Pages

Thursday 4 August 2011

Puasa Melatih Kita Jujur ?

Siang tadi bersama murid-murid, saya berdiskusi tentang ibadah puasa. Ada sebuah cerita singkat yang saya berikan untuk memulai diskusi ini. Bercerita tentang Si Fulan yang pura-pura puasa. Ia mengaku berpuasa dan selalu terlihat lemas sepanjang hari kepada semua orang yang ditemui. Namun ketika tidak ada siapa-siapa, ia makan dan minum sepuasnya. 
freespirit.com

Diskusi saya mulai dengan mengkritisi sikap Si Fulan ini. Cukup banyak pendapat muncul dari murid-murid. Seperti Si Fulan tidak jujur, Si Fulan berdosa karena bohong, Si Fulan tidak kuat puasa, Si Fulan begini, Si Fulan begitu.


Ketika saya bertanya terpujikah sifat Si Fulan, serentak semua anak mengatakan tidak. Kalau memang tidak kuat puasa, bisa berbuka saat pukul 12, kata seorang murid. Atau jam sepuluh juga boleh, sambung yang lain. Saya tersenyum senang mendengar pendapat-pendapat polos sederhana namun mengena ini.

Saya kemudian menjelaskan lebih dalam tentang puasa. Memang pada dasarnya, berpuasa itu melatih kita untuk jujur. Sebab yang tahu kita berpuasa atau tidak hanya kita sendiri dan Allah tentunya. Orang lain tidak akan tahu kalau kita diam-diam minum sebab haus. Namun Allah tahu. Allah meski tidak terlihat namun bisa melihat semua yang kita lakukan. Berpuasa itu adalah ibadah yang mengajarkan kita untuk jujur sebab Allah sayang kepada orang-orang yang jujur.

Murid-murid saya demikian takzim mendengarkan. Terharu rasanya. Di keseharian, mereka pun merupakan anak-anak yang selalu jujur bahkan untuk aktivitas yang kadang kurang sesuai dengan aturan.

Kerap kita, para dewasa entah kapan kehilangan kejujuran yang kita pegang semasa anak-anak. Mungkin karena lingkungan dan mungkin juga karena dampak pergaulan ? Mungkin saat masih berjuang di sekolah baik untuk lulus atau menjadi sarjana srata satu, kejujuran dan idealisme kita masih terjaga.

Di masa-masa itu, mungkin kita adalah salah satu dari aktivis gerakan mahasiswa yang cukup idealis. Memperjuangkan segala hal dengan jujur. Sama jujurnya dengan murid-murid saya diatas. Namun entah mengapa, setelah mendapatkan gelar srata satu, kita kerap meremehkan kejujuran tersebut. Idealisme yang selama ini kita pegang  menguap entah kemana.

Sedih rasanya mendapati sebuah cerita tentang usaha seseorang yang notabene civitas akademika dalam menyelesaikan pendidikan masternya. Untuk sekedar dianggap tahu tentang suatu hal dan tidak tercerabut dari akarnya, dia rela mengeluarkan sekian juta rupiah. Alih-alih bila uang itu untuk beaya penelitian, uang itu adalah untuk membayar orang lain yang mampu menggunakan tangannya untuk mengetik dan otaknya untuk berfikir dalam menyusun proyek penelitiannya.

Lalu dimana kejujuran yang ditanamkan saat kecil dulu ? Mungkin naif pertanyaan saya ini sebab banyak diantara kita yang menganggap cerita ’tesis jahitan’ sudah bukan rahasia lagi di kalangan sarjana negeri ini sekarang. Namun bila ’hal kecil’ seperti berlaku jujur saja tidak bisa kita lakukan, bagaimana kita yakin bisa melakukan hal yang besar ? Padahal setiap tahun selama 30 hari, kita latihan jujur di bulan ramadhan ini.





No comments:

Post a Comment