ceria bersama teman |
Anak-anak membawa
perilaku yang telah dipelajarinya selama ini. Melihat, mempelajari, dan
kemudian meniru lingkungan sekitarnya. Terutama orang-orang di dekatnya. Dari orang
tua dan mungkin juga kakek, nenek, oom, dan tante, bahkan gurunya. Entah itu
contoh yang baik atau pun yang keliru. Semuanya diterima tanpa pandang bulu. Seperti
spon yang dengan mudah menyerap air. Contoh-contoh itulah yang kemudian
membentuk perilaku mereka sehari-hari.
Demikian pula
dengan guru-guru kecil saya. Banyaknya perilaku yang muncul di anak-anak,
pastinya memberi pengalaman tersendiri. Melihat perilaku-perilaku yang biasa
terjadi sampai yang mengejutkan. Yang standar sampai yang tidak biasa. Tidak ada
yang sama. Beragam seperti warna pelangi.
Meski semua
perilaku yang dilakukan anak-anak berbeda-beda, namun pada dasarnya kita semua
pasti ingin apa yang mereka lakukan adalah cerminan sikap yang baik bukan ? Anak
yang sehat, santun, mudah bersosialisasi dengan teman dan orang baru, ceria,
enerjik, memiliki pengendalian diri yang baik sesuai dengan usianya, dan
seterusnya. Berperilaku baik.
Namun pada
kenyataannya, apa yang kita harapkan dilakukan oleh mereka tidak mudah
diwujudkan. Bahkan untuk sebagian anak, hal tersebut bukanlah sesuatu yang
sederhana. Cukup komplek.
Bisa berperilaku
baik seperti di atas, bagi anak-anak sebenarnya adalah sebuah proses belajar
yang berkesinambungan dan berlangsung lama. Bukan instan. Dimulai ketika mereka baru dilahirkan kemudian berlanjut
pada masa kanak-kanak. Saat-saat menjalani proses belajar ini, dukungan dan
teladan sangat diperlukan oleh mereka.
Dukungan ini selain
memberi apresiasi positif akan apa yang telah mereka lakukan, juga tak
bosan-bosannya selalu mengingatkan bila anak-anak itu melakukan sesuatu yang kurang
sesuai. Diingatkan dengan lembut, tidak malah diejek atau bahkan
ditakut-takuti. Agar mereka tidak merasakan terpojok atau disalahkan. Bagaimanapun
mereka masih anak-anak yang masih perlu bimbingan.
Pernah suatu kali
saya mendapati seorang anak yang membuang sampah sembarangan. Ketika diingatkan, neneknya yang kebetulan ada di sana
langsung berkomentar. ‘Iya, Bu. Dimarahi saja dia. Sudah kebiasaan seperti itu!’
Spontan si anak diam tertunduk.
Aduh, miris
mendengarnya. Diingatkan dan dimarahi jelas memiliki efek dan arti berbeda bagi
anak-anak. Dan sedih sekali kalau guru digambarkan sosok yang menakutkan. Yang
selalu marah dan menakuti mereka.
Perlu kita ingat bersama
bahwa apa yang dilakukan anak-anak sebenarnya adalah proses dari hasil belajar
mereka terhadap lingkungannya. Yang selalu menjadikan orang-orang disekitarnya
sebagai contoh dalam berperilaku sehari-hari. Bila mereka kebetulan berperilaku
yang kurang sesuai, tanggung jawab kita bersama, para dewasa inilah yang
mengingatkannya. Mengingatkan dengan baik dan bukan hanya dengan mudah
menyalahkan dan memojokkannya.
No comments:
Post a Comment