Pages

Saturday 28 May 2011

Mau Dibawa Kemana, Bahasa Kita ?

”Aduh, gimana sih Bu Erna ini. Nggak ngerti-ngerti, capek deh!” kata seorang murid kepada saya. Saya cukup terkesima dengan gaya bicaranya. Dengan bibir sedikit dimonyongkan dan gerak tubuh yang sedikit gemulai serta tangan diletakkan di dahi. Murid saya yang masih kelas satu sekolah dasar.
balckantzz.blogspot.con

Fenomena berbahasa seperti yang dilakukan murid saya tadi juga banyak  terjadi pada murid-murid di kelas yang lebih tinggi. Ketika saya tanya, mereka menjawab kalau merasa lebih gaul dan keren ketika berbicara dengan bahasa tadi daripada menggunakan bahasa Indonesia yang benar. Lebih easy listening gitu lho dan terlihat lebih modern. Hm...

Kebiasaan memakai bahasa campur-aduk di anak-anak (masyarakat) memang tidak mungkin dihindari. Pengaruh dari media dan jumlah pengguna bahasa campur-aduk yang semakin banyak menjadi salah satu penyebabnya. Selain itu kerap ditemui tidak adanya padanan kata dalam bahasa Indonesia membuat orang langsung menggunakan kata asing dalam susunan kalimatnya (bisa bahasa daerah atau bahasa inggris) dan dalam perjalanannya, bahasa tersebut terserap menjadi bahasa Indonesia ( bahasa serapan).

Kebiasaan mencampur-aduk kata sebenarnya tidak didominasi oleh satu golongan saja. Namun banyak golongan dengan alasannya masing-masing. Ada yang ingin diterima dalam satu kelompok, ada yang ingin terlihat ’terpelajar’ (alasan ini kerap digunakan para akademika dengan mencampur beberapa kosakata asing (inggris, prancis, jerman, belanda dll) yang dikenalnya dalam bahasa Indonesia), ada yang ingin terlihat modis tak ketinggalan trend, atau juga sebagai bahasa rahasia sebuah kelompok.

Kegiatan mencampur-aduk kata ini dalam ilmu bahasa dikatakan sebagai campur kode. Kerap kali proses campur kode ini tidak mengindahkan aturan bahasa yang ada.

Seperti ; Hai, ternyata kamu sudah married ya ? Pada bahasa inggris, kata married artinya sudah menikah dan dicampur dengan bahasa indonesia yang menggunakan keterangan sudah menjadi ada kelebihan sudah.

Atau juga kalimat ini ; Aku kan sudah parlé- parlé sama kamu. Kata parlé juga memiliki arti telah berbicara dan tidak ada dalam bahasa prancis penggunaan kata parlé-parlé. Salah berlipat kan jadinya.

Mungkin memang kita tidak bisa menahan kebiasaan mencampur-aduk kata ini di masyarakat. Namun di lingkungan pendidikan (sekolah) seyogyalah kita tidak mempraktikkan penggunaan campur kode ini. Terutama di sekolah dasar dimana anak-anak pada tataran usia ini masih berproses dalam memperkaya kosakatanya. Sayang bila mereka belajar bahasa keseharian yang kerap salah kaprah dan tidak mengenal tata bahasa Indonesia yang benar.

Sebuah surat kabar nasional menuliskan apabila banyak nilai ujian nasional yang jatuh pada pelajaran bahasa Indonesia. Menurut koran tersebut, hal ini disebabkan anak-anak lebih menganggap penting bahasa asing (inggris) yang memang lebih menjual daripada bahasa Indonesia. Di sisi lain, mungkin pula karena mereka juga mengenal bahasa Indonesia yang campur-aduk bukan yang baku dalam kesehariannya.

Ketika suatu hari nanti ternyata Bahasa Indonesia sudah tak terkenali wujud aslinya dan hilang, sama seperti nasib banyak bahasa daerah di negeri ini, lalu siapakah yang akan disalahkan ?

Akankah suatu hari, generasi selanjutnya harus pula mempelajari Bahasa Indonesia di negeri yang jauh sebab di negerinya sendiri tidak ada orang yang paham tentangnya ?

Apakah akan sama nasibnya bila ingin mengenal Negara bangsa bernama Indonesia harus ke Belanda atau ke Australia dulu ?






No comments:

Post a Comment