Pages

Sunday 18 November 2012

Mengajarkan Konsekuensi Tanpa Ancaman Kepada Anak

semoga ekspresi ini tetap bertahan sampai dewasa

Okay, time is up. Jarum panjang sudah berada di angka dua belas’, segera saja anak-anak pun tanpa banyak memprotes (lagi) merapikan mainan yang digunakan ataupun buku yang dibacanya. Mereka telah paham bila acara bebas bermain telah usai dan harus duduk di karpet untuk aktivitas selanjutnya.

‘Wah, otomatis ya, bu?’ komentar seorang teman guru baru yang kebetulan berada di kelas. Saya tersenyum. ‘Pembiasaan saja, bu.’

Ya, memang apa yang anak-anak lakukan adalah hasil dari sebuah pembiasaan. Pembiasaan yang dilakukan terus menerus dan konsisten selama hampir 3 bulan pertama di kelas satu.

Awalnya, bertemu anak-anak  yang baru saja selesai taman kanak-kanak dari berbagai sekolah membuat saya mempelajari dulu karakteristik mereka. Budaya dan kebiasaan yang dibawa oleh masing-masing individu. Baru seiring berjalannya waktu, pelan-pelan mulai dikenalkan akan sebuah aturan main baru yang berlaku untuk semuanya. Seperti merapikan mainan dan durasi waktu bermain.

Dulu, bila saya mengatakan time is up pasti disambut kata huuuu…dan gerutuan di sana-sini sebab belum puas bermain. Mereka pun meminta waktu semenit lagi (hahahahaha, entah dari mana datangnya ide perpanjangan semenit itu sebab semenit buat mereka bisa berarti sepuluh menit sebab belum paham akan membaca jam). Saya pun memberikan. Saya menggunakan istilah jarum panjang dan jarum pendek. Ketika batas waktu toleransi habis, saya pun meminta mereka segera merapikan mainan yang digunakan. Pertamanya memang masih ada yang keberatan. Namun saya mengatakan bahwa tadi kesepakatan sudah dilakukan bahwa jarum panjang di angka tersebut semua mainan harus dirapikan. Jadi sekarang tidak ada toleransi lagi. Bila memang masih ingin melanjutkan bermain, maka konsekuensinya nanti kegiatan selanjutnya tidak bisa dilakukan alias batal.

Mengenalkan tentang konsekuensi ini sebisa mungkin saya menggunakan bahasa yang membuat anak-anak berpikir. Dengan nada rendah dan tanpa terselip ancaman (seperti kalau tidak segera merapikan mainannya nanti dimarahi kepala sekolah atau pak satpam), sebab kata-kata seperti itu hanya akan membuat anak berpikir kalau tidak ada kepala sekolah atau satpam berarti boleh bermain sepuasnya, meskipun ada kita, mereka tidak takut atau peduli (memangnya kepala sekolah itu simbol buat nakut-nakutin anak ? hehehehe). Nah, kalau terjadi seperti ini pasti repot kan jadinya ? Ujung-ujungnya kita putus asa sendiri, kenapa kok kata-kata kita tidak didengarkan oleh mereka.

Ternyata ketelatenan, konsistensi, dan pengenalan akan konsekuensi memberi dampak luar biasa untuk anak-anak. Mereka pun belajar menepati kesepakatan yang ada. Ketika mereka bermain, dan kebetulan saya harus mondar-mandir keluar kelas untuk sebuah keperluan, saat jarum panjang menunjuk pada angka yang telah disepakati, anak-anak otomatis merapikan mainan atau buku yang dibacanya.

Mereka cukup paham akan tanggungjawabnya. Tanpa harus diancam atau ditakut-takuti. Anak-anak pun belajar akan sebuah sebab akibat bila melakukan sesuatu dan semua konsekuensinya tanpa takut atau merasa diintimidasi oleh keberadaan seseorang (entah guru, ayah, atau orang lain). Anak-anak sebenarnya adalah individu cerdas tanpa prasangka yang akan berkembang seiring pertambahan usianya. Maka, sebagai para dewasa, mari kita upayakan lingkungan yang mendukung untuk perkembangannya. Lingkungan tanpa ancaman dan ketakutan bagi mereka. 

No comments:

Post a Comment