Pages

Monday 23 January 2012

Belajar yang Menyenangkan, Belajar dengan Senang #2 – Bermain Melatih Kepekaan

“Dar der dor ! Nguing nguing nguing ! Perhatian ! Ada musuh di depan. Ayo kita tembak. Posisi siaga. Jangan sampai kalah ! Dor dor dor ! Argh …!”

Itulah sebagian dialog yang biasa murid laki-laki katakan ketika mereka sedang bermain di kelas.

Di sekolah, untuk murid kelas 1 dan kelas 2 memang beristirahat dan bermain di dalam kelas, tidak di luar. Saat-saat bermain dan beristirahat adalah saat-saat rawan terjadi konflik dan kecelakaan, maka guru kelas kecil harus ada di kelas untuk mengawasi. Selain juga mengarahkan ketika permainan yang dilakukan membahayakan baik untuk dirinya maupun teman yang lain sebab anak-anak di usia perkembangan ini, masih memerlukan pendampingan dalam memaknai sebuah permainan.

Saya menikmati sekali melihat saat-saat mereka bermain. Melakukan sesuatu yang disenangi bersama teman-temannya tanpa beban. Terlihat ceria dan gembira.


Meski sebenarnya, saat bermain itu pula mereka belajar. Di usia perkembangan ini, apapun yang dilakukan anak-anak adalah belajar. Kerap kali kita memaknai belajar secara sempit. Belajar itu ya duduk tenang sambil menghadap buku dan memegang pensil. Belajar itu membaca, menulis, juga berhitung. Memang tak salah persepsi tersebut hanya saja sedikit kurang tepat.

Bermain pun belajar. Memang bukan belajar calistung (membaca – menulis – berhitung), namun belajar bersosialisasi. Belajar mengasah kepekaan dan emosinya sekaligus belajar mengatasi sebuah masalah.

Seperti murid-murid kelas 2 ini. Mereka bermain polisi-polisian.  Sebagian anak menjadi polisi dan sebagian anak menjadi penjahatnya. Mereka menggunakan kotak pensil sebagai pistolnya. Berimajinasi seolah senjata betulan.

Saat  ‘baku tembak’, kotak pensil seorang anak jatuh. Ada bagian yang lepas. Segera dia berhenti dan menghampiri meja saya. Bukan untuk mengadu. Namun meminjam isolasi. Dengan tenang berusaha merekatkan kembali bagian yang patah.

Cukup sulit ternyata sebab bagian yang patah harus ditekan kuat sedangkan murid saya masih memerlukan dua tangan untuk menempelkan isolasinya. Saya amati bagaimana dia menyelesaikan masalahnya. Diam-diam memotretnya pula (iseng sekali hehehehe…)

Sebenarnya bukan tanpa tujuan saya ‘hanya mengamati’. Saya ingin tahu sejauh mana dia mampu menyelesaikan masalahnya. Saat itu bisa dikatakan sebagai proses belajar mengatasi masalah baginya. Kotak pensil yang rusak diatasinya dengan merekatkan menggunakan isolasi. Tanpa marah dan permainan pun masih berlanjut tanpanya.  Ide penyelesaian masalah yang  bagus bukan ?

Saat melihat dia dalam kesulitan, saya hampir saja menawarkan bantuan. Namun seorang teman yang melihatnya sibuk di meja saya, berhenti bermain dan menghampiri. Menanyakan kesulitannya dan kemudian membantu.

Hm…menyenangkan melihat kerjasama mereka mengatasi masalah. Terasa ada empati persahatan. Membantu dan dibantu. Dikerjakan berdua, akhirnya bagian kotak pensil yang patah bersatu kembali. Hore! Alhamdulillah. Mereka pun bermain kembali setelah tak lupa mengucapkan terima kasih kepada saya atas pinjaman isolasinya.
menemukan
masalah dan solusinya

datang bantuan
Alhamdulillah,
teratasi dengan bekerja sama




1 comment:

  1. That's very nice comment. Tengkyu :-) I just tell my stories with my students.

    ReplyDelete