Pages

Friday 3 June 2011

Materialisme

guruagungsuper.webnode.com

Di sebuah surat kabar nasional hari ini saya membaca seorang remaja di Cina menjual ginjalnya demi untuk bisa memiliki iPad2. Ginjalnya dihargai 26 juta rupiah. Dia harus menjalani perawatan di rumah sakit selama tiga hari untuk proses ini.

Cukup  miris membacanya. Menjual organ dalam. Dulu, sebuah buku berjudul Negeri Bahagia membuka wawasan saya tentang aktivitas ini. Namun perbedaannya, organ tersebut dijual saat orangnya masih hidup dan diambil ketika orangnya sudah meninggal. Tujuannya pun berbeda. Bukan untuk sebuah ’gengsi’ seperti kasus pertama. Hanya untuk sekedar bisa membeli makanan agar bisa melanjutkan hidup.


Gaya hidup dan pemujaan akan benda semakin membuat banyak orang mampu melakukakan apa saja demi mencapainya saat ini. Kerap kali cara yang digunakannya pun tidak mengindahkan resikonya, asal cepat (instant) dan segera dapat. Tidak pula mengindahkan hak orang lain. Asal aku dapat, yang lain lewat. Bila remaja di Cina itu ’hanya menjual’ organnya, di sini banyak orang yang tega menjual negaranya demi inginnya akan benda.

Kecenderungan untuk memiliki benda-benda canggih berteknologi tinggi atau bermerk mahal juga melanda semua orang di negeri ini. Anggapan sebagai manusia modern, manusia melek teknologi , manusia masa kini, kerap dipahami dalam pandangan yang sempit. Sebatas benda yang bisa dimiliki.

Sudah hebat apabila kemana-mana menenteng laptop, blackberry, iPad, iPhone, dan sejenisnya. Urusan bisa mengoperasikan benda-benda itu belakangan. Yang penting gaya dulu.Lebih memukau lagi bila ditunjang pakaian dan aksesoris bermerk di badan.  Apalagi ada mobil eropa sebagai teman jalan. Hm...amboi, hebat nian !

Gaya hidup yang diinginkan banyak orang zaman sekarang. Gaya hidup yang menggiurkan. Gaya hidup yang lebih menekankan pada apa yang terlihat.

Akankah hanya seperti itu hakekat hidup kita ? Mengejar gaya hidup yang memuja kebendaan semata ? Menilai diri hanya dari apa yang bisa dilihat oleh indera manusia yang sebenarnya terbatas ini ?



2 comments:

  1. Modernitas, yang semula membangun dan dibangun dari perhitungan rasional, kini menghidupkan lagi sesuatu yang tak sepenuhnya dikuasai akal: pesona itu bekerja karena bergolaknya hasrat. Ada yang akan menyebutnya ”nafsu”: bagian dari bawah-sadar yang hanya kita temui di saat yang tak bisa direncanakan, yang tentang sumbernya kita cuma bisa bilang, ”Entah.”

    Begitu kata GM dalam Capingx, Melihat.

    ReplyDelete
  2. sebab hasrat itu pun telah terhipnosis oleh sesuatu

    ReplyDelete