Pages

Monday 11 April 2011

Putri, Peri, dan Penyihir

Bermula dari ketidaksengajaan saya melihat siaran ulang pemilihan putri Indonesia di televisi. Memang tak sengaja karena  hal tersebut tidak direncanakan selain saya memang tidak terlalu suka melihat benda kotak yang seperti kotak Pandora itu. Meski begitu, saya sempat melihat sekejapan bagaimana raut para kontestan. Cantik dan anggun semua dalam balutan busana malam. Meskipun tak sampai usai melihatnya, saya pun tahu dari daerah mana yang akhirnya terpilih menjadi putri pada tahun ini meskipun tidak tahu namanya.

@scrapalala.canalblog.com


Ada pertanyaan iseng yang sempat melintas tentang pemilihan pangeran Indonesia untuk mendampingi puteri yang selalu sendirian ini. Setahu saya, ajang seperti ini selalu berpasang-pasang. Lihat saja pemilihan abang dan none Jakarta, cak dan ning Surabaya atau guk dan yuk Sidoarjo. Ah, mungkin ada pertimbangan lain, entahlah.

Namun sebenarnya bukan itu yang mengusik saya. Di setiap ajang pemilihan putri seperti ini selalu dipilih seseorang yang tidak saja cantik, putih halus kulitnya, langsing tubuhnya, ramah senyumnya namun juga pandai dan mampu berkomunikasi dengan baik. Apakah benar-benar seperti itu gambaran ideal seorang putri di negeri ini ? Ataukah hanya yang seperti semua kriteria diataslah yang layak untuk menyandang sebutan putri ? Bagaimana dengan yang lain ? Yang wajahnya sarat dengan beban, yang legam dan kasar kulitnya karena tempaan kerja dan terik matahari setiap hari, yang tidak berbicara dalam beberapa bahasa namun mampu menjadi penyangga kelangsungan hidup keluarganya. Masuk dalam kelompok manakah mereka ?


@prasetyandaru.blogspot.com
 Belum lama ini saya pergi ke daerah pegunungan kapur di Jawa Tengah yang notabene masih termasuk wilayah NKRI. Ketika sedang melewati jalan yang cukup mendebarkan karena begitu banyak lubang berbahaya yang dapat mengakibatkan para pengguna jalan terutama sepeda motor jatuh, saya melihat sesuatu yang menakjubkan. Sebuah truk sarat muatan sayur melintas dengan cukup laju. Di bak belakang dan diatas segala macam sayur-mayur itu duduk seorang ibu dengan tenangnya. Tanpa alat pengaman dan tanpa pegangan tangan yang memadai.

Saya (yang selalu menomorsatukan keselamatan) tertegun lama. Teman saya terbahak melihat kekagetan itu.  “Seakan melihat peri hutan bukan ?” tanyanya. Saya mengiyakan tanpa suara.  Teman saya yang memang kebetulan sedang hidup diantara mereka lalu bercerita bahwa itu adalah pemandangan biasa. Para ibu yang berjuang untuk keluarganya. Kerap tidak peduli dengan keselamatan mereka sendiri asalkan keluarganya dapat makan hari ini. Mereka tidak (sempat) memikirkan wajah menjadi menghitam terbakar terik matahari, tangan dan kaki mengeras akibat kerja yang terlampau keras atau pun segala payah yang ada seusai kerja.

Mendengarkan cerita teman saya, bermacam siluet lain pun  melintas. Gambaran para peri penyelamat keluarga. Peri gunung, peri hutan, peri pembuat gerabah, dan peri-peri yang lain. Meskipun hidup di tempat yang berbeda-beda, namun mereka nyata. Mereka ada dimana-mana meski tidak terlalu terlihat. Bukan karena bersembunyi, namun kerap kita tidak (mau) melihat mereka.

Mereka adalah wujud nyata sosok mandiri yang tegar menjalani hidup sesusah apapun dalam keringkihannya. Mereka pun pemberani. Tidak pernah takut menjadi hitam dan kapalan untuk dapat bertahan hidup. Makhluk mempesona. Kuantitas mereka pun lebih banyak di negeri ini. Sayang mereka ’tidak menjual’ untuk diikutkan dalam perlombaan pemilihan puteri. Beberapa media menggunakan mereka untuk acara pengharubiru yang kerap berlebihan di acara-acara bulan ramadhan (terutama).

Putri dan peri. Satu lagi yang belum tersebut. Tokoh yang kerap digambarkan sebagai makhluk yang jahat namun bisa mengubah apapun dengan mantranya serta mampu meramalkan kejadian masa depan dengan bola ajaibnya. Penyihir.

Gambaran buruk yang selalu melekat pada tokoh ini tak bisa menghapus betapa perannya kerap menentukan untuk keberhasilan sekaligus mencelakakan seseorang. Tapi Tengok saja penyihir di cerita Shakespeare yang berjudul Macbeth. Bagaimana mimpi Macbeth muncul setelah mendengar ramalan penyihir bahwa kelak dia akan menjadi seorang raja yang berkuasa. Gambaran penyihir juga tidak selalu tua dan buruk rupa. Dia juga ada yang cantik sebab beralihrupa adalah satu dari keistimewaannya. contohnya  penyihir dari sebuah bank besar negeri ini yang mampu menyihir para nasabahnya.

Ah…tiga perwujudan perempuan dalam dongeng anak-anak. Putri, peri, dan penyihir. Akankah selalu pemahaman seorang putri haruslah selalu yang cantik, langsing, putih, lembut, pandai bertutur kata namun sekaligus lemah namun memukau ? Apakah seorang peri selalu tertempa kerja terus menerus meskipun itu adalah arti dasar sebuah kehidupan? Apakah seorang penyihir selamanya menakutkan semua orang walaupun dia adalah penyihir yang baik hati ?


No comments:

Post a Comment