Pages

Tuesday 12 April 2011

Pelabelan Pada Anak, Seriuskah ?

Sekumpulan orang berwajah marah merusak jendela-jendela sekolah yang dilewati dengan tongkat baseball. Mereka berteriak-teriak memanggil nama wakil kepala sekolah untuk keluar.  Suasana menjadi tegang. Beruntung semua murid sudah tidak ada di sekolah.

Wakil kepala sekolah keluar diikuti oleh jajaran guru. Wajahnya merah padam dan pucat pasi terlihat silih berganti. Menandakan perasaan marah dan takut yang menjadi satu.

@fr.123rf.com
 ”Apa mau kalian, sampah masyarakat?!” teriaknya kepada kelompok perusak. ”Kalian ini sudah tidak berguna, bisanya membuat onar saja. Pantas kalian dikeluarkan, hanya akan memalukan nama besar sekolah ini saja!”

Sebuah pukulan pada jendela kaca membuatnya hancur berkeping-keping menjawab kata-kata yang baru saja diucapkan oleh wakil kepala sekolah. Kontan raut wakil kepala sekolah dan para guru semakin memucat.

Seorang calon guru yang baru saja ditolak dan kebetulan ada di dekat kejadian, maju. ”Kamu ban hitam kan ?” tanya sang wakil kepala sekolah. ”Selesaikan sampah-sampah ini, maka kamu akan kami pertimbangkan menjadi pengajar di sekolah ini.”

Sang calon guru yang baru saja ditolak itu mengerutkan wajahnya. ”Bila di sekolah ini mengijinkan para guru memanggil muridnya dengan sebutan sampah hanya karena mereka tidak pandai, maka dengan bangga aku menolak menjadi guru!”

Sebuah adegan pada film animasi jepang yang kerap membuat saya terdiam. Great Teacher Onizuka. Lepas dari sikapnya yang acuh tak acuh dan sembarangan, film ini memberi satu pandangan lain tentang bagaimana menjadi guru yang sebenarnya. Guru yang memanusiakan murid-muridnya.

Pelabelan atau julukan pada seorang anak seperti kasus diatas jelas tidak dibenarkan. Apalagi pelabelan bernada negatif dari seorang pendidik untuk muridnya. Terutama pada pendidikan dasar dimana anak sangat tidak mudah melupakan ’hal jelek’ yang pernah diterimanya.

Di sisi lain, pelabelan bernada negatif ini akan masuk ke dalam pikiran sang anak yang tidak mustahil membuat mereka menjadi tidak percaya diri, merasa paling (jelek, bodoh, dll) diantata teman-temannya sesuai dengan pelabelan negatif yang diterimanya.

Ketika anak telah memasukkan pemikiran jelek tentang dirinya ke dalam pikirannya, hal yang terjadi kemudian adalah mereka menjadi ’termotivasi’ menjadi apa yang menjadi labelnya. Salah siapa kemudian ? Salah si anak ?  Atau salah kita, para dewasa ?

Menghargai anak bagaimana pun kondisi mereka adalah hal terbaik yang bisa dilakukan kita, para dewasa (guru dan orang tua). Perlakuan kita pada merekalah yang menentukan karakter mereka nantinya. Setiap anak berbeda. Setiap anak istimewa. Semua tergantung pada kita, para dewasa memfasilitasinya dalam berkembang dan menemukan jalan mereka.



2 comments:

  1. hm...aku mencobanya juga kmearin. Ketika ada satu anak yg gak konsentrasi dengan materi diskusi, aku kasih dia "kesibukan" yang membuatnya nyambung dengan topik diskusi:-)

    ReplyDelete
  2. Wah, kesibukan apa itu ? Memang karakter anak itu beda-beda jadi harus kreatif memadupadankannya :-)

    ReplyDelete