
Ya digabungkan saja keduanya. Bercerita bahwa buang angin itu sehat secara
sains, dan memang manusia harus buang angin. Hanya memang ada aturannya saat
buang angin. Buang angin tidak boleh di sembarang tempat, karena akan membuat
orang lain yang mendengarnya tidak nyaman. Apalagi kalau buang anginnya bau
sebab sakit perut. Aduuh, seruangan baunya jadi tidak enak (saya praktikkan
dengan manyun dan menutup hidung sehingga murid-murid tertawa). Tidak mau kan
kalau harus mencium bau tidak enak ? (nah, ini bisa masuk pada pendidikan karakter versi saya hehehehehe)
Alhamdulillah,
penjelasan saya masuk di logika mereka. Anak-anak cerdas yang mampu berlogika
dengan baik sekali. Sebagai orang dewasa, kita hanya perlu mengarahkan saja.
Tidak ada anak yang ‘nakal’. Bila ada anak yang terlihat ‘tidak tahu aturan’
atau seenaknya sendiri, mungkin kita, orang dewasa ini yang lupa untuk
mengingatkan ketika mereka berbuat salah. Kita, orang dewasa ini mungkin yang
masih perlu untuk intropeksi diri apakah kita telah memberi contoh yang baik
kepada mereka.
oh jadi ini alasannya kenapa jarang ngeblog. hehe :D
ReplyDeleteselamat ya, ibu guru.
namanya juga anak kecil, kadang ada aja tingkah yang lucu meski sebenarnya menjengkelkan, kadang ada pertanyaan ataupun jawaban yang kadang para dewasa heran kok bisa tanya atau jawab seperti itu.
seperti tulisan-tulisan sebelumnya tugas para dewasa adalah membimbing anak dengan baik & benar, entah dengan memberi contoh, memberi perhatian, dll.
perlu kehatian-hatian juga, tanpa disadari anak kecil gampang sekali meniru tingkah, gaya bicara, bahasa sehari-hari yang digunakan para dewasa, apalagi kalau yang ditiru itu buruk, wah seperti bercermin diri sendiri yang mengerti kalau itu buruk tapi susah atau malas berubah baik karena sudah menjadi kebiasaan. jadi ini koreksi buat para dewasa juga sepertinya.