Pages

Tuesday 17 May 2011

Menjadi Guru Mutakhir


Itu adalah satu poin penting yang saya dapat ketika mendengarkan orasi pendidikan dari Pak Arief Rachman kemarin di gedung serbaguna kampus Ketintang. Bukan sekedar menjadi guru biasa-biasa saja, atau bahkan ala kadarnya namun guru mutakhir. Guru yang mampu menguasai ilmu sebaik-baiknya sekaligus mampu menyampaikan ilmu itu kepada peserta didiknya.
toleransi melalui baju yang berbeda

Masalahnya kemudian menemukan cara menjadi yang mutakhir itu. Sebab menjadi mutakhir tidak bisa hanya dengan sim salabim jadi apa atau abrakadabra dan bismillah saja. Diperlukan niat, semangat, tekad, juga kerja berpeluh yang kadang kerap menguji kesabaran. Belajar lagi, belajar lagi, dan belajar lagi. Mampukah ?


Menyoal mampu atau tidak seharusnyalah hanya ada kata mampu untuk guru.  Menilik kondisi sekarang dengan adanya sertifikasi pendidik yang merupakan satu penghargaan untuk guru meskipun di lapangan kadang penghargaan ini kurang sesuai. Saya tidak membahas tentang mekanisme sertifikasi, namun lebih pada tujuannya saja.

Guru bersertifikasi. Wah... cukup mentereng nama itu. Setiap guru yang menyandangnya pasti tersenyum bangga dan senang. Menguntungkan baik secara sosial maupun finansial namun sekaligus membawa konsekuensi yang tidak ringan. Guru bersertifikasi dipandang sebagai pendidik yang layak mendidik dengan kemampuannya. Kembali kepada guru mutakhir, guru bersertifikasi pun sebaiknya menjadi guru impian tersebut. Guru yang selalu belajar dan mengikuti perkembangan keilmuan. 

Namun semangat belajar ini sebenarnya bukanlah hanya harus dimiliki oleh yang bersertifikasi saja. Semangat ini haruslah dimiliki oleh semua pendidik pada semua jenjang pendidikan di negeri ini. Jangan sampai terjadi ketika ada anak yang bertanya tentang sesuatu dan kita tergagap menjawabnya atau bahkan mengatakan itu bukan bahasan pada materi pelajaran sekarang hanya karena ketidaktahuan kita. 

Mengapa ?

Kata Francis Baçon, semua ada masanya. Ketika dulu saat saya ada di sekolah dasar, belumlah mengenal bahasa inggris apalagi komputer. Keduanya saya kenal ketika ada di sekolah menengah pertama. Namun anak-anak sekarang ?  Murid saya kelas satu sekolah dasar sudah mampu menggambar bagus dengan Paint atau menyanyi lagu-lagu Barney dengan lancar. 

Bumi berputar dan keilmuan terus berjalan. Tidak ada yang diam di tempat, semua bergerak.

Sebagai pendidik, akankah karena dalih repot, tidak ada waktu, sudah tua jadi susah kalau dipaksa belajar lagi dan seterusnya, tidak mau belajar ?  Menjadikan diri seperti katak dalam tempurung ? Peribahasa mengatakan belajar terus sejak dari buaian sampai liang lahat. Lalu bila ada pendidik yang mengatakan malas belajar lagi, merepotkan, ilmu kan begitu-begitu saja, akan seperti apakah warna generasi selanjutnya ?

Mari menjadi guru mutakhir teman-teman J.








4 comments:

  1. bagus tulisannya. Seharusnya memang ruang kelas bukan hanya menjadi ruang transfer pengetahuan dari guru kepada murid tetapi juga ruang dialog. Saat ini guru bukan satu-satunya sumber ilmu yang jadi acuan murid. Kalau guru tidak lebih up to date dari muridnya, ya siap-siap saja ditinggal tidur murid saat di dalam kelas:-D

    ReplyDelete
  2. Bukan ditinggal tidur namun tidak dihiraukan. Ada saja pasti yang keluar dengan alasan ijin ke belakang atau berbicara sendiri dengan temannya hehehehe.

    ReplyDelete
  3. Namun proses seringkali tidak dihargai. Sekarang ora cenderung suka yang "bum" dan sukse. "Sukses" pun jg sangat sempit pengertiannya. Hy mengarah ke hasil. Tanpa peduli pd poses menghasikan.

    Semoga semua berubah dan proses dihargai.

    ReplyDelete
  4. Amien,...kita mulai dari kita sendiri yuk :-)

    ReplyDelete