Pages

Thursday 9 June 2011

Idols

Pernahkah anda memiliki seorang pujaan dalam hidup ini ? Pasti pernah. Setidaknya saat kita masih kecil. Pujaan - pujaan kita bertebaran dimana-mana dan berganti setiap hari sesuai dengan imajinasi. Bebas kita mengangankannya.
istockphoto.com

Ketika masih kecil, saya andaikan pujaan dengan sosoknya yang selalu kuat dan selalu menang dalam membela kebenaran. Ada Flash Gordon, Gundala Putra Petir, Si Tapak Suci, Si Buta dari Gua Hantu, atau Superman. Semuanya sosok itu dipengaruhi dari cerita yang saya baca. Demikian pula bila pujaannya masih anak-anak. Saya sangat senang dengan gaya George dalam Lima Sekawan karya Enid Blyton. Sosok tomboi yang kerap membuat onar dengan enenrgi meluap-luap.

Ada pula dari kita yang sangat senang dengan pujaan kemudian meniru semua gayanya. Membentuk kelompok-kelompok pemujaan dengan beragam identitas dan aksesoris. Apapun akan dilakukan demi pujaan. 


Boleh-boleh saja kan kita membayangkan sosok pujaan dalam bayangan kita ? He is strong and cool. She is beautiful and smart. They are my idols. I like them.

Namun ternyata sekali lagi kenyataan memberikan gambaran lain dari imajinasi kita. Pujaan dalam imajinasi adalah sosok yang ideal, tak terkalahkan dan selalu baik tak mengenal kesalahan juga berwajah elok menawan. Kita lupa satu hal.  Kita lupa kalau mereka juga manusia.  Sama seperti kita. Tempatnya salah juga khilaf. Kadang sosoknya pun jauh dari bayangan.

Saya sangat kagum dengan Ibu Farida Soemargono. Ketika mahasiswa, buku beliau itu wajib saya tenteng kemana-mana setiap kuliah. Buku setebal 1115. Lumayan tebal dan berat karena memang kamus. Ketika bertemu di LIP Jogja dan sempat bersalaman sejenak, saya melongo melihat sosok beliau. Kecil dengan senyum ramah. Padahal bukunya tebal sekali hehehehe. Saya bayangkan sebelumnya beliau tinggi semampai dengan penampilan sangat timur seperti penulis-penulis perempuan indonesia.

Pernah seorang teman sangat marah mendapati artis pujaannya melakukan sebuah kesalahan fatal. Dia yang sebelumnya sangat terobsesi dengan artis pujaan tersebut berbalik seratus delapan puluh derajat menjadi tidak suka. Bila dulu kabar apapun dari pujaannya diikuti dengan tekun, sekarang mendengar namanya saja teman saya langsung cemberut. Orang payah, demikian teman saya menjulukinya sekarang.

Kita memang sering tidak sadar berlebihan menilai seseorang. Kerap penilaian kita pun tidak obyektif, dipengaruhi oleh rasa suka dan tidak suka. Ketika gambaran tentang pujaan itu berbeda dengan aslinya, maka yang timbul adalah kecewa. Kok begitu sih ? Kok bisa berbuat konyol, ia kan pujaan ? Masa sih hanya seperti itu ? dan sederet rasa tidak terima lainnya.

Manusia. tempatnya tidak puas.  








No comments:

Post a Comment