Pages

Sunday 17 July 2011

Menjadi Masyarakat Berbudaya

http://mamzelleb.over-blog.com
Ketika masih menjadi mahasiswa dulu, saya suka sekali dengan mata kuliah civilisation français yang diampu oleh Mme. Alice. Ada satu sesi kita harus mempelajari sopan-santun dalam masyarakat (savoir-vivre). Saya ingat di LIP Jogja, ada banyak buku yang mengulas tentang sopan-santun ini dari penerbit yang berbeda-beda. Mulai dari edisi anak-anak (français facile) sampai edisi dewasa yang kerap memerlukan kamus terjemahan untuk memahaminya.  


Dulu, saya heran mengapa orang Prancis cukup detail dalam mengulas tentang sopan-santun ini. Di negerinya Napoleon, sopan-santun dikenalkan sejak dini pada anak-anak. Ternyata di sini bertujuan untuk mengenalkan sekaligus membiasakan anak-anak mengenal sopan-santun di masyarakat di manapun mereka berada.  Sikap-sikap yang seperti apa yang harus dilakukan bila berada di lingkungan dengan warna berbeda-beda. Sebab bagaimanapun, cerminan seorang itu berbudaya atau tidak sering terlihat pada perilaku kecil yang dilakukannya ketika di tempat umum.

Berbeda dengan di sini. Orang Indonesia sangat bangga dengan slogan sebagai masyarakat yang ramah dan memiliki sopan-santun tinggi. Namun kerap kita dapati adalah sebatas slogan dan bersifat semu.

Bagaimana kita kerap melihat pada acara jamuan makan orang-orang yang menggunakan aji mumpung. Mumpung banyak makanan, maka tidak segan mengambil sebanyak-banyaknya makanan di meja. Membawa piring tidak cukup satu atau dua, malah kadang ada yang bertumpuk tiga sampai empat layaknya pelayan rumah makan padang. Atau juga mengambil menu makanan dicampur menjadi satu pada satu piring padahal tidak sesuai.

Keengganan mengambil satu makanan dan memakannya dulu sangat jelas terlihat. Alasan malas untuk bolak-balik bila hanya mengambil satu makanan saja sebab jarak meja jamuan yang cukup jauh sering digunakan. Atau juga menggunakan istilah efisiensi. Ah, efisiensi.

Mungkin bila masih di lingkungan teman-teman dan kerabat yang kita mengenalnya, hal tersebut tidak terlalu merisaukan. Namun bila ada dalam lingkungan yang heterogen dengan banyak ragam warna, golongan, dan perilaku orang yang tidak semua kita kenal, banyak orang akan memandang aneh. Kita dengan tumpukan piring berisi makanan akan menjadi seorang alien di mata mereka. Dipandang aneh dan kurang mengerti sopan – santun dalam jamuan.

Mengenal dan bersikap sopan di sini berbeda dengan jaim  atau jaga gengsi. Lebih kepada menghargai diri sendiri dan membuat nyaman orang-orang di sekitar kita. Bagaimana pun, sebagai masyarakat berbudaya seyogyanyalah kita pun belajar akan sopan-santun ini. Bagaimana pun, kita dikenal bukan karena slogan semata, namun apa yang kita lakukan pada kehidupan nyata.



No comments:

Post a Comment