Pages

Wednesday 3 August 2011

Menyusur Jogja (kembali)

Sebuah tag foto teman tentang sebuah kaos yang Jogja sekali saya lihat hari ini di jejaring sosial. Banyak ekspresi mengungkapkan akan kota ini dalam kata-kata sederhana namun mengena sekali. Contohnya adalah ; Sumpah, kangen Jogja !

Ah, memang sebuah kota unik yang banyak tersimpan dalam kenangan banyak orang yang pernah mengakrabinya. Termasuk saya. Ada banyak tempat, ada banyak suasana, ada banyak perilaku yang kita hanya dapati di kota ini. Tidak ada pembukaan cabang di tempat lain.


Satu tempat yang sering saya datangi dulu adalah sebuah warung gudeg  di depan pom bensin Soropadan. (entahlah apakah bisa dikatakan warung, sebab hanya satu meja untuk tempat aneka makanan dan beberapa tikar untuk pelanggan makan).

Tempat yang ala kadarnya dan tidak terlalu hiegenis sebab ada di pinggir jalan yang lumayan ramai. Namun jangan ditanya bagaimana mantap gudeg dan suasananya. Ngangeni banget. Juga tak perlu takut sakit perut. Aman.

Kemarin saya kesana lagi. Hari minggu. Masih sama seperti empat tahun lalu. Berjubel yang membeli. Meski tidak memakai acara baris berbaris untuk mengatri, namun pembeli cukup paham dengan aturan siapa yang datang duluan, maka dia yang terlayani. Meski harus mengantri berdiri selama 15 menit, saya rela dan senang-senang saja.

Saya suka dengan suasana di tempat gudeg ini. Meski tempat makannya yang hanya di atas trotoar dialasi tikar dan kerap tidak cukup menampung pelanggan juga ’hanya’ ada air putih gratis sebagai minumannya (namun sekarang ada teh manis yang dijual), juga kepercayaan ibu penjual dengan pembelinya yang tidak saya temui di kota lain.

Para pembeli yang makan di tempat, dibebaskan mengambil sendiri nasi yang ada. Banyak sedikitnya terserah pembeli. Si ibu penjual hanya akan memberikan lauk gudeg atau gudangan (semacam urap) sesuai permintaan. Lalu mereka memakannya dulu. Setelah makan baru membayar. Menyebutkan apa saja yang telah dimakan. Si ibu penjual seakan tidak takut akan dibohongi pembelinya. Apa tidak takut rugi, bu ? Rejeki ada yang mengatur, mbak, demikian kata si ibu kepada saya dulu. Seorang teman ada yang menulis kepercayaan seperti ini untuk skripsinya dengan memakai teori Fukuyama. Memang selalu ada yang ’nakal’ namun lebih banyak pembeli yang terkesan dan jujur akan kepercayaan dari penjualnya.

Satu tempat favorit yang masih ada sampai sekarang. Masih sama semuanya baik suasana, rasa, dan aromanya. Menyenangkan.
aneka perlengkapan gudeg




kerumunan pembeli

ambil sendiri nasinya

gudeg ngangeni


2 comments:

  1. hmm...tempat jual gudeg itu sekitar jl. gejayan (affandi) dekat grosir batik y? dkt pom bensin yg lg drenovasi y? sayangnya aku belum pernah nyoba, cuma numpang lewat. :D

    ReplyDelete
  2. Iya Q. Kalau lewat sana boleh deh mencoba. Namun sebisa mungkin jangan hari minggu karena terakhir ke sana, mengantrinya sampai sejam lebih, bisa pegal kaki kita hehehehehe.

    ReplyDelete