Pages

Sunday 23 October 2011

Mengenalkan Konsekuensi Pada Anak

berbicara dan mendengar
bored-to-death.com

Hari masih pagi. Belum banyak teman guru yang datang. Baru saja saya mau naik tangga menuju lantai tiga, beberapa murid menghampiri dengan hebohnya.”Bu Erna, Bu Erna, ada yang merusakkan sekop sampah sampai pecah!” lapor mereka. Murid lain menambahkan keterangan sebab-sebabnya.

Saya menghela nafas. Masih pagi, batin saya menenangkan diri. Menanggapi kehebohan anak-anak ini, saya hanya mengangguk dan melanjutkan naik ke lantai tiga. Kelas saya. Murid yang diceritakan tidak ada di kelas.


Pukul tujuh tepat bel berbunyi dan ikrar segera dimulai. Saya tidak turun. Kebetulan saat semua anak telah turun ke lapangan, murid yang telah merusakkan sekop sampah masuk ke kelas mengambil peci yang tertinggal.

Tidak menyia-nyiakan kesempatan, saya ajak bicara. Murid saya ini adalah tipe anak yang cerdas kata dan kreatif. Dalam keseharian, dia populer di antara teman lain karena tingkah lakunya yang kerap mengundang tawa dan ceritanya yang beraneka ragam. Dia juga memiliki harga diri tinggi. Tidak suka dibuka kekurangannya di depan yang lain.

Kelas sepi. Hanya ada saya dan dia, membuatnya mampu menceritakan runtutan peristiwa yang terjadi tadi. Awalnya memang sempat diam tak bereaksi ketika saya tanya. Namun saya mengatakan bahwa saat inilah kesempatannya bercerita tanpa didengar teman-teman. Dia tidak perlu malu sebab hanya ada saya, gurunya. Kata-kata saya manjur.

Setelah mendengar cerita berdasarkan versinya, saya pun mengangguk. Saya ajak dia berbicara tentang sebuah konsekuensi dalam setiap perbuatan. Saya mencontohkan tentang ketekunan menghitung akan membawa konsekuensi dia bisa berhitung dengan benar. Kegemaran mengejek teman akan membawa konsekuensi dijauhi teman dan hal-hal yang akrab terjadi di sekitarnya.

Demikian juga akan sikapnya yang telah merusakkan barang akan membawa konsekuensi. Barang itu harus diperbaiki atau akan tidak bisa digunakan lagi. Bila yang dirusakkan adalah barang orang lain, sikap apa yang harus diambil dan seterusnya. Konsekuensi lainnya adalah dia tak bisa ikrar bersama teman-teman sebab harus berbicara dengan saya.

 Untunglah, diskusi dengannya cukup mudah. Saya memakai teknik persuasif dan berusaha tak menuduh. Gaya bicara pelan yang saya gunakan tidak membuatnya tersudut meskipun tahu kalau salah. Ketika dia berjanji bisa menjaga sikapnya, saya pun mengangguk. Cukup untuk kali ini. ’Bu Erna percaya kepadamu. Bu Erna tahu kamu anak hebat jadi bisa lebih hebat bila bersikap lebih sabar lagi’, kata saya sambil menepuk pundaknya. Ia mengangguk.

Tak lama semua anak datang ke kelas dan bertanya mengapa temannya dan saya tak ikut ikrar. Ketika saya jawab bila ada sesuatu yang harus dibicarakan, mereka mengangguk saja dan langsung berdoa memulai aktivitas belajar.

Saya lihat sepanjang hari itu, murid saya tadi cukup terjaga sikapnya. Saya tidak memberi sanksi atau hukuman apapun. Saya hanya menjelaskan tentang adanya konsekuensi dalam setiap perbuatan. Ketika waktu pulang, saya ucapkan terima kasih kepada semua anak yang telah bersemangat dan rukun selama belajar di sekolah.

Memang selalu ada konsekuensi namun tetap harus ada penghargaan atas hal-hal positif yang telah mereka lakukan bukan ? Sebab mendidik anak-anak adalah menyediakan banyak kesempatan untuk mereka. Kesempatan belajar dan mengenal apapun. Salah satunya adalah mengenal konsekuensi.


No comments:

Post a Comment