Pages

Thursday 24 February 2011

"Bagaimana bahasa indonesia anak saya ?"

“Karena saya adalah nasionalis idealis”, kata-kata itu masih terngiang-ngiang dalam benak saya. “Maka saya inginkan anak saya harus pandai berbahasa Indonesia”.

Saya tertegun mendengarnya. Kalimat yang tidak pernah saya sangka akan saya dengar hari ini. Di tengah maraknya keinginan para orang tua sekarang menyekolahkan anak-anaknya ke sekolah bertaraf internasional, wajar bila kalimat tersebut membawa kekaguman tersendiri.

Dia (tokoh setengah fiktif) dengan wajah serius bercerita tentang keinginannya melihat negerinya menjadi negeri yang besar. Negeri yang dikenal semua bangsa. Negeri yang generasinya bangga mengatakan saya orang Indonesia.


Hal yang bisa dilakukannya salah satunya adalah memperhatikan kemampuan anaknya dalam berbahasa Indonesia. Dia, orang tua yang mengaku bangga menjadi orang Indonesia itu cukup sedih ketika mengetahui nilai bahasa Inggris anaknya lebih bagus daripada bahasa Indonesia.

Bahasa adalah identitas bangsa. Bagaimana seorang generasi muda akan mengenal bangsanya bila dia lebih dekat dengan bahasa bangsa lain ? Dia pun mencontohkan bagaimana orang Jepang gigih menggunakan bahasa mereka tanpa menutup diri dari dunia. Saya teringat pula teman saya dari Prancis yang sangat bangga dengan bahasanya. Dia bercerita bagaimana orang Prancis sering tidak mau menjawab pertanyaan orang asing yang bertanya tidak dalam bahasa Prancis. Terkesan sombong memang namun terlihat kebanggaan yang jelas pada bahasa mereka sendiri. Itu adalah nasionalisme, katanya. Bagaimana dengan kita, orang Indonesia? Banggakah kita berbahasa Indonesia?

Sebuah pertanyaan sederhana namun membuat saya tertegun. Membuat saya terdiam cukup lama.

ANTARA pada bulan februari menulis bahwa bahasa Indonesia dalam kondisi krisis identitas. Andai ia adalah manusia, bahasa Indonesia sedang sekarat sekarang. Dia tercabik dimana-mana baik oleh media massa, politisi, usahawan, maupun akademisi. Merekalah kerap kali mencampur-adukkan kosakata bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia seperti penulisan nama tempat atau lebih parahnya lagi mereka lebih akrab dengan penggunakan bahasa prokem yang jelas salah kaprah seperti yang mana, anda-anda sekalian, lebai, atau lainnya. Terkesan enggan mencari padanan yang sesuai dalam bahasa Indonesia atau mungkin juga agar terkesan modern ? atau keinginan menjadi warga dunia maka kita meninggalkan bahasa Indonesia ?


Besar atau kecil, sedikit atau banyak, bila generasi muda Indonesia tidak mengenal bahasa mereka sendiri, pastilah ada dampaknya. Mereka akan tidak mengenal ‘rumah’ yang mereka tinggali. Kebanggaan akan negerinya pun akan berkurang sebab mereka memang tidak pernah bersentuhan dengannya.

Menjadi Indonesia memang tidak sebatas menggunakan bahasa Indonesia. Menjadi Indonesia juga masuk didalamnya bagaimana cara kita berperilaku dalam keseharian. Generasi muda kita mungkin lebih mengenal JK Rowling, Dan Brown atau pun Naruto daripada Nh.Dini, Amir Hamzah, Buya Hamka, Pramoedya,Ayu Utami, Gatotkaca. Generasi kita lebih akrab dengan Mc.Donald daripada Ayam goreng Kalasan. Generasi kita paham semua kota di Amerika atau Eropa daripada pulau-pulau di Indonesia. Generasi kita lebih sering melihat film di gedung bioskop daripada melihat sendratari atau pertunjukkan wayang kulit. Generasi muda kita lebih pandai memainkan alat musik organ, piano atau gitar daripada angklung, gamelan, atau seruling.


Tidak salah bila suatu hari nanti, generasi kita pun tidak mengetahui apa-apa dan tidak bisa berbuat apa-apa ketika sebuah bangsa mengatakan salah satu tarian Indonesia itu adalah budaya mereka, salah satu pulau Indonesia adalah pulau mereka dan hutan Indonesia pun hutan mereka.

Bagaimana sikap kita sebagai pendidik generasi muda di masa sekarang ?

Memang kita tidak bisa menyalahkan generasi muda sepenuhnya kalau memang kondisi sekarang membuat mereka tak mengenal Indonesia. Bisa jadi memang mereka tak diberi kesempatan untuk tahu tentang negaranya. Bahan bacaan yang ada sekarang dipenuhi oleh cerita dari luar negeri semua mulai dari Harry Potter, Eragon, Narnia, Spiderwick dan lainnya. Hanya sedikit karya anak bangsa yang dapat dijadikan referensi bacaan. Perlu kesempatan dan keberanian untuk dapat membuat buku seperti tetralogi Laskar Pelangi. Boleh saja bila buku jenis teenlits bertebaran untuk langkah awalnya. Namun perlu dikembangkan ke depan bagaimana membuat bacaan yang bisa sepanjang masa, tidak terbatas pada satu zaman saja.

Pengajaran bahasa Indonesia pun seyogyanya dilakukan dengan menyenangkan. Tidak hanya belajar bagaimana menyusun kalimat yang sesuai dengan ejaan yang dibenarkan atau SPOK. Namun bagaimana dengan bahasa Indonesia kita bisa menuliskan semua imajinasi kita ke dalam rangkaian kalimat yang menakjubkan. Membayangkan hasil tulisan kita akan dibaca dan dikenang semua orang. Membayangkan bagaimana sebuah karya dalam bahasa Indonesia mampu diterjemahkan ke dalam bahasa asing. Saat itulah keberadaan bangsa ini akan diakui oleh negara lain.

Di sisi lain, negara pun perlu membantu dalam mewujudkan cinta bahasa Indonesia. Segera menyelesaikan UU kebahasaan dan lebih sering menggadakan kegiatan yang bersangkutan dengan tulis menulis dan tentunya memberikan penghargaan bagi penggiat bahasa Indonesia. Institusi pendidikan pun mempunyai andil besar untuk perkembangan bahasa Indonesia. Pemakaian bahasa yang tidak dicampur-adukan dengan bahasa asing yang dicontohkan oleh para pendidik insya Allah akan memberikan contoh yang baik pada pemakaian bahasa oleh para generasi selanjutnya.(erna)

No comments:

Post a Comment