Pages

Friday 7 October 2011

Tidak Ada Manusia Yang Sempurna, Nak

ceria bersama teman
Pagi tadi di sekolah ada kejadian yang cukup beralasan untuk saya mengadakan diskusi panjang dengan murid-murid. Terjadi ketika menunggu ikrar dan bel belum berbunyi. Murid-murid saya seperti biasa akan bermain kejar-kejaran di lapangan indoor. Aktivitas menyenangkan sekaligus rawan akan perselisihan.


Memang akhir ceritanya benar begitu. Berselisih. Perselisihan itu terjadi disebabkan salah seorang anak (versi murid saya). Mulanya ia yang tidak ikut permainan sebab malas kalah di acara hom pim pah dan menjadi si pengejar. Dia hanya melihat saja.

Namun melihat bagaimana serunya yang lain, murid saya akhirnya ingin juga bergabung. Namun dia menentukan sendiri perannya dalam permainan. Jelas peran yang dia sukai. Teman-temannya protes sebab aturan bermainnya tak seperti itu. Murid yang berinisiatif tidak terima. Perselisihan tak terelakkan. Berdebat dan akhirnya terjadi ’sedikit kekerasan’. Saling dorong antarteman sampai keluar ucapan tak mau bermain lagi dengannya.

Ketika saya tanya mengapa ada keberatan berteman dengannya, begitu banyak alasan yang diungkapkan. Mulai dari kalau bermain menang sendiri, hanya mau menjadi yang disukai saja, bicaranya tak jelas, suka marah dan sederet lagi. Saya pun menanyakan kebenarannya kepada yang bersangkutan dan dijawab dengan anggukkan kepala dan beberapa hal yang kurang pas.

Sebagai mediator, saya mencoba berdiri di tengah-tengah. Saya memberi pengertian kepada murid yang sedang ’dikeroyok’ teman-temannya bahwa bermain pun ada aturannya. Namun saya pun tidak membenarkan aksi fisik ’mendorong teman’ yang dilakukan sebagian murid lain. Sebab apapun bentuk kekerasan atau bermain fisik adalah keliru. Semua hal bisa diselesaikan baik-baik.

Seorang anak mengangkat tangan dan mengatakan kalau tetap enggan berteman sebab cara bicaranya yang tak jelas dari murid saya itu. Kebetulan memang dia mengalami kesulitan dalam mengartikulasi kata sehingga kerap kata yang diucapkan hanya yang pokok saja (cth ; kapan saya diijinkan membantu bu guru, diucapkan bantu dengan ekspresi bertanya).

Saya pun menjelaskan bahwa sebagai ciptaan Tuhan, kita pasti memiliki kekurangan. Saya contohkan diri sendiri (sebab anak-anak biasanya senang ketika tahu gurunya ternyata juga memiliki kekurangan juga hehehehe). Saya tidak bisa menari dan berlari cepat namun bisa menulis tegak bersambung cukup rapi. Saya kemudian memberi contoh dengan menyebut nama beberapa anak dengan kekurangan sekaligus kelebihannya. Anak yang disebut tertawa dan banyak yang bilang, iya kok bu erna tahu ya. Saya pun menjelaskan bahwa teman yang kesulitan dalam artikulasi namun pandai sekali bermain komputer. Suasana kembali cair. Diskusi 20 menit yang ditutup dengan saling memaafkan antarteman. Saya pun ikut minta maaf.

Diskusi dengan murid-murid baru saja itu membawa saya kepada kesadaran akan pentingnya sebuah pengakuan dan penerimaan. Memahamkan kepada anak-anak bahwa tak ada yang sempurna di dunia ini penting untuk mereka pun mampu menerima orang lain di sekitarnya dan terutama untuk dirinya sendiri. Agar tidak menghukum diri sendiri atau orang lain secara berlebihan ketika suatu saat menghadapi hal-hal yang tak menyenangkan seperti kegagalan misalnya.

No comments:

Post a Comment