Pages

Saturday 2 July 2011

Empan Papan

Empat tahun yang lalu saat pertama kali bekerja di Surabaya, saya sempat mengalami gagap budaya. Perbedaan budaya antara tempat lama dan tempat baru saya cukup mencolok. Maklum, saya yang akrab dengan aroma Jogja harus berhadapan dengan aroma Surabaya. Proses adaptasi lingkungan pun saya lalui.
historinasafitri.wordpress.com
Pada awalnya, memang terjadi beberapa benturan budaya. Contoh saja kebiasaan memanggil teman. Dulu ketika di Jogja, panggilan jeng biasa kami pakai antar-teman. Kebiasaan itu terbawa ke Surabaya. Apa yang terjadi ? Banyak teman memprotes panggilan itu sebab berasa sudah tante-tante saja dipanggil jeng. Saya pun belajar menyesuaikan meski kerap masih juga lolos ucapan jeng ini. Lalu kata bali untuk pulang dalam bahasa jawa (terutama Jogja dan Jateng). Di Surabaya, bali adalah sejenis nama menu makanan. Ketika saya mengatakan ; ‘aku bali dhisik’ maka oleh semua teman dengan nada menggoda akan menjawab aku mau gule Na, bukan bali. Hahahaha...

Perbedaan tersebut bukan saja terbatas pada bahasa namun juga perilaku. Saya pun harus membiasakan dan menyesuaikan diri dengan kebiasaan yang ada. Pepatah lama memang benarlah adanya. Di mana bumi di pijak, di situlah langit dijunjung. Sebab bagaimana pun lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya. Lain lingkungan lain pula budayanya. Bila kita memaksakan diri memakai kebiasaan di lingkungan lama saat berada di lingkungan baru, bisa ditebak yang terjadi adalah friksi sosial dengan orang-orang di sekitar. 

Saya teringat seorang teman yang menggunakan bahasa medok jawa namun agak berlebihan. Gaya berbicaranya agak diseret dengan sedikit sentuhan hiperbolis. Bila mendengarnya berbicara, saya teringat satu tokoh pewayangan Lesmana. Lesmana yang hiperbolis.

Banyak teman mengkritisinya sebab merasa kurang nyaman berbicara dengan gaya bahasa yang tak lazim. Saya sendiri yang akrab dengan bahasa jawa 'agak halus' dari versi Surabaya pun sedikit mengeryitkan kening. Aneh. Entah mengapa dia suka menggunakan bahasa medok jawa aneh tersebut. Padahal sebenarnya dia adalah orang yang lahir, besar, dan hidup di Surabaya. Berbicara pakai cara Surabaya pasti bisa. Namun mengapa memilih bahasa jawa versi seperti itu.

Mungkinkah dia ingin berbeda ? Sah-sah saja menjadi berbeda namun perlu pula diingat akan sebuah harmonisasi dalam bermasyarakat. Bila berbeda untuk sesuatu yang sebenarnya tidaklah prinsip dan bisa dikompromikan, perlulah kita pun berpikir ulang.

Empan papan. Tahu menempatkan diri. Tidak hanya karena ingin berbeda dan terlihat lalu bisa seenaknya saja bersikap. Ada kalanya kita pun perlu untuk "tidak terlihat" agar sebuah harmonisasi kehidupan tercipta.   


2 comments:

  1. Empan papan is the right place, but how learn for our son, thank

    ReplyDelete
  2. Mengajari anak bagaimana bersikap empan papan adalah dengan memberinya contoh dan membiasakan di rumah. Misal cara mengambil makanan di meja harus satu persatu, tidak semua diambil.Ortu memberi contoh dan tiada bosan mengingatkan ketika di rumah.Anak akan terbiasa mengambil makanan satu persatu bahkan saat bertamu.Hal ini harus konsisten.Bila anak waktu belajar, ortu juga tidak menyalakan televisi namun mendampingi belajar.Semoga bermanfaat.Yang penting sabar dan konsisten :-)

    ReplyDelete