Pages

Wednesday 15 June 2011

Suara Rakyat Suara Tuhan

Vox Populi vox dei. Dulu ungkapan ini sering saya dengar ketika masa-masa menjadi mahasiswa. Bahkan dengan mudah saya lihat pada stiker yang tertempel di sepeda motor para aktivis pergerakan. Kelihatan gagah, hidup rakjat, dan mbois.

Ungkapan ini pertama kali muncul adalah sebagai reaksi akan kezaliman Raja Prancis, Louis XIV yang mengatakan negara adalah saya (hukum adalah saya). L’état c’est moi. Semua hukum yang keluar dari dirinya ditasbihkan sebagai perwujudan hukum Tuhan pada saat itu sehingga menimbulkan gejolak sosial.
anime-cartoon-wallpapers.blogspot.com

Di negeri ini, ungkapan itu pun sering muncul terutama menjelang pemilhan umum. Suara rakyat adalah suara Tuhan. Di setiap aspirasi yang dilontarkan oleh masyarakat banyak dianggap sebagai representasi dari kebenaran dari Tuhan.  Sehingga kerap pada saat-saat suara Tuhan diperlukan maka saat itu pula rakyat dielu dan disayang-sayang.

Namun benarkah seperti itu ? Bahwa suara rakyat adalah suara Tuhan juga ? Rakyat yang mana ?


Sebab begitu banyak rakyat dengan banyak pula kepentingan. Lalu bila di kemudian hari penilaian rakyat banyak itu ternyata salah, apakah Tuhan juga ikut menanggung kesalahannya ?

Baru-baru ini, seorang ibu dihujat bahkan diusir ramai-ramai dari desanya oleh penduduk sekampungnya. Dia dianggap membuat masalah dengan melaporkan akan adanya identifikasi pelanggaran pada pelaksanaan UNAS di sekolah anaknya. Tekanan, intimidasi, bahkan ancaman muncul dari masyarakat banyak  membuat si ibu ketakutan.

Apakah ibu itu bersalah ? Bila menelan bulat-bulat definisi vox populi vox dei, dapat dikatakan bahwa kebenaran ada di tangan masyarakat banyak. Si Ibu bersalah.

Namun sebagai manusia yang berakal, sebaiknya kita pun mampu menganalisa keadaan sebenarnya. Tidak selalu bahwa yang banyak yang menang. Tidak selalu yang banyak yang benar. Mungkin suara yang banyak memang mengandung kebenarannya dan itu pun boleh-boleh saja asal memang tidak ada tendensi yang ikut di dalamnya.

Hal ini pun sebenarnya berlaku pula pada sebuah penilaian akan sesuatu. Kerap kali kita mengunakan penilaian yang dianut oleh suara terbanyak (voting) dengan asumsi sama, suara terbanyak adalah yang lebih berhak mengandung kebenaran dibanding suara sedikit.

Padahal kita tahu bagaimana sangat subyektifnya sebuah penilaian. Kadang masyarakat pun asal memilih tanpa tahu bagaimana dan siapa yang dipilihnya. Asal suka dan cocok juga menguntungkan maka itulah yang dipilih. Sangat relatif. Masalah benar atau tidak adalah urusan kesekian. Sehingga yang terjadi kemudian adalah kesalahan bersama-sama (massal).

Banyak contoh yang bisa kita jadikan cermin bersama bahwa suara terbanyak belum tentu menjadi yang terbaik. Kita lihat bagaimana ilmuwan Galileo Galilei yang dihukum gereja karena menganut paham Copernicus  yang mengatakan bumi yang mengelilingi matahari dan bukan sebaliknya. Galileo Galilei benar namun dia tidak di barisan yang banyak. Maka yang benar itupun menjadi ’salah’.

Apakah seperti itu ? Bahwa suara rakyat adalah suara Tuhan ? Lalu bagaimana dengan mereka yg sedikit jumlahnya dan jarang memiliki kemampuan untuk bersuara?

Mari kita renungkan bersama-sama. Tidak selalu yang banyak disetujui itu yang benar, dan yang disuarakan sendiri itu yang salah.



No comments:

Post a Comment