Pages

Sunday 3 April 2011

Anak Kota Masuk Hutan (Jilid 1)


Menjadi guru kelas 1 tidak kemudian melulu mengurusi ‘hanya’ kelas 1 saja. Itulah yang saya alami sebagai guru di sekolah dasar swasta. Plot pekerjaan yang kadang berlebihan kerap saya dan teman-teman guru yang lain alami. Wajar saja sebab itulah warna-warni pekerjaan. Sepanjang semua jelas dan diobrolkan sejak awal, tim kerja guru di sekolah saya selalu terlihat kompak.

Kemarin, saya ’ikut tamasya’ bersama kelas 6. Satu hari tidak berkutat dengan kelas yang saya ampu. Kami dua hari berada di PPLH (pusat pendidikan lingkungan hidup) di daerah Seloliman, Mojokerto. Program yang memiliki misi untuk mengendurkan syaraf yang tegang karena kejaran try-out, ujian sekolah, ujian praktik, dan menjelang ujian akhir  pada murid kelas 6.

Sepanjang perjalanan, terlihat suasana yang menyenangkan dari murid kelas 6 putri karena kebetulan bus yang saya naiki adalah bus  murid putri. Ceria, gurau, tawa, senandung, dan makanan mewarnai sepanjang perjalanan yang makan waktu 120 menit itu. Hm...keluar sebentar dari dunia 6-7 tahun dan berada di dunia 11-12 tahun. Cukup terasa bedanya.

Menginjakkan kaki di gerbang PPLH membuat saya senang. Udara yang cukup bersih, pohon besar dimana-mana, dan gerbang yang mirip dengan gerbang sebuah taman yang lama tak terurus seperti di cerita-cerita Enid Blyton.Terbuat dari batu kasar, berukuran sedang dengan tanaman merambat dimana-mana. Tak ada kesan mewah. Menarik.

Di dalamnya, terlihat bangunan-bangunan unik dengan bahan hampir semuanya terbuat dari kayu dan beratap tinggi serta jendela cukup lebar. Di bawahnya ada kolam sekaligus tempat hidupnya ikan-ikan lucu. Di beberapa sudut ada alat penangkap sinar matahari untuk energi listrik yang diperlukan. Pohon-pohon tinggi besar menjulang di mana-mana. Semak-semak bunga dan umbi-umbian terserak di hampir semua tempat.

Cukup geli sekaligus menarik saat melihat murid-murid kelas 6 yang dengan susah payah menyeret koper mereka menyusuri jalanan batu yang tidak rata dan menaiki tangga-tangga batunya. Mulut mereka cemberut dengan keluhan muncul di sana-sini. ”Mengapa tidak membawa ransel, lebih praktis kan ?” Hampir semua menjawab tidak cukup bila satu ransel, maka mereka memutuskan membawa koper. O lala.

Kehebohan murid-murid meledak saat mereka mengetahui bungalow tempatnya bermalam. Sudah nama-namanya berbau kebun binatang seperti kera, bebek, harimau, kelinci dan sebagainya, tempat tidur dari batu dengan kelambu putih masih membuat mereka geleng-geleng kepala. Untuk bungalow, ada yang unik sebagai identitas namanya. Di atap bungalow, ada simbol binatang sesuai dengan namanya. Terpasang seperti hiasan atap mirip dengan wuwungan pada rumah-rumah jawa tempo dulu. Jadi dari jauh, hanya dengan melihat simbol binatang di atapnya, maka akan ketahuan nama bungalownya. 

Heboh dimulai dengan jeritan ketika muncul binatang-binatang kecil yang memang akrab seperti katak, semut, dan siput. Lebih heboh mengetahui model kamar mandi yang unik. Memang ada wastafel, kloset dan bak mandi serta shower namun gaya bangunan beratap tinggi dengan tembok penuh tanaman merambat yang ’nanggung’  (menurut murid-murid saya) sebab bila mandi bisa langsung melihat hijaunya gunung welirang. Seperti di jaman primitif, keluh mereka. Bagaimana kalau ada yang mengintip? Khas anak kota hehehehe. Padahal meski suara dari luar terdengar jelas, kamar mandi dengan tembok nanggung itu tidak mungkin terlihat orang sebab didesain cukup cermat dan didukung struktur tanah yang berbukit-bukit.

No comments:

Post a Comment