semoga ekspresi ini tetap bertahan sampai dewasa |
‘Okay, time is up. Jarum panjang sudah
berada di angka dua belas’, segera saja anak-anak pun tanpa banyak memprotes
(lagi) merapikan mainan yang digunakan ataupun buku yang dibacanya. Mereka
telah paham bila acara bebas bermain telah usai dan harus duduk di karpet untuk
aktivitas selanjutnya.
‘Wah, otomatis ya,
bu?’ komentar seorang teman guru baru yang kebetulan berada di kelas. Saya
tersenyum. ‘Pembiasaan saja, bu.’
Ya, memang apa yang
anak-anak lakukan adalah hasil dari sebuah pembiasaan. Pembiasaan yang
dilakukan terus menerus dan konsisten selama hampir 3 bulan pertama di kelas
satu.
Awalnya, bertemu
anak-anak yang baru saja selesai taman
kanak-kanak dari berbagai sekolah membuat saya mempelajari dulu karakteristik
mereka. Budaya dan kebiasaan yang dibawa oleh masing-masing individu. Baru seiring
berjalannya waktu, pelan-pelan mulai dikenalkan akan sebuah aturan main baru
yang berlaku untuk semuanya. Seperti merapikan mainan dan durasi waktu bermain.
Dulu, bila saya
mengatakan time is up pasti disambut kata huuuu…dan gerutuan di sana-sini sebab
belum puas bermain. Mereka pun meminta waktu semenit lagi (hahahahaha, entah
dari mana datangnya ide perpanjangan semenit itu sebab semenit buat mereka bisa
berarti sepuluh menit sebab belum paham akan membaca jam). Saya pun memberikan.
Saya menggunakan istilah jarum panjang dan jarum pendek. Ketika batas waktu
toleransi habis, saya pun meminta mereka segera merapikan mainan yang
digunakan. Pertamanya memang masih ada yang keberatan. Namun saya mengatakan
bahwa tadi kesepakatan sudah dilakukan bahwa jarum panjang di angka tersebut
semua mainan harus dirapikan. Jadi sekarang tidak ada toleransi lagi. Bila
memang masih ingin melanjutkan bermain, maka konsekuensinya nanti kegiatan
selanjutnya tidak bisa dilakukan alias batal.
Mengenalkan tentang
konsekuensi ini sebisa mungkin saya menggunakan bahasa yang membuat anak-anak
berpikir. Dengan nada rendah dan tanpa terselip ancaman (seperti kalau tidak
segera merapikan mainannya nanti dimarahi kepala sekolah atau pak satpam),
sebab kata-kata seperti itu hanya akan membuat anak berpikir kalau tidak ada
kepala sekolah atau satpam berarti boleh bermain sepuasnya, meskipun ada kita,
mereka tidak takut atau peduli (memangnya kepala sekolah itu simbol buat nakut-nakutin anak ? hehehehe). Nah, kalau terjadi seperti ini pasti repot kan
jadinya ? Ujung-ujungnya kita putus asa sendiri, kenapa kok kata-kata kita
tidak didengarkan oleh mereka.
Ternyata ketelatenan,
konsistensi, dan pengenalan akan konsekuensi memberi dampak luar biasa untuk
anak-anak. Mereka pun belajar menepati kesepakatan yang ada. Ketika mereka
bermain, dan kebetulan saya harus mondar-mandir
keluar kelas untuk sebuah keperluan, saat jarum panjang menunjuk pada angka
yang telah disepakati, anak-anak otomatis merapikan mainan atau buku yang
dibacanya.
Mereka cukup paham
akan tanggungjawabnya. Tanpa harus diancam atau ditakut-takuti. Anak-anak pun
belajar akan sebuah sebab akibat bila melakukan sesuatu dan semua
konsekuensinya tanpa takut atau merasa diintimidasi oleh keberadaan seseorang
(entah guru, ayah, atau orang lain). Anak-anak sebenarnya adalah individu
cerdas tanpa prasangka yang akan berkembang seiring pertambahan usianya. Maka,
sebagai para dewasa, mari kita upayakan lingkungan yang mendukung untuk
perkembangannya. Lingkungan tanpa ancaman dan ketakutan bagi mereka.
No comments:
Post a Comment