Pages

Sunday 12 June 2011

Otarki

Dilahirkan di sebuah desa dengan orang tua yang berjiwa penanam memberikan pengalaman tersendiri bagi saya. Pekarangan di sekitar rumah yang cukup longgar, dimanfaatkan orang tua saya dengan menanam banyak pepohonan. Bukan bunga. Pohon.
panen sawi hasil kebun sendiri

Ayah lebih menyukai menanam sesuatu yang menghasilkan dan bukan sekedar untuk pameran. Ada cukup banyak jenis pohon di pekarangan. Ayah mengajari kami, anak-anaknya, bila menginginkan sesuatu haruslah menanam dulu. Tidak selalu harus membeli. Segala sesuatu yang bisa kita tanam, mengapa tidak kita menanamnya? Bukti kongkret seseorang berjiwa penanam.


Ayah saya sangat suka buah mangga, karena itulah pohon jenis ini yang mendominasi halaman rumah meskipun ada jenis pohon yang lain seperti pohon rambutan, pohon jambu, pohon kelapa, pohon pepaya, pohon sirsak, pohon bunga kenanga, pohon belimbing, pohon nangka, pohon kedondong, dan beberapa pohon lagi. Sangat desa ya ?

Ya, aroma eksotis pedesaan cukup kental. Halaman teduh dengan aneka macam buah-buahan.   Pas dengan gambaran rumah nenek di buku-buku cerita.  Teman-teman sekolah saya dulu sangat senang ke rumah kalau musim buah sebab bisa rujakan sepuasnya. Lengkap sampai ke cabai-cabainya yang bisa langsung dipetik dari pohonnya. Pada musim mangga, saya sangat senang bila mendengar bunyi mangga jatuh pada malam hari. Saya suka menghitungnya diam-diam sambil membayangkan besok pasti pesta mangga hehehehe.

Ibu pun sering memanfaatkan buah pepaya muda dibuat oseng-oseng untuk sarapan para pekerja di sawah. Ibu hanya mengatakan untuk lebih menghemat daripada harus membeli sarapan ke warung. Memang dihitung-hitung perbedaan jumlah uang yang dikeluarkan cukup besar antara memasak sendiri di rumah dengan membeli di warung.

Pernah saya dapati, tiga pohon pepaya yang semula berbuah lebat, hanya tinggal batangnya saja yang menjulang dengan daun-daun payungnya. Buah-buahnya sudah habis dioseng-oseng untuk sarapan para pekerja di sawah.

Orang tua yang hebat dimata saya. Mereka berdua sebenarnya pegawai negeri sipil. Guru. Namun jiwa penanam di diri mereka membuat mereka tidak terjebak ’hanya sebagai pegawai dan pemakai’ saja. Mereka pun mencoba menghasilkan dan mengusahakan.

Ketika di sekolah menengah atas untuk kali pertama saya membaca Mangan Ora Mangan Kumpul karya Umar Kayam. Di sana saya tahu tokoh Prof. Prasodjo yang asli mBantul dan sudah keliling dunia kemana-mana namun tetap saja prasojo (sederhana).

Tokoh Prof. Prasodjo ini mengenalkan satu kegiatan yang hampir mirip apa yang dilakukan orang tua saja. Menanam. Memasak dengan tumbuhan yang ditanam sendiri di pekarangan rumah. Saat itu Bu Prasodjo memasak dengan menu kangkung. Semua kangkung. Sayur asem, oseng, urap, sayur bumbu pecel. Kangkung hasil kebun sendiri. Prof. Prasodjo mengatakan sebuah kata untuk akitivitas ini ; OTARKI.

Otarki, usaha menanam pekarangan rumah dengan tanaman yang produktif. Kegiatan ini awalnya muncul di Jepang. Keterbatasan lahan membuat orang-orang Jepang mencoba menanam tumbuhan di pekarangan meskipun sempit. Mereka juga menanam menggunakan media pot untuk lebih memaksimalkan tempat. Mencoba memenuhi kebutuhan akan sayuran dengan menanamnya di pekarangan.

Pembiasaan positif ini menarik bila bisa kita contoh di sini. Negeri yang (katanya) terkenal dengan kesuburannya. Di sekolah, aktivitas ini juga bisa dimasukkan dalam aktiviatas berkebun. Menanam sawi misalnya. Saat panen, bisa dimasak bersama. Melalui program memasak di sekolah, menunjukkan rasa puas akan apa yang telah ditanam. Pasti seru dan mampu membuka wawasan generasi muda bahwa perilaku produktif itu lebih baik dari perilaku konsumtif. Bisa pula membuka pengetahuan akan cinta bumi.  Bagaimana ?


No comments:

Post a Comment