Pages

Wednesday 11 April 2012

Savoir-vivre : Mengerti Norma, Kunci Menjadi Masyarakat Dunia

budaya cuci tangan
sebelum dan sesudah makan
“Bu Erna, kemarin aku menjenguk nenek di rumah sakit lho”, cerita seorang murid.
“Bagaimana kabar nenek?”
“Alhamdulillah sudah sehat, tapi belum boleh pulang”.
“Didoakan ya agar nenek cepat sembuh.”

Murid saya mengangguk, lalu “Bu, kemarin aku lihat 2 lift yang berbeda di rumah sakit. Yang satu ada tulisannya pengunjung dan satunya pasien. Apa sih bedanya, kan sama-sama lift ?”

“Iya, memang sama-sama lift. Tapi yang memakai beda. Kalau lift pengunjung itu untuk orang-orang sehat yang mau menjenguk, lift pasien khusus untuk yang sakit.”

“O, begitu. Boleh tidak kita gunakan lift pasien meski tidak sakit ?”


“Kenapa memangnya ?”

“Habis lift pengunjung sering penuh. Sudah gitu, lama sekali datangnya. Padahal aku sudah mencet-mencet, ga’ datang-datang. Kan aku ngantuk. Lift pasiennya kosong.”

Saya tersenyum. Kami pun lalu ngobrol. Tentang lift. Kebetulan hari masih pagi dan belum banyak anak yang datang. Temanya memang lift. Namun kemudian mengingat kembali pemahaman tentang hak dan kewajiban.

Yang sakit haknya adalah lift pasien dan yang sehat haknya adalah lift pengunjung. Sedang kewajiban keduanya adalah mematuhi aturan yang ada. Kasihan sekali yang sakit bila yang sehat masuk lift pasien. Saat yang sakit perlu pengobatan secepatnya dari dokter, karena liftnya digunakan oleh yang sehat lalu sakitnya jadi parah gimana ? Diskusi ringan dan sederhana itu ternyata dipahami murid saya.

“Pantas saja Papa kuajak masuk lift pasien tidak mau. Padahal kosong. Tapi kata papa tidak seperti itu, Bu. Nanti aku jadi sakit kalau masuk lift pasien.” Ha???

“Bagaimana kita tahu peraturannya, bu, kalau tidak ditulis ?”

Satu pertanyaan lanjutan yang membuat saya tertegun. Iyaya, peraturan itu memang tak tertulis dengan jelas seperti peraturan di kelas. Anak-anak tak bisa membacanya. Lalu bagaimana ?

Peran kita, para dewasa ini sangatlah diperlukan. Mengenalkan kepada anak-anak sejak dini akan aturan di masyarakat yang tidak tertulis itu. Menyiapkan mereka masuk menjadi bagian dari masyarakat. Dengan ngobrol sekaligus  memberi contoh kongkrit dan ketelatenan melaksanakannya adalah kuncinya. Bukan menakut-nakuti atau lebih parah lagi mengancam. Nanti kalau dilanggar akan didatangi kuntilanak contohnya, ih...seram sekali kan ? Juga kurang mendidik. Takutnya nanti ke depannya, anak-anak patuh aturan hanya karena takut saja, bukan dengan kesadaran dan pemahaman yang benar.

Anak-anak di usia dini adalah pengamat dan peniru ulung. Mereka akan meniru apa yang diajarcontohkan oleh para dewasa. Mungkin memang di awal akan ada beberapa kesulitan dan pembangkangan, namun lambat laun ketika mengerti manfaatnya, anak-anak akan mentaati aturan yang ada secara otomatis baik itu tertulis atau pun tidak.

antri ? it's okay
Sebagai contoh kebiasaan antri. Di sekolah, sejak kelas satu, anak-anak telah dikenalkan budaya antri. Termasuk antri ketika mencuci tangan. Maka di kelas dua ini, secara otomatis mereka pun antri meski kadang antriannya mengular sebab bersamaan dengan adik kelas. Namun senang sekali sebab meski panjang dan lama, mereka cukup tertib tak ada aksi serobot dan duluan.

Budaya antri, masuk lift yang sesuai, mengucapkan terimakasih, membalas salam, tenang ketika di perpustakaan, dan norma-norma kecil yang lain sepertinya remeh dan sederhana ya ? 

Namun sebenarnya penting sekali diajarcontohkan agar anak-anak kelak mampu menjadi bagian masyarakat dunia yang paham norma dan aturan. Yang terpenting lagi, mampu menjadi generasi Indonesia yang tahu akan hak orang lain dan tak main serobot saja hanya demi kenyamanan dirinya. Segala sesuatu di sekitar kita, selalu ada hak orang lain yang harus dipikirkan pula. Membanggakan membayangkan sebuah generasi bangsa bernama Indonesia yang tak hanya pandai namun juga memahami norma yang dipatuhi oleh hampir semua masyarakat dunia. Dan itu bisa dimulai dari kita, para dewasa ini memberi teladan yang baik untuk mereka.

Semoga.

No comments:

Post a Comment