Pages

Saturday 10 September 2011

Kita Semua Bisa Mendongeng

“Mendongeng ? Ah, saya tak bisa. Bagaimana kalau yang lain ? Saya membantu apa saja bisa kok ? Mengemas makanan kecil dan hadiah misalnya”. Begitulah saya kerap berkilah untuk ‘selamat’ dari tugas satu itu. Beruntung selalu ada kawan yang dengan senang hati melakukannya.  Mendongeng. Bercerita untuk anak-anak korban gempa Jogja ketika itu.

Sebenarnya saya menolak tugas mendongeng bukan karena tak suka. Lebih kepada tidak percaya diri. Gugup dan takut. Seumur-umur saya belum pernah mendongeng. Jangankan mendongeng. Berbicara di depan orang banyak saja sangat jarang sebab kalau ada pilihan untuk bekerja di belakang layar, dengan gesit akan saya ambil bagian itu. Kerja apapun tak masalah yang penting tidak bicara di depan orang banyak.


Namun pagi itu, ketika telah menjadi guru di kelas kecil, dewi keberuntungan saya yang melindungi dari tugas mendongeng hilang. Saya harus mendongeng. Tak ada pilihan lain. Mau minta tolong pun kepada siapa? Tidak ada.  Sebab itu termasuk tugas saya. Teman guru yang menjadi partner saya (satu kelas ada dua guru di sekolah) hanya tersenyum dan mengatakan ‘bisa’.

Yeah…harus bisa! Bagaimanapun kan saya guru, masak ndak mampu hehehehe. Setelah berulang kali mengambil nafas panjang dan degup jantung cukup stabil gerakannya, saya pun memulai. Bukan mendongeng. Tapi membacakan buku cerita untuk anak-anak kelas 1.
Saya coba lepas dan menyamankan diri saat membaca. Menggunakan gaya bicara berbeda-beda untuk setiap tokohnya. Menunjukkan raut muka yang sesuai meski (mungkin) terlihat konyol. Terserahlah. Sehancur apapun cara saya membacakan cerita, semua toh akan berlalu. The show must go on.
georgiepocheptsov.ca

Di tengah membaca, saya sempat terdiam dan tertegun. Suasana begitu tenang. Raut-raut mungil di depan saya terlihat melongo dan tampak tekun mendengarkan. Wah…saya menjadi lebih percaya diri.  Saya lanjutkan membaca cerita. Hasilnya ? Ketika cerita selesai, anak-anak terlihat begitu senangnya. Saya pun bernafas lega. Bahagia juga melihat reaksi mereka. Ah… terimakasih anak-anakku.

Ternyata kegiatan yang selama ini saya hindari tidaklah semenakutkan perkiraan. Kadang pikiran takutlah yang sebenarnya membuat kita merasa tak bisa dan bukan kegiatannya. Bila dilakukan ternyata semua akan lebih mudah dan baik-baik saja. Selain itu apresiasi Aterhadap apa yang kita lakukan pun menjadi satu faktor penguatnya.  Pada kasus saya tadi adalah reaksi positif dari anak-anak yang mampu menumbuhkan kepercayaan diri pada saya untuk membaca cerita.

Sekarang ini, mendongeng atau membacakan cerita adalah kegiatan menyenangkan  yang saya lakukan bersama anak-anak secara rutin.

Jadi, bila diminta oleh anak-anak untuk mendongeng atau membacakan cerita, sebaiknya kita melakukannya kalau memang kondisi mengijinkan. Tak perlu berkilah sibuk atau tak punya waktu atau juga sedang mengerjakan hal yang lain sebab ingin menghindar dari kegiatan ini karena merasa tak mampu seperti kasus saya tadi.

Kita semua bisa mendongeng kok, dan bagaimana pun gaya kita mendongeng, bila memang dilakukan dengan sepenuh hati, anak-anak pasti menyukainya. Tak ada kata jelek, tak menarik di kamus anak-anak, para pengemban ingin tahu itu. Jadi, mari mendongeng.





2 comments:

  1. apa judul dongeng pertamamu di kelas yang g pengen kau ambil sebenarnya itu?

    ReplyDelete
  2. bus merah, buku yang kutemukan di grebeg buku jogja, penerbitnya read. Anak-anak suka membacanya sampai sekarang sampai bukunya kucel :-)

    ReplyDelete