Pages

Saturday 26 March 2011

Gubeng dan Tugu


@matarama.co.id
“Yang tersedia hanya tanggal 21, Mbak. Untuk tanggal 24 sudah habis”. Kata-kata datar dari Mbak yang menjual tiket kereta api membuatku bengong. Habis ? Padahal ini baru tanggal 26 dan saya memesan tiket untuk perjalanan satu bulan ke depan. Beberapa detik sempat bertanya-tanya (sendiri tentunya) lalu kembalinya nanti saya dari Tugu ke Gubeng naik apa ? Antrian panjang di belakang membuat saya menganggukkan kepala untuk keberangkatan tanggal 21. Masalah naik apa nanti untuk sampai di kota matahari ini bisa dicari jalan keluarnya nanti.

Keluar dari tempat pembelian tiket, saya raih handphone dan memencet beberapa nomor. ”Salut, comment ca va ?” jawab suara di seberang. Suara yang cukup familiar. Saya menjawab dan langsung bertanya adakah tiket untuk tanggal 24. Jawaban teman saya membuat saya kaget sekaligus gembira. Tiket untuk tanggal 24 sudah dipesankan untuk saya. Benarkah ? Oleh siapa ? Ternyata suami saya jauh hari sudah memesannya tanpa konfirmasi. Ah, terima kasih.

Teman saya yang memang kerap saya repoti ini memang bekerja di travel agent sehingga membantu sekali saya yang kerap ulang-alik Tugu-Gubeng. Teman yang bisa awet dari masa kuliah dulu sampai sekarang karena toleransi dan kesepakatan untuk tidak saling menawarkan dagangan bila bertemu.

Kenyataan hidup berjauhan dengan pasangan memang membawa ceritanya sendiri. Saya yang ketika kuliah dulu sering dibuat jengkel oleh para pelancong domestik yang pergi di musim liburan, menjadi bagian kelompok yang saya jengkeli itu. Karma mungkin. Membuat saya sering hati-hati mengkomentari sesuatu sebab tidak tahu bagaimana saya  nantinya.

Persiapan dan perjalanan di saat ’liburan kecil’  ke stasiun Tugu saya nikmati sekali.  Kalender yang berisi 12 bulan di kamar, telah saya lingkari di setiap tanggal merahnya. Memesan tiket kereta jauh-jauh hari. Tidak mau saya mengulang pengalaman tidak enak karena malas memesan tiket. Pernah saya membeli langsung di hari keberangkatan dan yang terjadi adalah saya harus duduk di kursi restorasi dengan syarat membeli makanan di kereta. Perbekalan selama perjalanan pun saya persiapkan dengan matang. Kalau makanan dan minuman seperlunya namun yang pasti, satu buku untuk berangkat dan satu buku saat kembali. Kadang saya membayangkan andai saya ke stasiun Tugu setiap hari, satu bulan saya bisa-bisa membaca 60 buku. Wow...mungkinkah ? hehehehehe

Hidup berjauhan memang membawa konsekuensi masing-masing. Banyak teman yang mengatakan saya tega dengan suami karena tidak mau mengalah untuk meninggalkan pekerjaan di kota matahari ini. Atau malah salut dengan saya yang seperti tidak terbebani dan masih bergaya lajang saja. Bagaimana kalau nanti suaminya melirik ke yang lain, akan menyesal lho. Nah lo...Banyak komentar memang yang muncul. Alhamdulillah, kesepakatan bersama antara saya dan suami untuk sementara berjauhan memang telah didiskusikan dari awal. Sehingga apapun dan bagaimanapun reaksi dari lingkungan luar, kami hanya menanggapinya dengan tersenyum saja.

3 comments:

  1. ow ternyata mbak nya dah bersuami to..

    ReplyDelete
  2. hahaha...i like it.

    ReplyDelete
  3. iya, setiap kehidupan memang membawa ceritanya sendiri, seperti secangkir kopi.....manis pahitnya mengasyikkan

    ReplyDelete